Belum lekang dari ingatan, berapa waktu lalu sebuah stasiun televisi demikian gencar menyuguhkan siaran langsung plus siaran tunda pernikahan sepasang artis berhari-hari mulai prosesi lamaran hingga bulan madu. Sebuah acara yang boleh dibilang lebih mirip sebagai sebuah pertunjukan aurat kemewahan kota. Pemirsa mungkin tak menyadari betapa acara pernikahan ini adalah perhelatan media massa. Aneka sisipan iklan di sela-sela atau yang betebaran yang diramu dalam kemaasan professional even-organizer tentu menjadi sumber pundi-pundi pendapatan signifikan. Bukan pernikahan penjaga adat, bukan tokoh keraton, bukan tokoh sentral pemerintahan, bukan orang penting dalam proses pembangunan, bukan siapa-siapa. Lalu apa maanfaat edukatif bagi pemirsanya? Tentu mempertunjukkan hal demikian menjadi hak media maupun individu terlibat namun pertanyaan penting dijawab adalah adakah punya sedikit sensitif sosial bagi dampak psikologis timbul pada pemirsa? Siaran kemewahan dengan durasi tidak wajar (ada yang menghitung hingga 14 jam non stop) belum termasuk siaran ulangnya tentu rentan berkembang menjadi suguhan hipnotisme yang mampu menyihir bahkan orang tidak miskin pun jadi merasa miskin seketika.
Suguhan hipnotisme yang lahir dari penayangan acara terus menerus rentan berdampak terbitnya fenomena framing. Robert N. Ertman menyebut framing sebagai proses terfokusnya perhatian pemirsa dari berbagai aspek realitas menjadi hanya satu realitas saja dan menjadikannya lebih menonjol/ penting  dibandingkan aspek lain. Salahsatu cirinnya adalah ketika masyarakat telah menempatkan sebuah topik informasi dalam foklor perbincangan sehari-hari --alih-alih berkembang lebih massif dari agenda setting menjadi semacam agenda public terhadap pembentukan dominasi style sistem kultur masyarakat untuk kemudian menjadikan atau melahirkan trendsetter (seperti sebuah mode pakaian). Media massa punya kekuatan mengarahkan bagaimana masyarakat harus berpikir. Pertanyaan berikutnya adalah sejauhmana sajian tayangan semacam ini mempengaruhi masyarakat pertanian desa mengenai konsep apa itu sejahtera? Sederhana bahwa setiap informasi yang dilepas membawa tebaran simbol-simbol yang dapat ditangkap atau ditandai pemirsa. Setidaknya dalam sajian pernikahan mewah ini pemirsa menangkap simbolisasi tentang artis, pesta akbar, barang mewah, ketenaran publik figur, dan sebagainya sebagai sebuah realitas yang hanya dapat bertalian dengan konsep kota metropolitan. Pertanyaan berikutnya adalah bilamana gaya hidup metropolis demikian menjadi mimpi ideal bawah sadar remaja desa? Tentu dampak realistis pertama adalah semangat urbanisasi.
Jadi teringat teori migrasinya Everett S. Lee. Lee melihat setidaknya ada empat faktor yang sanggup membuat individu pergi dari komunitas lama, yaitu: faktor negatif daerah asal, daya tarik daerah tujuan, ada tidaknya faktor penghambat migrasi, dan faktor-faktor pribadi (alasan psikologis). Alasan psikologis adalah faktor dominan memimpin faktor lain dimana orang ingin migrasi ke kota karena desa tidak mampu menyediakan mimpi yang diidealkan individu. Â Di sisi lain, magnet kota demikian kuat menarik minat remaja desa (menggantungkan kiblat keberhasilan) ditunjang dominasi peran reproduksi gaya hidup kota oleh media massa. Â Gaya hidup kota rentan diidealkan jadi standar sukses masyarakat seolah tiada mode sukses lain dan alih-alih membuat kota semakin jadi tujuan gelombang urbanisasi dari desa. Â Â
Pandangan Robert Norris mungkin sedikit menghibur dengan teori migrasi baliknya yang melengkapi Lee. Menurut Norris boleh jadi tidak selamanya gelombang urbanisasi bertahan ideal di kota. Ada kemungkinan arus migrasi balik dari kota ke desa juga terjadi. Kaum urbanit yang tidak lagi mampu bersaing dan menyesuaikan diri di kota akan kembali ke desa (bukan selalu daerah asal); seperti individu yang gagal sukses atau yang masuk usia senja/ pensiun. Tapi pendapat Norris ini tak mampu menghibur nasib pertanian di desa. Mereka yang pulang setelah bertahun bergelut dengan kehidupan kota secara psikologis sulit beradaptasi kembali berlumur- lumpur di sawah; alih-alih mereka justru lebih memilih mengembangkan mode ekonomi kota di desa. Dengan kata lain gelombang migrasi balik tidak menghasilkan perbaikan wajah pertanian di pedesaan melainkan lebih menyuburkan percepatan desa menjadi model kota baru yang alih-alih berujung pada alih fungsi lahan. Pertanian bertalian dengan ketersediaan lahan dan keberfungsiannya. Bila ketahanan pangan berbasis pembangunan pertanian dalam negeri menjadi program unggulan pemerintah tentu transformasi arus balik urbanisasi justru menjadi gangguan signifikan. .
Komunitas pertanian di desa seperti halnya kelompok masyarakat lain tentu memiliki potensi sikap resistensi pada tiap tayangan televisi. Mereka tidak demikian mudah terpengaruh secara membabibuta pada sajian televisi. Tapi peringatan Bernard C. Cohen penting disimak bahwa betul sajian media massa mungkin tidak berhasil banyak saat bercerita pada orang-orang yang berpikir, tetapi ia berhasil mengalihkan para pemirsa dalam berpikir tentang apa (mampu mensetting pemikiran). Eksploitasi berlebihan gaya mewah kota dalam bentuk sajian televisi yang membabibuta (non stop dan berulang-ulang) sangat rentan berdampak penetratif negatif pada sistem budaya pertanian di pedesaan; lebih jauh bukan hanya dari aspek urbanisasi melainkan pula saat arus balik urbanisasi.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H