Mohon tunggu...
Herman R. Soetisna
Herman R. Soetisna Mohon Tunggu... -

Pelopor ergonomi industri terapan di Indonesia untuk peningkatan level K3, peningkatan produktivitas, peningkatan kualitas, dan peningkatan "quality of working life" ini -katanya- pernah bersekolah di Teknik Industri ITB, Université des Sciences Humaines de Strasbourg, dan Université Louis Pasteur, Strasbourg-France. Sekarang Om-G [G=Ganteng, hehehe jangan protes ya...], bekerja sebagai dosen di ITB dan Peneliti Senior di Laboratorium Rekayasa Sistem Kerja dan Ergonomi di ITB. Untuk yang ingin mengontak Om-G, silakan kirim e-mail via hermanrs@ti.itb.ac.id Wass, HrswG.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Para Human Resources Manager Bacalah Ini: Kesalahan Yang Sering Terjadi Ketika Kita Melakukan “Work Load Analysis” Untuk “Man Power Planning”

29 Juni 2015   08:37 Diperbarui: 29 Juni 2015   08:37 8503
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Perusahaan yang berkembang akan memerlukan karyawan dengan jumlah yang lebih besar. Yang menjadi pertanyaan, seberapa banyak tambahan yang dibutuhkan ? Juga, seringkali terjadi perubahan-perubahan pada hal-hal yang harus mendapat penekanan khusus dari perusahaan. Misalnya ada perusahaan yang tadinya lebih fokus pada produksi tetapi karena area pemasarannya makin luas dan karena melakukan differensiasi produk, dalam perkembangannya juga harus memperhatikan aspek distribusi dan kajian pemasaran (market research) secara lebih serius, yang karenanya akan memerlukan jumlah tenaga kerja yang penambahannya lebih besar daripada divisi-divisi lainnya.

Ada lagi masalah tambahan: divisi-divisi yang ada seringkali menampakkan “ego sektoral” (atau barangkali juga sekedar “jaga gengsi”) sehingga ketika ada divisi-divisi lain yang meminta tambahan orang ―yang memang diperlukan, karena adanya penambahan beban kerja―, maka mereka pun meminta tambahan orang, hal yang sebenarnya mungkin tidak diperlukan.

Untuk mengatasi permasalahan ini, adakalanya perusahaan meminta bantuan konsultan untuk melakukan “Analisis Beban Kerja” (Work Load Analysis) untuk mengetahui beban kerja dari masing-masing job-name, bagian, divisi dan keseluruhan perusahaan/instansi; di mana untuk selanjutnya dari sini dihitung kebutuhan jumlah tenaga kerjanya di masa yang akan datang (“Man Power Planning”).

Dalam kurun waktu lebih dari 20 tahun (dan di puluhan perusahaan, bank dan instansi/ institusi Pemerintah yang berbeda), Om-G dan kawan-kawan dari ITB cukup sering diminta untuk “cuci piring” a.k.a. mengerjakan ulang Work Load Analysis (disingkat WLA) yang sebelumnya sudah dilakukan oleh konsultan lain, karena para pimpinan perusahaan banyak merasakan adanya “keanehan-keanehan” pada hasil perhitungannya. Untuk itu, dalam tulisan ini Om-G akan menceritakan kesalahan-kesalahan apa yang sering terjadi pada proses pengerjaan WLA sebelumnya.

Ini dia hasil “investigasi-investigasi” tersebut (yang tidak merujuk pada satu “kasus” di sebuah perusahaan saja, dan agar tidak ada yang merasa tersinggung, rasanya Om-G tidak perlu menyebutkan nama-nama konsultan tersebut ya... Cukup fair, ’kan?):

  • Kasus pertama:

Ada konsultan yang “culun” banget. Dia melakukan WLA secara “aneh”, yang secara logika pun terasa banget bahwa cara yang dilakukan tersebut besar sekali kemungkinan salahnya. Begini yang mereka lakukan: untuk setiap job name dilakukan wawancara tentang hal apa saja yang secara de facto dikerjakan oleh si responden, berapa kali masing-masing pekerjaan tersebut dilakukan dalam setahun, dan berapa waktu rata-rata untuk mengerjakan masing-masing pekerjaan tersebut. Maksudnya, dari sini dihitung waktu yang dibutuhkan untuk masing-masing pekerjaan dalam setahun, kemudian semuanya dijumlahkan untuk semua pekerjaan yang dilakukan oleh si responden. Hasil dari sini dibandingkan (baca: dibagi) dengan jumlah jam kerja yang tersedia dalam setahun. Makin besar ratio tersebut maka itu berarti bahwa beban kerja si orang itu (si responden) makin besar.

Masalahnya, siapa juga orang yang hafal berapa kali masing-masing pekerjaan tersebut dilakukan per-tahunnya (kecuali kalau perusahaan memakai log book, dan orang mengisinya secara benar...), dan berapa waktu rata-ratanya? Apalagi sering terjadi bahwa si responden “mengikutsertakan” semua pekerjaan yang ada di dalam “job description” nya, padahal ada pekerjaan-pekerjaan tertentu yang sebenarnya dilaksanakan oleh pekerja “outsourcing”. Hal yang “manusiawi” sih, karena sebagian (besar) orang tidak ingin dianggap banyak nganggur (a.k.a. beban kerjanya rendah)... Tapi akibatnya semuanya dibesar-besarkan, sampai kadang-kadang jadi lebay banget deh... Misalnya, kebayang nggak sih, kalau beban kerja seorang karyawan, dari hasil hitung-hitungan, lebih dari 100 ? (yang artinya adalah bahwa dia melakukan pekerjaan yang mestinya dilakukan oleh 100 orang lebih). Superman ‘kalee...

  • Kasus ke dua:

Dalam kasus ini, perhitungan beban kerja dilakukan dengan cara “Work Sampling”, di mana para pekerja yang menjadi responden “diamati” secara random tentang apakah dia sedang melakukan pekerjaan kedinasan ataukah tidak. Sederhananya, misalnya seorang responden yang diamati 40 kali perharinya, ternyata dia “dipergoki” sedang melakukan pekerjaan kedinasan sebanyak 32 kali; maka disebut bahwa dia melakukan pekerjaan kedinasan sebanyak 80% dari waktu kerjanya.

Sampai di sini masih betul, tetapi pada tahap-tahap selanjutnya banyak ditemui berbagai macam kesalahan seperti berikut ini:

  • Tidak dilakukannya sosialisasi WLA kepada para karyawan dan tentang apa tujuan dilakukannya WLA, padahal mereka pasti melihat dan “merasakan” bahwa sedang ada sesuatu yang dikerjakan (oleh konsultan) yang berkaitan dengan mereka. Ya iya lah, ‘kan nggak biasanya ada “orang-orang konsultan” yang seliweran di sekitar mereka... Kalaupun pengamatan Work Sampling itu dilakukan dengan mempergunakan CCTV, mereka pasti tahu kok, walaupun pemasangan CCTV dilakukan pada malam hari pada saat para pekerja sudah pulang... (Heu... kalau pun kita masang CCTV di malam hari, pasti diketahui oleh Pak Satpam perusahaan, ‘kan? Nah dia ‘kan bisa cerita kepada orang-orang lain...). Keadaan tanpa penjelasan ini membuat para karyawan “menerjemahkan” WLA dan tujuannya itu menurut penafsiran mereka sendiri, yang bisa menyebabkan timbulnya “dugaan yang tidak-tidak” yang berakibat pada sukarnya mendapatkan kerjasama dari para responden (misalnya agar mereka bertindak wajar, sama seperti pada saat bekerja biasanya), sehingga ujung-ujungnya dapat mengganggu kelancaran proses pengukuran WLA ini.
  • Saat pengamatan pada responden tidak dilakukan secara acak atau random. Ini berakibat bahwa mereka dapat memperkirakan kapan saatnya mereka akan diamati, lalu mereka ber-akting deh seolah-olah sedang sibuk, padahal sesaat sebelumnya sedang tidak melakukan tugas kedinasan...
  • Responden hanya diamati 2 atau 3 hari, lalu dengan serta merta hasilnya dirata-ratakan, padahal mestinya dilakukan uji statistik berupa “uji keseragaman data” dan “uji kecukupan data”, agar data yang kita ambil bersifat representatif dalam arti bahwa sampel yang kita ambil mempunyai karakteristik yang (secara statistik) dianggap sama dengan karakteristik populasi. Belum lagi dengan adanya fenomena bahwa orang yang diamati akan bertindak ja-im (a.k.a. jaga image) dengan akibat bahwa hasil pengukuran yang kita dapat berbeda dengan keadaan sehari-harinya (yang tanpa ja-im...). Untuk mengatasi hal ini memang diperlukan trick..
  • Adanya job name tertentu yang “dihindari” untuk diamati dengan Work Sampling karena pekerjaan tersebut yang mobile (bergerak ke sana ke mari, yang tentunya bikin susah pengamat, karena dalam Work Sampling, seorang pengamat biasanya mengamati 4-5 orang responden). Lha kalau dihindari seperti ini, bagaimana kita bisa mendapatkan beban kerja mereka dong, dari langit? Yang jelas, “peta” beban kerjanya jadi ada “bolong-bolong”nya, dong...

Untuk ini ada konsultan yang mengakalinya dengan melakukan pengamatan “man to man marking” (seorang pengamat hanya mengamati 1 orang responden), dengan konsekuensi bahwa hal ini akan menggelembungkan biaya pengamatan, terutama bila ada cukup banyak job name yang pekerjaannya dilakukan secara mobile. Ada hal lain lagi: dengan pengamatan “man to man marking” ini maka orang yang diamati sering melakukan pekerjaannya seperti “yang seharusnya dilakukan”, bukan seperti “yang biasa dilakukan sehari-hari”.

  • Pengabaian akan adanya pekerjaan (job name) tertentu yang beban kerjanya bersifat siklis harian (yang berakibat bahwa, misalnya, beban kerja pada hari Senin berbeda dengan beban kerja pada hari Selasa-Rabu-Kamis dan dengan pada hari Jumat), siklis mingguan (misalnya, beban kerja pada minggu pertama berbeda dengan pada minggu ke-2 dan ke-3, dan berbeda pula dengan beban kerja pada minggu ke-4), dan atau siklis bulanan [misalnya untuk beberapa posisi perencana pada beberapa perusahaan BUMN, beban kerja pada bulan Januari-Juli (sedang) berbeda dengan beban kerja pada bulan Agustus-Oktober (tinggi atau tinggi sekali), dan berbeda pula dengan beban kerja pada bulan November-Desember (rendah)].

Nah, untuk mengatasi kendala-kendala ini, apakah kita harus melakukan pengamatan sepanjang tahun? Lebay banget deh, dan pasti akan meningkatkan biaya konsultan secara amat sangat signifikan sekali...

  • Pengabaian akan adanya perbedaan beban fisik, beban mental, beban waktu, kinerja, tingkat frustrasi, dan usaha yang haus dikerahkan seorang pemegang job name untuk melakukan pekerjaannya. Perbedaan-perbedaan itu, secara logis, akan berpengaruh pada beban kerja yang dialami oleh sebuah job name. Misalnya orang yang pekerjaannya mengangkut zak semen seberat 40 kg sepanjang hari tentu mempunyai beban kerja fisik yang lebih tinggi daripada pekerja lain yang pekerjaannya mengetik walaupun waktu yang mereka pergunakan untuk bekerja adalah sama.
  • Pengabaian akan adanya perbedaan tingkat keahlian dan keterampilan yang dimiliki oleh seorang karyawan. Misalnya seorang karyawan yang mempunyai kemampuan bahasa yang tinggi dapat menerjemahkan dari Bahasa Inggris ke Bahasa Indonesia sebanyak 2 halaman atau lebih per jam kerjanya, tetapi karyawan lain yang kemampuan bahasanya lebih rendah akan hanya menghasilkan 1 halaman terjemahan setelah 3 jam bekerja. Untuk kasus ini tentu kita harus “menghargai” mereka secara berbeda... Logis, ‘kan?
  • Pengabaian akan adanya “kelonggaran waktu” (time allowances) yang harus diberikan kepada para pekerja tertentu yang harus bekerja secara “tidak wajar” (misalnya harus membungkuk-bungkuk, atau sebaliknya, harus menjinjitkan kaki pada saat bekerja), yang tentu harus “dihargai” secara berbeda pula dibandingkan dengan pekerja lain yang dapat bekerja sambil duduk dengan nyaman di ruangan ber-AC...
  • §§

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun