Pertumbuhan teknologi komunikasi telepon pintar dan media sosial yang tidak diimbangi literasi digital menyebabkan berita palsu alias hoaks merajalela di Indonesia. Informasi menyesatkan banyak beredar melalui aneka jalur digital, termasuk situs on-line dan pesan chatting.
Kalau tidak berhati-hati, warganet bisa termakan tipuan hoaks, atau bahkan ikut menyebarkan informasi palsu yang boleh jadi sangat merugikan bagi pihak lain. Padahal googlesebagai raksasa mesin pencari mengakui tidak bisa mengontrol informasi yang diunggah ke internet. Â Hal ini disadari Managing Director Google Indonesia, Tony Keusgen. Menurutnya, Google sebagai platform selama ini hanya berperan sebagai penghimpun sehingga tak bisa mengontrol berbagai informasi yang diunggah warganet.
Lantas bagaimanakah cara agar tak terhasut atau ikut-ikutan menyebar berita palsu? Sebagai guru kita perlu literasi yang cukup agar bisa memberikan penjelasan kepada masyarakat khususnya peserta didik. Dan tidak mudah ikut-ikutan menyebarkan berita yang belum jelas tingkat kebenarannya.
Maka, untuk bisa membantu dalam mengidentifikasi mana berita palsu dan mana berita asli Septiaji Eko Nugroho, Ketua Masyarakat Indonesia Anti Hoaks seperti dikutip KompasTeknomenyebutkan lima langkah sebagai berikut :
Pertama, hati-hati dengan judul provokatif. Tak sedikit berita yang muncul di internet menggunakan judul provokatif. Langkah yang bijak, coba cross check berita itu dengan menggunakan mesin pencari Google untuk memastikan apakah berita yang kita baca, ditulis dan diterbitkan oleh situs berita lain.
Kedua,cermati alamat situs. Untuk informasi yang diperoleh dari website atau mencantumkan link, cermatilah alamat URL situs dimaksud. Apabila berasal dari situs yang belum terverifikasi sebagai institusi pers resmi -misalnya menggunakan domain blog, maka informasinya bisa dibilang meragukan.
Ketiga, periksa fakta. Hal lain yang perlu diamati adalah perbedaan antara berita yang dibuat berdasarkan fakta dan opini. Fakta adalah peristiwa yang terjadi dengan kesaksian dan bukti, sementara opini adalah pendapat dan kesan dari penulis berita sehingga memiliki kecenderungan untuk bersifat subyektif. Maka yang perlu diperhatikan dari mana berita berasal dan siapa sumbernya.
Keempat, cek keaslian foto. Di era teknologi digital, bukan hanya konten berupa teks yang bisa dimanipulasi, melainkan juga konten lain berupa foto atau video. Ada kalanya pembuat berita palsu juga mengedit foto untuk memprovokasi pembaca. Langkah untuk mengecek keaslian foto bisa dengan memanfaatkan mesin pencari Google, yakni dengan melakukan drag-and-drop ke kolom pencarian Google Images. Hasil pencarian akan menyajikan gambar-gambar serupa yang terdapat di internet sehingga bisa dibandingkan.
Kelima, ikut serta grup diskusi anti-hoaks. Di Facebook terdapat sejumlah fanpage dan grup diskusi anti hoaks. Di grup-grup diskusi ini, warganet bisa ikut bertanya apakah suatu informasi merupakan hoaks atau bukan, sekaligus melihat klarifikasi yang sudah diberikan oleh orang lain.
Dampak negatif dari berita hoaks dapat dirasakan oleh siapa saja. Kontennya yang berisi hal negatif bersifat menghasut dan memfitnah. Hoaksakan menyasar emosi masyarakat, dan menimbulkan opini negatif hingga berakibat yang lebih luas terjadinya disintergrasi bangsa.
Peran guru sangat diperlukan untuk memberikan edukasi kepada masyarakat khususnya kepada peserta didik dalam menyaring informasi. Adapun caranya antara lain; 1. mendorong masyarakat untuk menyebarluaskan berita positif maupun tulisan kritis terkait isu yang berkembang, 2. memutus hubungan di media sosial dengan orang yang gemar menyebar kebencian, 3. membantu dalam menyebarkan klarifikasi atas berita bohong tersebut, sebab kebohongan yang dilakukan dengan masif lama-kelamaan akan dianggap sebagai fakta, dan 4. jangan diam jika mendapati berita fitnah lewat media sosial, jika perlu melaporkan akun provokatif secara massal kepada aparat berwenang.
Contohnya ketika Kawah Sileri di Dataran Tinggi Dieng menyemburkan lumpur dingin 2/7/2017 lalu, berita yang beredar melalui media sosial, Kawasan Dieng ditutup total. Padahal kejadian sebenarnya, berdasarkan penjelasan Surip, petugas Gunung Api Dieng, Kawah Sileri meletus freatik (menyemburkan lumpur dingin) setinggi 50 meter. Ketika kejadian ada 17 pengunjung di dekat lokasi, 10 di antaranya mengalami luka-luka. Korban luka diakibatkan jatuh atau bertabrakan karena takut bukan karena semburan lumpur. Objek wisata yang ditutup adalah Kawah Sileri yang berada di Desa Kepakisan, Kecamatan Batur, Banjarnegara. Objek wisata lain seperti Kawasan Candi Arjuna, Telaga Merdada, Kawah Sikidang, Kawah Candradimuka, Sumur Jalatunda, Telaga Warna dan objek lainnya letaknya cukup jauh dan aman dikunjungi.
Akibat berita yang tidak benar banyak wisatawan yang membatalkan kunjungannya ke Dieng. Untuk menangkal berita tersebut, pemerintah, masyarakat, penggiat pariwisata bahu membahu menyebarkan klarifikasi bahwa Dieng aman dikunjungi. Hasilnya, Dinas Pariwisata Kabupaten Banjarnegara mendapatkan hikmah dari peristiwa itu, yakni target PAD tertutup dari UPT Dieng, hal tersebut seperti disampaikan oleh Wabup H. Syamsudin, S.Pd, M.Pd.
Di era digital sekarang ini diperlukan kehati-hatian ketika menerima pesan atau membaca suatu berita. Diperlukan kejelian, kewasdaan dan literatur yang cukup untuk menilai apakah berita tersebut asli atau hoaks. Namun, yang tidak kalah penting diperlukan orang yang layak dimintai pendapatnya.
Hingga saat ini, seseorang yang berprofesi sebagai guru masih dipandang sebagai tempat untuk bertanya. Apalagi di daerah pedesaan. Oleh karena itu, sebagai guru dituntut untuk selalu meng-update informasi. Maka, tidak ada kata lain guru harus senantiasa belajar dan rajin membaca. Guru harus menjadi manusia literat, laksana perputakaan berjalan. Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H