Mohon tunggu...
Rokhman
Rokhman Mohon Tunggu... Guru - Menulis, menulis, dan menulis

Guru SD di Negeri Atas Awan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Guru dan Era Kenormalan Baru

27 Mei 2020   16:27 Diperbarui: 27 Mei 2020   18:25 895
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Satu lagi istilah baru menghiasi ruang publik di masa pandemi korona ini. "New Normal" atau "Kenormalan Baru" santer dibicarakan setelah ldul Fitri. Apa sih "New Normal" atau "Kenormalan Baru" itu? Ada pula pertanyaan nyleneh dari seorang teman, "Kenormalan baru itu sebenarnya normal atau tidak sih?"

Tulisan berikut mencoba mengurai apa itu "kenormalan baru" dan upaya apa yang perlu dipersiapkan guru untuk menyongsongnya.

Kenormalan baru menurut Badan Bahasa Kemdikbud @badanbahasakemdikbud yaitu keadaan normal yang baru (belum pernah ada sebelumnya). 

Sementara kata "normal" menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti; 1) menurut aturan atau menurut pola yang umum; sesuai dan tidak menyimpang dari suatu norma atau kaidah; sesuai dengan keadaan yang biasa; tanpa cacat; tidak ada kelainan, dan 2) bebas dari gangguan jiwa.

Jadi "Normal" dan "Kenormalan Baru" mempunyai konteks dan makna berbeda. Normal berarti kembali seperti keadaan semula sementara normal baru adalah keadaan yang belum pernah ada sebelumnya. 

Bersalaman dahulu merupakan kebiasaan baik, tetapi di era kenormalan baru menjadi sesuatu yang perlu dihindari. Dan masih banyak contoh lainnya sehingga dibutuhkan kemampuan adaptasi.

Pandemi korona mengharuskan masyarakat beradaptasi dengan kenormalan baru, seperti menggunakan masker ketika keluar rumah, selalu mencuci tangan dengan sabun, dan menjaga jarak fisik ketika berada di tempat yang ramai. Kebiasaaan tersebut jelas bukan keseharian kita sebelumnya. Tetapi mau tidak mau masyarakat harus menerapkan (kenormalan baru) itu dalam kesehariannya.

Presiden RI Joko Widodo dalam pernyataan resmi di Istana Merdeka mengatakan, "Kehidupan kita pasti berubah untuk mengatasi wabah ini, itu keniscayaan. Itulah yang oleh banyak orang disebut "New Normal" atau tatanan kehidupan baru." (Tempo.co, 15/5/2020).

Di sisi lain, jika melihat angka-angka korban wabah korona hingga saat ini belum ada tanda-tanda penurunan. Bahkan di daerah tertentu seperti Surabaya, Jatim jumlah pasien positif Covid-19 terus bertambah. 

Kapasitas RS Unair penuh hingga tak mampu menerima rujukan pasien baru. Jumlah tenaga medis semakin berkurang karena ada yang tertular dan harus menjalani isolasi. PSBB Surabaya diputuskan untuk diperpanjang. Lantas di daerah seperti ini, apakah akan dipaksakan "New Normal?"

Namun, pernyataan presiden itu rupanya akan segera menjadi kenyataan. Hal itu ditandai dengan keluarnya jadwal "New Normal" di bidang ekonomi. Lantas bagaimana dengan "New Normal" bidang pendidikan? Siapkah guru menyambut kenormalan baru di sekolah?

Tantangan Guru 

Jika "New Normal" diterapkan di bidang pendidikan khususnya di sekolah akan menjadi tantangan berat bagi guru. Guru akan menghadapi pilihan-pilihan yang tidak mudah. Contoh sederhana, selama ini untuk menanamkan pendidikan karakter sekolah telah menerapkan budaya 3S (salam, senyum, sapa).

Untuk menanamkan budaya 3S di lingkungan sekolah tak semudah yang dibayangkan. Peran guru sebagai agent of change benar-benar diuji. Diawali dari kebiasaan guru; harus berangkat lebih awal, bermuka manis, dan siap menyambut peserta didik antre bersalaman di gerbang sekolah sejak pagi. Namun, setelah habituasi ini terbentuk pada era "kenormalan baru" nanti harus diubah.

Di era "kenormalan baru" guru dituntut untuk mencari atau menggali potensi dalam diri dan mengubahnya menjadi sesuatu yang dapat dijadikan sebagai kelebihan atau daya tarik. Guru harus melakukan apa yang seharusnya dilakukan dan tidak melakukan hal-hal yang seharusnya tidak dilakukan.

Perlu diingat, ada 3 dimensi yang perlu dikembangkan dalam pembangunan manusia Indonesia yang berkepribadian yaitu; cerdas, sehat, dan berbudi pekerti luhur. 

Guru memegang peran penting dalam membekali peserta didik dengan ketiga dimensi itu. Setidaknya sebagai benteng menghadapi tatanan kehidupan baru. Untuk itu, guru harus bersiap diri dan mengambil peran antara lain:

Pertama, sebagai agen of change. Guru hendaknya dapat menjadi figur yang dapat diteladani oleh peserta didik. Dalam hal ini menjalankan semua anjuran pemerintah terkait dengan penanganan wabah Covid-19.

Kedua, harus sense of crisis. Guru harus memiliki kepekaan terhadap krisis yang sedang melanda saat ini. Peka terhadap kemampuan peserta didik, orang tua, dan lingkungan. 

Sinergitas semua unsur dibutuhkan demi keberlangsungan kegiatan pembelajaran di sekolah. Agar tercipta pembelajaran yang efektif dan efisien dukungan orang tua dan lingkungan mutlak diperlukan.

Ketiga, sebagai filter infomasi. Guru harus mengambil peran sebagai filter terhadap semua informasi yang berkembang dan beredar di masyarakat. 

Guru harus aktif untuk update informasi agar mampu berperan sebagai sumber informasi terpercaya. Guru juga harus bisa menyaring setiap informasi sebelum disampaikan kepada peserta didik. Jangan sampai guru justru sebagai agen berita bohong atau penyebar hoaks kepada anak. Maka, prinsip saring sebelum sharing, harus benar-benar dipegang seorang guru.

Keempat, sebagai pembelajar. Guru sebagai pembelajar harus selalu siap untuk meng-upgrade diri, dengan: 

1). Aktif mengikuti informasi terbaru seputar pendidikan dengan rajin membaca, 

2). Mampu merancang pembelajaran yang kreatif dan invonatif untuk menyesuaikan situasi yang terus berkembang agar pembelajaran terlaksana secara efektif dengan waktu terbatas namun konten kurikulum dapat tersampaikan, 

3). Mampu mendasain ruang pembelajaran dengan memperhatikan jarak aman bagi peserta didik. Bagaimana mengatur keterbatasan ruang dengan jumlah peserta didik yang banyak dalam satu kelas, dan 

4). Berusaha meningkatkan keterampilan menggunakan media elektonik dan media sosial. Sebab, diakui atau tidak keduanya saat ini menjadi pendukung utama kegiatan pembelajaran. Intinya guru dilarang "gaptek".

Sebenarnya masih banyak hal yang perlu dipersiapkan guru untuk menyongsong era "kenormalan baru."  Semuanya merupakan tantangan berat bagi guru. Tetapi semua itu harus dipertimbangkan dan dipersiapkan sejak dini. Jangan sampai ketika nanti benar-benar diterapkan guru justru kedodoran.

Apa jadinya jika "kenormalan baru" diterapkan, sekolah justru menjadi kluster baru penyebaran Covid-19? Bisa dipastikan kritikan pertama akan dialamatkan kepada para guru. Semoga dengan kesiapan lebih awal, kita semua dapat menjalani tantanan kehidupan baru ini dengan lebih baik. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun