[caption caption="Ilustrasi : suaramuhammadiyah.com"][/caption]Kaum intelektual, seperti guru, sering dikatakan sebagai “agent of change”, atau sebagai agen perubahan. Namun fakta juga menunjukkan bahwa tidak ada rumus baku atau korelasi yang menunjukkan satu garis linier yang menghubungkan pernyataan : bahwa makin pandai atau intelek seseorang, akan meningkat pula daya kreatifitasnya, apalagi moralnya.
Contoh kasus ketika seseorang masih bodoh barangkali justru masih lugu dan paham bahwa mencuri itu perbuatan dosa. Namun seiring meningkatnya pengetahuan bahkan ketika telah lulus sarjana dan bekerja di kantor instansi tertentu, “keluguan” itu akan hilang. untuk menghitung 2 x 2 saja misalnya, harus menunggu petunjuk atasan atau harus menyulap kuitansi untuk kemudian korupsi.
Karenanya tingkat moralitas itu harus dibina sejak awal dalam diri calon intelektual. Kegiatan menulis dapat dijadikan sebagai sarana pencegah “ketidaklurusan” hati nurani seseorang. Seseorang yang kritis menangkap persoalan-persoalan sosial yang membentang di depan mata, dan mampu menuangkan dalam tulisan akan merasa malu jika ia sendiri justru melakukan perbuatan yang bertentangan dengan moral dan undang-undang.
Demikian pengantar salah satu narasumber dalam sebuah acara pelatihan menulis, yang pernah saya ikuti. Lantas, benarkah kegiatan menulis dapat mencegah “ketidaklurusan” hati nurani seseorang? Tentu, apabila kegiatan menulis itu dilakukan dengan hati. Menulis dalam rangka menegakkan kebenaran dan menyampaikan “amar makruf nahi mungkar”.
Namun, sebagai penulis ada beberapa etika atau aturan main yang harus dipatuhi. Jangan sampai menulis untuk tujuan menegakkan kebenaran justru malah melanggar kode etik kepenulisan. Nah, secara garis besar aturan main yang harus ditaati dan dilaksanakan oleh para penulis, seperti yang disampaikan oleh Abu Al-Ghifari dalam buku “Kiat menjadi Penulis Sukses” berikut ini :
- Materi dan gagasan penulis, hendaknya tidak bertentangan dengan UUD 1945, Pancasila, dan peraturan lain yang berlaku di masyarakat.
- Isi tulisan tidak menyinggung kebersamaan dan kerukunan sesama warganegara, warga masyarakat secara keseluruhan, terutama dalam masalah suku, agama, ras dan antar golongan (SARA).
- Penulis harus jujur dalam segala hal berkaitan dengan materi kepenulisannya. Dalam hal ini menyangkut identitas dan status penulis. Ketidakjujuran penulis akan merugikan diri sendiri.
- Penggunaan bahasa yang baik dan benar. Dalam hal berbahasa Indonesia berpedoman pada Ejaan Yang Disempurnakan (EYD).
- Tidak melanggar hak cipta orang lain, seperti menjiplak, mengutip tanpa disebutkan sumbernya, dan hal-hal lain yang semacamnya.
- Apabila dikirim ke media cetak hendaknya ditulis dengan rapi, bersih tanpa coretan. Dan, tidak mengirim tulisan yang sama kepada media atau penerbit lain, kecuali sudah ada kesepakatan dengan pihak terkait.
Akhirnya, tugas intelektual bukanlah semata-mata menciptakan perubahan, melainkan ia juga harus mampu mendidik masyarakat manakala perubahan itu terjadi, demikian kata Stefan Chaffe dalam “The Public Image of the Press”.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H