Beberapa hari kemudian, setelah kami kasak-kusuk melakukan pengenalan wilayah, ternyata di dekat situ juga ada warung soto dan sate Madura dengan makanan dan sayuran yang lebih beragam, dan ada warung ayam panggang Turki yang maknyus dengan tarif 15 real per satu ayam berukuran besar atau 8 real per setengah ayam. [Agaknya di Arab Saudi, paling tidak di tingkat eceran, satuan paling kecil ya 1 real itu; jadi ndak ada yang harganya 2,5 real misalnya...]. Singkat cerita, menurut Om-G mah kita tidak perlu berat-berat membawa makanan dari Indonesia, mie instan pun ndak perlu (lha mie instan dengan merk seperti di Indonesia juga banyak dijual di warung-warung kok, walaupun dibuatnya sih di pabrik yang ada di wilayah situ, tetapi dengan rasa yang persis sama).
Kembali lagi ke cerita tentang pelaksanaan Thawaf yang pertama kali, yang dilakukan secara bareng-bareng se-KBIH tadi ya... Sekitar pk.22 kami sudah bersiap berjalan kaki sekitar 2,5 km menuju ke Masjidil Haram dengan didampingi beberapa petugas dari KBIH (baik yang dari Indonesia maupun yang mukimin). Acara diawali dengan ceramah dari Ketua KBIH tentang Ibadah Thawaf dan Sa'i serta penjelasan tentang rute jalan kaki dari pemondokan kami ke Masjidil Haram pulang pergi, yang ternyata "sederhana" dan mudah sekali, wong cuma lurus saja kok. [Catatan: pemondokan bagi Jamaah Haji Indonesia tersebar di banyak tempat, sehingga 'penjelasan tentang rute' ini hanya berlaku untuk pemondokan kami pada waktu itu saja ya... Tidak berlaku secara umum!].
"Bapak dan Ibu Jamaah sekalian, rute kita lurus saja kok. Bapak dan Ibu bisa lihat Zamzam Tower? Itu menara yang tinggi yang ada jam-nya. Nah ke situlah kita menuju karena Zamzam Tower berada di 'halaman' Masjidil Haram. Untuk pulang ke pemondokan, kalau bingung karena Masjidil Haram luas sekali dan berpintu banyak, Bapak dan Ibu tinggal mengambil patokan Zamzam Tower lagi, lalu ambil jalan lurus yang kira-kira segaris dengan garis antara Masjidil Haram dan Zamzam Tower, lurus saja terus, sampai deh ke rumah kita ini...".
Ceritanya begini, pada saat Thawaf dan kemudian Sa'i, kami memang dipandu penuh oleh para petugas dari KBIH Percikan Iman -- Bandung; tetapi setelah selesai, kami dipersilakan untuk "acara bebas".Untuk ini Om-G dan isteri serta beberapa teman bersepakat untuk melaksanakan i'tikaf di Masjidil Haram sampai selesai shalat Subuh.
Selesai shalat Subuh, kami berencana pulang ke pemondokan, setelah sebelumnya menikmati "teh susu" panas yang banyak dijual di toko-toko/warung di sekitar Masjidil Haram. [Mau sarapan berat sebelum pulang ke pemondokan? Mudah kok, di situ juga banyak yang jualan ayam panggang plus french fries atau nasi]. Nah di saat inilah "insiden" itu terjadi. Pada saat itu, isteri Om-G (dengan panggilan kesayangan 'Bunbun' yang berasal dari kata 'Bunda'), dengan pede nya bilang bahwa yang lain ikut dia saja, karena dia hafal jalan pulang ke pemondokan yang "Dari Zamzam Tower tinggal lurus saja kok, apa susahnya...".
Tapi apa yang kemudian terjadi? Kami nyasar, Saudara-saudara... "Lha kok ini jadi menghadap bukit batu ya? Padahal dekat pemondokan kita 'kan ndak ada?". Bingunglah kami. Tapi setelah berputar-putar sebentar, Om-G teringat sesuatu, lalu bisik-bisik ke telinga Bunbun bahwa mungkin dia dianggap "sompral" [sombong dalam ucapan (istilah dalam bahasa Sunda, Red.)] oleh Allah SWT, dan menganjurkan untuk ber-istigfar, yang langsung dia laksanakan. Setelah itu kami berjalan kaki lagi sesuai insting, dan apa yang terjadi? Voil, sampailah kami di pemondokan. Wallahu alam bissawab.
Ada pula cerita yang mirip, malahan yang ini lebih "seru" daripada yang tadi, yang dialami oleh seorang teman. Sang teman ini punya hobby jalan kaki dan dia sering muter-muter di sekeliling Mekah/Masjidil Haram sampai dia merasa "hafal". Pada suatu hari dia diajak pulang bersama-sama ke pemondokan oleh rekan-rekannya [Tempat pemondokannya lain dengan pemondokan yang Om-G huni].
Dia menjawab "Silakan duluan deh, saya sih sendiri juga berani, wong sudah hafal kok ...".Tapi apa yang terjadi? Dia merasa sudah mengambil jalan yang benar, tapi pemondokannya kok tidak kelihatan juga. Dia berputar-putar selama 2 jam, tetap belum ketemu. Akhirnya dia ber-istigfar, dan terlihatlah pintu pemondokannya, yang hanya berjarak sekitar 20 meteran dari tempat dia beristigfar tadi. Dan di situ terlihat pula beberapa teman sekloter yang sedang berbelanja makanan dan ngobrol-ngobrol di depan pintu pemondokan. Mereka bilang bahwa mereka pun melihat sang teman tadi hilir mudik selama dua jam di sekitar situ; hal yang sama sekali tidak kelihatan oleh sang teman. Wallahu alam bissawab.
Di Saudi, paling tidak saat itu, rupanya ada pameo bahwa yang tidak kena batuk mah cuma dua: Orang Arab dan onta. Bagaimana ndak? Lha 'kan bagaimanapun suasana gurunitu pasti ada: panas dan kadang-kadang ada angin yang membawa debu dan pasir. Ditambah lagi sebagian dari kami 'kan sampun sepuh, plus agak kurang tidur, karena semangat tinggi untuk beribadah sebanyak-banyaknya dan sebaik-baiknya walaupun Ketua KBIH kami sering mengingatkan agar kami beristirahat cukup, banyak minum, banyak makan buah-buahan, dan selalu menjaga kesehatan. Akibatnya ya banyak di antara kami yang terserang batuk.
Om-G mah alhamdulillah ndak ikut-ikutan batuk. Kenapa? Nah ini ada ceritanya nih... Kebetulan ada teman sekamar di pemondokan yang Ustadz [Ustadz beneran. Beliau pada saat itu bertugas di Timika, Papua. Hallo Om Ustadz Karim, apa kabar? Semoga selalu sehat-sehat ya...]. Pada saat beliau melihat Om-G minum dengan cara yang sembarangan, beliau mengingatkan dengan cara yang sangat santun: "Om-G, sebagai ummat Islam, kalau kita minum sebaiknya selalu gunakan cara yang baik. Begini: Dengan posisi duduk, ucapkan Bismillah, ambil gelas dengan tangan kanan, minum tiga teguk, letakkan gelas, ucapkan Alhamdulillah. Masih haus? Ulangi yang tadi: Dengan posisi duduk, ucapkan Bismillah, ambil gelas dengan tangan kanan, minum tiga teguk, letakkan gelas, ucapkan Alhamdulillah. Demikian seterusnya...".