Untuk memulai sebuah kebaikan kadang ada saja hambatan yang siap menghadang. Misalnya untuk mulai menulis, hambatan itu justru lebih banyak datang dari diri sendiri. Beribu-ribu alasan menjadi sebab seseorang tidak jadi menulis. Dari alasan sibuk, tidak ada ide, hingga bingung mau memulai dari mana.
Menulis itu memang sulit jika belum memulainya. Selalu ada kekhawatiran ketika mau memulai. Susah mendapatkan ide, ketika ada ide susah menyusun kalimat yang runtut, membangun kesatuan paragraf yang homogen atau nyambung. Begitu seterusnya kekhawatiran selalu muncul dalam benaknya.
Jangankan menyusun ide menjadi kalimat, kalimat menjadi paragraf, paragraf menjadi satu tulisan. Untuk mendapatkan satu ide tulisan saja, diakui masih sulit. Mau menulis apa, mulai dari mana, dan bagaimana menuliskannya. Padahal ibarat mau bercocok tanam, lahan sudah tersedia, siap ditanami (ide tulisan), tapi bibit tulisannya mana?
Ketika perasaan-perasaan seperti itu masih hinggap pada diri seseorang maka tidak akan terjadi aktivitas yang namanya menulis. Menulis tidak cukup hanya dipikir saja. Menulis butuh aktivitas fisik. Diawali dari otak berfikir direalisasikan dengan anggota badan. Tangan menggoreskan alat tulis di kertas, menyentuh tuts mesin ketik, tombol keyboard, atau touchscreen HP.
Lantas ketika berbagai fasilitas untuk menulis sudah tersedia, kapan mulai menulis? Saya teringat ketika awal pandemi Covid-19. Masjid-masjid ditutup, karpet digulung, dan jamaah salat di rumah. Apa yang kata orang-orang?
Ada yang mengatakan sudah repot-repot membangun masjid mau jamaah dilarang! Sudah membeli karpet mahal-mahal malah digulung! Pengurus takmir masjid lucu. Begitu beberapa ungkapan warga baik yang disampaikan secara langsung maupun tidak.
Namun ketika masjid dibuka kembali, karpet sudah digelar lagi, ternyata orang itu juga tidak merta berjamaah di masjid. Mereka beralasan, repot ke masjid harus pakai masker, harus cuci tangan, harus jaga jarak, dan sebagainya. Lantas kapan mau ke masjid? Menunggu tidak pakai masker? Menunggu tidak perlu cuci tangan dulu? Atau menunggu kalau sudah tua?
Sama dengan menulis. Ketika dahulu belum mempunyai mesin ketik manual beralasan besok kalau sudah bisa membeli mesin ketik. Ketika mesin ketik manual sudah terbeli beralasan repot tidak bisa diedit harus ditip-ex. Akan lebih mudah jika ada mesin elektrik, jika ada salah ketik bisa ditimpa dengan pita tip-ex.
Sudah punya mesin elektrik masih beralasan lagi, menulis dengan komputer atau laptop pasti lebih mudah. Tidak butuh tip-ex lagi. Huruf bisa diatur sesuai selera. Menuangkan ide tulisan akan lebih mudah. Jika terjadi salah ketik tinggal diedit. Asyik. Tapi apa yang terjadi? Tulisan yang ditunggu-tunggu ternyata tidak nongol juga. Terus, kapan mulai menulis?
Akhirnya, jika mau mulai menulis jangan bayangkan kualitas dulu. Mulai saja dulu kualitas urusan belakang. Ingat tagline toko online di televisi, "Mulai aja dulu!" Â Apalagi sebagai guru, tidak adil rasanya ketika hanya menyuruh-nyuruh menulis tapi dia sendiri tidak pernah memberi contoh menulis. Salam literasi!.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H