Mohon tunggu...
Herman R. Soetisna
Herman R. Soetisna Mohon Tunggu... -

Pelopor ergonomi industri terapan di Indonesia untuk peningkatan level K3, peningkatan produktivitas, peningkatan kualitas, dan peningkatan "quality of working life" ini -katanya- pernah bersekolah di Teknik Industri ITB, Université des Sciences Humaines de Strasbourg, dan Université Louis Pasteur, Strasbourg-France. Sekarang Om-G [G=Ganteng, hehehe jangan protes ya...], bekerja sebagai dosen di ITB dan Peneliti Senior di Laboratorium Rekayasa Sistem Kerja dan Ergonomi di ITB. Untuk yang ingin mengontak Om-G, silakan kirim e-mail via hermanrs@ti.itb.ac.id Wass, HrswG.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pengkuantifikasian Manfaat Upaya Peningkatan Kondisi K3

9 September 2015   18:15 Diperbarui: 9 September 2015   18:34 8006
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

(Lanjutan dari tulisan “Program K3 Mahal? Hey, hitung dong dengan lengkap, bandingkan dengan penghematan karena kecelakaan jadi jarang terjadi [Tinjauan Cost Dan Benefit Untuk Upaya Peningkatan K3]”)

 

[Om-G: Seri Rekayasa Sistem Kerja dan Ergonomi Terapan, K3, 9 September 2015, 22].

 

Pada tulisan sebelumnya padaKompasiana.com/Om-G, Om-G telah menceritakan tentang unsur-unsur biaya dan manfaat akibat penerapan program peningkatan K3 di perusahaan. Bila unsur biaya sudah bersifat kuantitatif (dan kita hanya tinggal menjumlahkan pengeluaran-pengeluaran untk program ini), maka benefit atau manfaat Pogram K3 ini (terutama yang berada di bagian bawah dari “gunung es”, sehingga sering tidak kita perhitungkan...), perlu kita kuantifisir dulu.

Bagaimana caranya? Ok deh, akan Om-G paparkan pada tulisan di bawah ini.

---

Secara sederhana, manfaat dari upaya-upaya peningkatan keadaan K3 dapat dihitung dengan membandingkan biaya yang berkaitan dengan K3 yang ada pada saat ini dikurangi dengan estimasi biaya-biaya tersebut bila upaya-upaya peningkatan K3 dilaksanakan (selanjutnya, bila upaya-upaya peningkatan K3 ini benar-benar sudah dilaksanakan, biaya yang diestimasikan ini kemudian diganti dengan biaya yang sebenarnya, agar analisis cost benefit ini menjadi lebh baik).

Hal sangat penting yang perlu dilakukan dalam rangka pengkuantifikasian ongkos atau biaya akibat masalah-masalah K3 ini adalah pengidentifikasian faktor-faktor apa saja yang berkaitan dengan biaya tersebut (lihat bagian tulisan sebelumnya), barulah kemu­dian dikuantifikasikan ke dalam angka rupiah dan diperkirakan berapa dari jumlah tersebut yang akan dapat dihemat bila kita melakukan upaya peningkatan K3.

Sebagai contoh misalnya untuk menghitung berapa biaya akibat waktu produksi yang hilang pada pekerja yang mengalami kecelakaan kerja maupun pada rekan-rekannya maka ini dapat dihitung dari berapa lost time yang terjadi (waktu kerja seharusnya dikurangi dengan waktu kerja faktual) ketika suatu kecelakaan terjadi dan setelahnya, dikalikan dengan rate per jam dari masing-masing tenaga kerja yang “terpengaruh” (misalkan jumlahnya adalah sebesar “X” rupiah). Katakanlah upaya perbaikan K3 akan menurunkan terjadinya kecelakaan (frekuensi dan atau keseriusan dari suatu kecelakaan) menjadi setengahnya dalam perioda satu tahun, maka penghematan karena upaya peningkatan K3 ini adalah sebesar ½ “X” rupiah per tahun. Nah, “½ X rupiah per tahun” ini kemudian dibandingkan dengan cost yang dikeluarkan perusahaan untuk peningkatan K3 tadi.

Untuk kasus lain, di mana unsur “waktu yang hilang” ini tidak dapat diperoleh secara langsung, perlu dilakukan perhitungan “waktu baku”/waktu standar dengan seksama terlebih dahulu untuk menilai kelayakan waktu kerja yang sekarang diberlakukan di perusahaan. [Cara ini perlu dilakukan demikian karena untuk kasus tertentu, misalnya untuk kasus pekerja yang terkena “penyakit akibat kerja” (misalnya menderita sakit pada punggung bawah (low back pain), pada leher, lengan, menderita penyakit pernafasan, dsb.), para pekerja mungkin “masih terlihat bekerja seperti biasa” walaupun sebenarnya mereka bekerja tidak dengan “kapasitas penuh”, sehingga “lost time” nya memang tidak dapat terlihat secara langsung, dan hanya dapat dihitung dengan membandingkannya dengan “waktu yang seharusnya” a.k.a. “waktu baku”; mudah-mudahan pada tulisan selanjutnya Om –G akan membahas tetag “waktu baku” atau “waktu standar” ini...).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun