Selisih paham orang tua dan anak biasa bermula dari sesuatu yang teramat ringan. Orang tua memaknai perhatian dengan bertanya sesuatu sementara anak sering memakna sebagai campur tangan pada hidupnya. Orang tua memaknai memberi nasihat adalah pula perhatian sementara anak memaknai semacam rese kurang kerjaan. Orang tua memaknai memberi kritik membangun tapi anak memaknai sebagai mengganggu eksistensi dan kreatifitasnya.
Peristiwa selalu diulang dalam perhelatan hidup antar generasi adalah anak biasa melupakan yang telah mereka salah-sangkakan pada orang tua mereka dulu, sementara mereka sibuk galau pada perilaku anak. Sebuah dramaturgi kehidupan. Malinkundang-Malinkundang kecil betebaran di muka bumi dalam keributan-keributan kecil rumahan; keributan yang bersumber dari perebutan makna interpretatif atas nilai perhatian. Sebenarnya sudah sunnatullahnya orang tua "banyak bicara" karena kekhawatiran mereka atas dunia tak terjangkau, karena demikianlah orang tua-orang tua baik tercipta.
Jadi teringat saat anak laporan kemaren berantem ama ibunya pula tentang salah paham menginterpretasi nasihat. Lalu aku bilang, "Tak mungkin ibumu marah tanpa ada sebab, kamu pasti mendebatnya. Lalu mengapa kau ngga diam dan biarkan ibumu selesaikan marahnya? Selama-lamanya ibumu marah paling ngga bakal kuat lebih dari 2 jam. Dan bila kau sama sekali ngga membantahnya mungkin marah berakhir jauh lebih cepat; karena bantahanmu bagai kayu dalam api unggun." Anak-anak terlalu sulit memahami kerumitan ini. Sesungguhnya orang tua cuma butuh jaminan rasa aman untuk menjadi lega. Ketika anak bersedia mendengar atau setidaknya sekedar bilang "iya" (walau sekedar lips service) itu sangat melegakan pula cukup membatalkan perseteruan lanjut anak-orang tua. Yang dikhawatirkan orang tua mungkin tak kan pernah terjadi tapi mereka cuma butuh perhatian yang melegakan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H