Mohon tunggu...
Herman R. Soetisna
Herman R. Soetisna Mohon Tunggu... -

Pelopor ergonomi industri terapan di Indonesia untuk peningkatan level K3, peningkatan produktivitas, peningkatan kualitas, dan peningkatan "quality of working life" ini -katanya- pernah bersekolah di Teknik Industri ITB, Université des Sciences Humaines de Strasbourg, dan Université Louis Pasteur, Strasbourg-France. Sekarang Om-G [G=Ganteng, hehehe jangan protes ya...], bekerja sebagai dosen di ITB dan Peneliti Senior di Laboratorium Rekayasa Sistem Kerja dan Ergonomi di ITB. Untuk yang ingin mengontak Om-G, silakan kirim e-mail via hermanrs@ti.itb.ac.id Wass, HrswG.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Ojek dan Taksi Konvensional, Perlukah Dipertahankan?

25 Agustus 2017   11:42 Diperbarui: 25 Agustus 2017   12:17 1553
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Di Bandung, setahu Om-G, tindakan demikian sudah tidak terjadi lagi. Tetapi dari "laporan" anak Om-G yang kadang memakai ojek dan taksi online, para pengemudi konvensional itu masih suka "mengusir" pengemudi taksi dan ojek online dan bilang bahwa "ini adalah wilayah kami, sampeyan ndak boleh ngambil penumpang di sini...". Lho, di pangkalan ojeknya barangkali mereka masih bisa bilang bahwa "ini adalah wilayah kami", tapi satu milimeter di luar pangkalan mah ya ndak boleh dong... semua berhak memakai jalan; memangnya mereka yang bikin jalan..? Ah ini mirip dengan tindakan para sopir ojek konvensional yang melarang angkot "masuk" ke jalan tertentu setelah lewat magrib....

Trus, kenapa ya taksi online bisa memasang tarif yang lebih rendah? Ya jelas atuh. Pada taksi online, perusahaan tidak perlu mengeluarkan biaya investasi untuk pembelian mobil seperti pada perusahaan taksi konvensional. Dan ini jelas merupakan perbedaan yang cukup signifikan kepada "production cost" atawa harga pokok produksi (depresiasi ini "masuk" via mekanisme "biaya" depresiasi). 

Apa lagi bila perusahaan membeli secara kredit, di mana dia harus menanggung pula bunga kreditnya]. Demikian pula bersangkutan dengan biaya-biaya operasional tertentu, misalnya pajak kendaraan bermotor dan biaya perawatan kendaraan, yang pada perusahaan taksi konvensional ditanggung oleh pihak perusahaan, dan tidak demikian halnya pada perusahaan taksi online. 

Untuk "perhitungan "biaya-biaya ini, mudah-mudahan suatu hari akan Om-G tulis ya; paling tidak, ini untuk menjelaskan bahwa tarif atas dan bawah pada taksi online mestinya tidak disamakan dengan tarif atas dan bawah untuk taksi konvensional. Intinya adalah bahwa perusahaan taksi online memanfaatkan "iddle capacity"yang ada pada mobil-mobil yang dimiliki perorangan (yang mungkin hanya dipergunakan 1-2 jam per hari, sehingga dengan bergabung dengan perusahaan taksi online  maka "utility" nya akan menjadi lebih besar, tanpa menambah besaran "fixed cost" tadi....

So, dalam "peperangan" ini posisi masyarakat banyak agaknya jelas: mereka "pro" terhadap ojek dan taksi online; karena masyrakat pengguna ini tentunya akan lebih memilih transportasi yang lebih murah, aman, traceable dan flexible ini.

Siapa yang tidak setuju terhadap moda transportasi online? Untuk Om-G mah terus terang agak kurang jelas. 

Organda? Sebagai pengayom perusahaan (dan pengemudi) moda angkutan darat (kecuali kereta api), rasanya akan lebih bijak kalau Organda pun merangkul moda transportasi online ini, agar ke depannya bisa memberikan pembinaan dan pengayoman, termasuk kepada yang disebut terakhir ini.

Bagaimana dengan perusahaan taksi konvensional? Agaknya untuk perusahaan taksi konvensional sih maka taksi online jelas "membahayakan" bisnis mereka, tapi tidak selalu berarti bahwa mereka benar-benar menentang cara online ini. Buktinya? Lha 'kan sekarang taksi tertentu juga membuat aplikasi sendiri untuk taksinya. Malah di Bandung (plus di kota-kota lain mungkin), yang Om-G tahu, sudah ada perusahaan taksi konvensional yang bekerjasama dengan perusahaan penyedia layanan online untuk taksi mereka (yang adalah perusahaan taksi online juga...). Jadi mereka ini mah semacam "benci tapi rindu" gitu... Bilang kontra terhadap yang online tapi toh meniru dan memanfaatkan cara online juga...

Bagaimana dengan para pengemudi taksi konvensional? Mereka juga bisa saja kok, bergabung dengan perusahaan taksi online. Malah mungkin menjadi lebih enak, karena waktu mereka jadi lebih flexible...

Jadi agaknya jelas ya, bahwa untuk para pengemudi sih, cara online ini tidak "membunuh" mereka, melainkan akan lebih menguntungkan. Bagaimana dengan penghasilan mereka, 'kan tarif transportasi onlinelebih murah? Ya nggak lah, penghasilan 'kan sama dengan volume dikalikan dengan tarif satuan. Kalaupun tarif satuan menjadi lebih kecil, dengan volume yang lebih besar maka penghasilan total para pengemudi ini bisa lebih besar daripada sebelumnya. Nggak percaya? Tanya saja deh para pengemudi ojek online...

Untuk pengemudi taksi juga, selain volume yang lebih besar, juga menjadi lebih efisien, karena dengan menunggu panggilan secara online, maka mereka tidak perlu lagi muter-muter mencari penumpang dengan banyak menghabiskan bensin, yang artinya untuk Pemerintah pun mestinya ini lebih menguntungkan karena subsidi bbm premium sedikit banyak akan menurun karena konsumsinya yang menurun. Juga sedikit banyak akan mengurangi taksi (baca: kendaraan) yang hilir mudik memenuhi jalan hanya karena untuk mencari penumpang...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun