Seorang teman menulis dalam status FB-nya bahwa potensi zakat di Indonesia mencapai 171 Trilyun/tahun namun ia mempertanyakan mengapa penyerapannya hanya 1,7 Trilyun/tahun. Saya pun menjawab bahwa PR orang Islam sepanjang masa adalah sekedar mampu kumpulkan dana tapi miskin kreatifitas dalam membagi zakat tepat sasaran.  Zakat fitrah sepakat itu memang urusan perut tapi zakat mal yang lain tidak selalu  identik dengan kebutuhan perut ansih. Kemiskinan dan kefakiran tak hanya terhubung oleh sekedar variabel perut lapar.  Perut lapar tentu karena tak ada biaya, tak ada biaya karena tak ada kerja, tak ada kerja karena tak ada peluang kerja, tak ada peluang kerja karena tak ada iklim kerja, tak ada peluang kerja karena amil zakat 171 T/ tahun tak berusaha membuatnya. Sudah saatnya alokasikan buat zakat produktif. Apa contoh: bikin hutan rakyat, bikin waduk buat atasi kekeringan dan potensi budidaya karamba, sulap lahan tidur di luar Jawa buat pertanian rakyat, bikin KUD penampung beras, kedelai, dll. Pasang sumur2 bor di daerah kering, reboisasi tanaman tahan kering di Indonesia Timur (kenapa tak mencoba tanam kurma di Sumba?), bikin jalan raya pemutus keterisolasian, dll.
Ada banyak alternatif saat kita berpikir bahwa kemiskinan sekedar dampak dari aneka variabel keadaan yang bikin masyarakat miskin. Ini jauh maanfaat daripada sekedar bagi zakat dengan mengumpulkan umat miskin buat berdesakan ampe mati buat antri sembako. Pembangunan mental masyarakat juga tak beranjak lebih baik melalui sistem ini. Indonesia membutuhkan orang-orang bermental kaya bukan mental miskin. Mental kaya membuat orang mudah berderma sedangkan mental kemiskinan membuat orang tak peka lingkungan, individualis, hingga biang nepotisme dan korupsi. Mental miskin bikin orang terus merasa miskin sekalipun pundi-pundi telah berjibun.
Tentu mengenaskan menyimak ucapan ustadz tersohor di televisi, "...beda kita berikan langsung dengan memberikannya melalui organisasi seperti LAZIS atau BAZIZ adalah  kita nggak bakal dapet nangisnya mereka berterimakasih, kita cuma berhadapan dengan kwitansi."  Masyaallah, tersesat banget tuh ustadz, mereka bukan menangis karena berterimakasih tapi karena tergencet. Demikian angkuhnya orang berpunya membiarkan orang teraniaya antri zakat demi melihat tangis-nya. Kalau cuma mau lihat orang nangis ambil foto atau video orang nangis diputer berulang di monitor tv selesa. Mari berzakat dengan cerdas, mari melangkah ke surga dengan cerdas, mari pilih amil zakat yang cerdas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!