Mohon tunggu...
Rokhman
Rokhman Mohon Tunggu... Guru - Menulis, menulis, dan menulis

Guru SD di Negeri Atas Awan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sambut Ramadan Tanpa Sambat

5 April 2021   11:56 Diperbarui: 5 April 2021   12:27 310
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam hitungan hari Ramadan 1442 H akan segera tiba. Umat Islam di seluruh dunia menyambutnya dengan gembira. Di beberapa tempat stategis mulai terpampang tulisan, "Marhaban Ya Ramadan." Selamat datang wahai bulan puasa. Bulan ibadah yang penuh berkah. Bulan yang di dalamnya Al-Qur'an diturunkan pertama kali. Bulan seribu bulan ajang meraih Lailatul Qadar puncak segala anugerah dan kebaikan bagi setiap muslim yang menunaikannya.

Namun tidak sedikit yang menyambut datangnya Ramadan dengan 'sambat'. Kata 'sambat' dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Daring bermakna mengaduh, mengeluh. Mengeluh karena banyak kebutuhan yang perlu dipikirkan. Mulai dari belum membeli baju baru dan pernak-pernik lebaran, THR untuk asisten rumah tangga, beres-beres rumah, hingga persediaan kue lebaran. Di sisi lain pandemi yang berkepanjang menjadikan iklim usaha makin sulit, gaji ke-13  bagi PNS belum cair, dan undangan hajatan sudah mulai menumpuk.     

Apapun alasannya mengeluh tak akan pernah menyelesaikan masalah. Mengeluh dan terus merasa kekurangan hanya akan menghasilkan kekecewaan dan kesedihan yang ujungnya akan membuat hidup menjadi sengsara. Makin jauh dari  nikmat hidup yang kita sebut bahagia. Benar dalam Al-Qur'an disebutkan bahwa, "Manusia adalah makhluk yang suka berkeluh kesah". Namun firman Allah Swt tersebut mestinya menjadi tantangan bagi hamba-Nya untuk memperbaiki diri, untuk menjauhi kebiasaan berkeluh kesah.

Greg S. Reid mengatakan, "Jangan pernah mengeluhkan masalah Anda, karena 95% orang tidak peduli, dan 5% lainnya gembira karena hal itu akan menjadi bahan pembicaraan negatif yang akan menyebar ke mana-mana. Keluhan itu seolah menjadi siaran ulang berbagai kelemahan kita yang akan didengar banyak orang".

Setiap tahun umat muslim berpuasa. Maka, makin panjang usia kita kian banyak frekuensi berpuasa Ramadan. Pertanyaannya, adakah dari puasa ke puasa itu telah meninggalkan jejak takwa dalam diri? Menjadi seorang yang mampu menahan segala hawa nafsu dan menjelma menjadi sosok pelaku kebaikan? Karena tujuan berpuasa pada hakikatnya membentuk karakter insan yang bertakwa.

Tiga di antara sifat takwa adalah; menginfakkan sebagian rizki di kala lapang atau sempti, menahan marah, dan memberi maaf kepada orang lain (QS Ali Imran: 134). Sebaliknya, tidak memiliki sifat kikir, mengumbar amarah ketika menyikapi orang atau keadaan yang tidak menyenangkan, serta tidak mendendam atau sulit memaafkan orang dan keadaan yang dianggapnya salah atau buruk.

Apakah ketiga ciri itu sudah melekat pada diri kita? Puasa bermakna al-imsak, menahan diri. Puasa Ramadan yang yang datang setiap tahun mestinya membuat kita mampu menahan diri dari segala hal buruk dan tidak menyenangkan. Paling tidak dari ketiga ciri yang disebutkan dalam Al-Qur'an seperti tersebut di atas.

Apakah kita tidak boleh mengeluh? Tentu saja boleh. Apalagi Allah Swt telah menyebutkan bahwa manusia adalah makhluk yang suka mengeluh. Hanya saja mengeluhnya langsung kepada Sang Maha Pencipta, Allah Swt. Bukan kepada orang lain apalagi lewat media sosial.

Mengeluh, secara spiritual adalah sikap menyalahkan Allah Swt Yang Maha Kuasa. Karena segala sesuatu yang terjadi semata-mata kehendak-Nya. Maka, sikap yang tepat adalah sabar. Sabar itu mudah untuk diucapkan namun sulit untuk dipraktikkan. Sikap sabar perlu dilatih dan tidak bosan-bosannya untuk terus belajar. Belajar dalam arti melatih pikiran dan sikap positif untuk mengurangi 'hasrat' mengeluh agar lebih terkendali.

Salah satu media untuk melatih sikap sabar adalah dengan puasa Ramadan. Semoga kita diberi kekuatan untuk menunaikan ibadah puasa dan rangkaian ibadah lainnya di bulan Ramadan 1442 H ini. Dengan harapan mampu mengantarkan menjadi pribadi yang semakin rendah hati, lapang dada, luas pandangan, dan kaya ilmu dan hikmah sebagai bekal dalam menyikapi tantangan hidup yang semakin berat. Semoga!     

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun