Benar apa yang dikatakan Katedrarajawen bahwa membaca itu keren (Kompasiana, 10/7/2020). Katanya orang yang membaca, apalagi pakai kacamata memang kelihatan lebih keren.
Tak hanya keren, dalam catatan ringan itu juga disebutkan berbagai manfaat membaca. Antara lain bisa membuka mata, pikiran, dan hati. Membaca akan membuka wawasan, membuka pintu kesadaran, mengetahui apa yang sebelumnya tidak diketahui, merasakan apa yang sebelumnya tidak dirasakan, melakukan apa yang sebelumnya tidak dilakukan dan berbagai manfaat lain dari membaca.
Namun demikian, apakah cukup jika kita disebut keren hanya karena bergaya suka membaca? Dalam berliterasi pasangan membaca adalah menulis. Pramoedya Ananta Toer mengatakan bahwa, "Sepandai apa pun seorang manusia, apabila di dalam hidupnya ia tidak menuliskan kepandaiannya itu dalam bentuk karangan, begitu ia meninggal dunia maka karyanya kurang dikenang dan diwarisi oleh generasi selanjutnya."
Berkaca dari pendapat itu, dalam berliterasi kita tidak hanya berhenti pada aktivitas membaca. Literasi - baca dan tulis - adalah penanda peradaban. Peradaban yang maju ditopang oleh tradisi literasi yang kuat dari masyarakat. Segala sesuatu ditulis, dikembangkan, dan disebarluaskan agar memberikan manfaat sebesar-besarnya kepada masyarakat.
Sebaliknya peradaban yang belum maju biasanya lemah dari sisi literasi. Membaca dan menulis dianggap sebagai barang mewah. Hanya mereka yang terdidik saja yang berhak melakukannya. Padahal mereka yang terdidik pun belum tentu memiliki tradisi membaca dan menulis.
Padahal melalui tulisan seseorang akan dikenang sepanjang masa. Sebagai contoh, kita kenal nama besar Imam al-Ghazali. Padahal beliau hidup di masa dengan rentang yang sangat jauh dari kita. Beliau meninggal pada tahun 1111 M, namun pemikirannya masih memiliki pengaruh besar dalam kehidupan umat Islam hingga sekarang dan yang akan datang. Mengapa? Tentu karena Imam al-Ghazali meninggalkan karya tulis yang berlimpah.
Menyebut nama besar Imam al-Ghazali mungkin terlalu jauh dari konteks kita saat ini. Maka, kita ambil satu contoh lagi Andrea Hirata. Siapa sih yang tidak kenal dengan penulis novel Laskar Pelangi yang fenomenal ini? Andrea Hirata bisa terkenal (beken) karena tulisan. Dan banyak contoh lainnya.
Bagi seorang guru seperti saya kegiatan menulis bukan lagi pada tataran ingin dikenal (beken). Tetapi lebih karena faktor tuntutan profesi atau dorongan ingin berbagi. Itu saja tidak banyak yang mau melakukan. Maka, jika guru yang mau mencintai membaca itu keren, dan jika ditunjang kemauan menulis bisa jadi mengantarkan menjadi beken.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H