Jaman sudah sekompleks (baca: rumit) begini masih banyak suami istri berseteru pembagian tupoksi peran secara kaku (baca: idealis) seperti masa lalu. Suami pingin pegang kendali ekonomi ansih sementara istri disudutkan dalam sekedar pekerjaan domestik alias per"dapur"an. Salahkah? Tentu tidak salah dan itu urusan dalam negeri masing-masing. Tapi bila
menilik ke bilik masing-masing rumah tangga tentu ada kondisi tak se-ideal di atas kertas. Ada banyak varian "kejadian" hingga tak bisa lagi berkaku ria dengan idealisme kaku pembagian peran istri-suami (secara domestik-publik). Ada sementara Rumah tangga yang bisa dibangun ideal karena memang semua variabel pendukungnya ideal-ideal juga. Tapi rumahtangga dengan aneka variabel kurang mendukung (baca: tak ideal) tak harus menempuh berantem akut apalagi bubar sebagai penyelesaian (selagi tujuan masih seiring). Diperlukan kebesaran jiwa, ketabahan, dan daya maklum luar biasa dalam memaknai tupoksi buat pertahankan rumahtangga tak ideal (agar "baik-baik" saja buat anggota keluarga).
Para "lugu" pemegang ideologi kaku mungkin tak setuju ini tapi dunia terlanjur bergerak ke arah lain dan mustahil tanpa persetujuan Sang Adikuasa. Hari ini pendidikan bukan hanya bisa dikonsumsi lelaki melainkan pula perempuan. Hal ini membuat bangunan struktur dalam kepala jadi seimbang (bukan lagi dikotomi laki dan perempuan namun mampu dan tak mampu). Peta hidup telah bergeser bukan lagi laki-laki mampu sementara perempuan tak mampu melainkan ada laki mampu, ada perempuan mampu, ada laki tak mampu, dan ada perempuan tak mampu. Kata mampu di sini terkait bisa mengerjakan/ menyelesaikan pekerjaan tertentu (baca: keahlian).
Para "lugu" pemegang ideologi kaku mungkin lebih tertarik bertengkar sengit daripada berdialog dingin apalagi bermaklum. Para status quo (sudah tentu laki-laki) bisa jadi gamang dengan pergeseran status ini. Ini dirasa mencabik-cabik bangunan kultur tradisional yang terlanjur disematkan melalui pendidikan keluarga sejak buaian mereka. Lelaki-lelaki yang dibesarkan dalam kultur keluarga aristokratik murni tentu akan kesulitan menerima kenyataan bila istri berkembang lebih hebat. Padahal tak sedikit para istri tetap menghargai suami walau karier mereka melesat hebat. Sisi positif musti diambil selama mereka berdua masih yakin bahwa keluarga adalah fokus komitmen/perjuangan bersama --bukan ego.
Krisis sosial-ekonomi (baca: bencana) berbagai skala mungkin sesekali berkunjung (baca:dialami) dalam keluarga atau komunitas yang lebih besar (kelompok/bangsa). Sejarah menunjukkan bahwa saat-saat krisis biasanya perempuan justru menjadi penyelamat komunitasnya. Pada jaman hunting and gathering society, berburu dengan talenta dan kekuatan otot adalah aktivitas prestisius dibidangi lelaki. Saat krisis pangan (akibat ketersediaan hewan buruan tak lagi sebanding perkembangan populasi manusia) peran kau perempuan sangat luar biasa. Perempuan menyelamatkan komunitasnya melalui revolusi pertanian (aktivitas domestik berabad-abad yang tak bergengsi saat itu) hingga lelaki mengambil alih-nya secara lebih masal dengan shifting cultivation (perladangan berpindah). Tak perlu jauh-jauh, perempuan banyak berjasa buat pertahankan ekonomi rumah tangga saat krisis moneter melanda Indonesia. Bisnis kecil-kecilan yang semula bersifat sampingan/ sambilan  tumbuh justru jadi penyelamat saat suami mengalami PeHaKa alias PHK. Konstruksi sosial ideal yang kaku tentang tupoksi telah berkali diuji. Pertanyaannya adalah sudahkah suami-suami belajar menghargai peran istri?
Kapitalisme adalah lokomotif liar yang tak lagi bisa dihindari melindas apa saja yang tak mampu menyesuaikan keadaan. Pendidikan adalah ikhtiar terakhir (selain doa) buat menyesuaikan diri dengan keadaan. Pada sisi lain pendidikan telah merubah peta gender berdasar kemampuan, konsep imam (dalam kehidupan keseharian) pun harus dibaca ulang bukan lagi selalu lelaki memimpin dalam segala hal melainkan siapa yang lebih mampu untuk sebuah urusan tertentu demi kebaikan bersama. Kuncinya adalah dialogantar. Kita tak bisa membendung pendidikan dan dunia kerja (di sektor publik) hanya boleh disakap lelaki karena kita tak pernah tahu siapa yang akan menyelamatkan disaat kondisi sulit. Kita nggak akan pernah tahu "pahlawan kehidupan" berasal dari mana (baca perempuan atau laki-laki); saat generasi berada di ujung tanduk bantuan siapapun-sekecil apapun jadi penting. Perempuan maupun lelaki sama-sama potensi bagi kehidupan komunitas.
Salut bagi para istri/ibu yang pernah terdeskreditkan secara kultur dan gender di rumah sendiri. Bersyukurlah bagi mereka yang mendapat pengakuan atau yang mampu bangkit lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H