Mohon tunggu...
Ahman Sarman
Ahman Sarman Mohon Tunggu... Guru - Penikmat Aksara dan Penyelam Makna

Hobi menulis, mengajar dan membuat konten

Selanjutnya

Tutup

Politik

Dilema Memilih

25 Juni 2022   13:22 Diperbarui: 25 Juni 2022   13:32 179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pemilu 9 Desember 2015, merupakan Pemilu akbar pertama selama Indonesia merdeka. Paradigma pemilih pun bergeser dari pemilih konvensional menjadi pemilih intelektual. Oleh sebab itu, menjadi susah dan perlu hati-hati juga bagi para kontestan untuk meraba "kantong-kantong" massa. Cara pandang memilah dan memilih pemimpin selama lima tahun ke depan tidak saja didasarkan atas naluri rasa kasihan, bangga, dan cinta, tetapi lebih dari itu. Penentuan untuk memilih pemimpin lebih menitikberatkan pada logika dan pertimbangan perilaku positif dan negatif. Semakin banyak perilaku positif para kandidat, semakin banyak pula jumlah suara yang diperoleh, demikian sebaliknya, semakin banyak perilaku negatif yang dilakukan selama ini, semakin sedikit juga jumlah pemilih.

Penyebab minimnya jumlah pemilih lebih didasarkan atas rasa sakit hati, kekurangpercayaan, dijanjikan namun tidak ditepati, dan lebih mendalam lagi karena ingin terbebas dari intimidasi. Terkadang para pemilih telah menentukan pilihan berdasarkan kejujuran hati, tetapi intimidasi muncul dari pihak lain. Itu sebabnya jangan heran jika ada warga negara yang merasa lebih baik menjadi warga negara yang tidak memilih. Sebab menjadi warga negara yang tidak memilih adalah pilihan terbaik juga. Secara sederhana, hak warga negara semestinya dipilah menjadi beberapa bagian, (1) berhak memilih, (2) berhak dipilih, (3) berhak untuk tidak memilih. Efek lain ketika seseorang enggan memberikan hak suaranya karena visi dan misi yang tidak menguntungkan dirinya, kelompoknya, bahkan daerahnya.

Di beberapa daerah para kandidat telah mengumandangkan kalimat-kalimat perhatian agar seluruh warga negara yang telah berhak terlibat dalam Pemilu memberikan dukungannya. Mulai dari pencitraan hingga pencucian nama buruk turut menghiasi perhatian masyarakat. Di perkampungan, di pasar, di pusat-pusat perbelanjaan, hingga di khalayak ramai lainnya agenda pencitraan dipandang ampuh sebagai jurus jitu dalam menyedot perhatian. Seiring dengan itu, pengelolaan isu untuk menjatuhkan lawan pun tersampaikan. Sehingga, yang muncul di permukaan ada dua hal (1) memberikan janji yang tidak dipertimbangkan efeknya, (2) mengajarkan keburukan yang dianggap hal biasa.

Sebenarnya hal biasa menjadi luar biasa bisa muncul setiap saat. Kepercayaan masyarakat tidak bisa dibangun menjelang waktu kampanye, melainkan dibentuk selama lima tahun sebelumnya. Artinya, orang-orang yang benar-benar baik dan mau membantu semestinya bukan pada saat dirinya memiliki kedudukan, tetapi sebelum memiliki kedudukan. Tebar pesona sebagai taktik politik tidak dijadikan pijakan untuk memperoleh jumlah suara yang banyak, tetapi berlandaskan pada penularan cara berpolitik yang baik dan sehat. Ada hal yang perlu dipertimbangkan dan dianalisis dengan bijak dalam perpolitikan di Indonesia. Kalau saja semua mau jujur, asal-usul perpolitikan yang tidak sehat didahului oleh para politikus yang lebih mementingkan dirinya daripada mementingkan kebutuhan orang banyak. Sehingga, harus diakui jika semakin bergesernya zaman, semakin tinggi juga jumlah masyarakat yang menempatkan dirinya untuk tidak memilih.

Memilih menjadi dilema dalam kehidupan. Bagi seorang pegawai misalnya, muncul rasa kekhawatiran salah memilih yang kelak berdampak pada jabatan dan tempat tugasnya. Istilah mutasi dan promosi jabatan dijadikan "senjata" paling ampuh. Demikian juga dengan para pegawai, terhipnotis dengan kondisi itu. Kegagalan kita selama ini adalah terlena dengan kalimat-kalimat fiktif. Hal itu juga menjadi pemicu sehingga semakin hari semakin berkurang orang-orang yang idealis.

Dilema memilih selanjutnya terlahir dari pengalaman-pengalaman Pemilu sebelumnya. Banyak hal yang mengecewakan dari para pemimpin sebelumnya. Konsekuensi dari seorang pemilih adalah menerima hasil pilihan dengan bijak selama lima tahun. Penyesalan tidak akan terobati. Barangkali untuk menarik dukungan tidaklah mungkin terjadi, tetapi menahan diri untuk tidak memilih pada periode berikutnya menjadi pilihan mutlak dari dirinya.

Menindaklanjuti paradigma sebagaimana telah diutarakan pada paragraf-paragraf sebelumnya, pesan moral yang semestinya kita petik bersama dalam ranah menentukan masa depan bangsa harus dicerna dengan baik pada setiap janji yang diutarakan oleh para kontestan. Keterlibatan kaum intelektual dan masyarakat pada umumnya adalah keterlibatan jangka panjang. Satu suara menentukan masa depan bangsa minimal selama lima tahun. Memilih merupakan hal wajib, meskipun tidak memilih juga merupakan hak. Dilema memilih biarlah menjadi bahan renungan, tetapi selamatkan Indonesia tidak saja hanya dilakukan dengan renungan, tindakan dan sportivitas juga wajib dijalankan. Selamat memilih.

Penulis: Ahman Sarman (Kepala SMP Negeri 12 Wonosari, Kabupaten Boalemo, Gorontalo).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun