Mohon tunggu...
Herman R. Soetisna
Herman R. Soetisna Mohon Tunggu... -

Pelopor ergonomi industri terapan di Indonesia untuk peningkatan level K3, peningkatan produktivitas, peningkatan kualitas, dan peningkatan "quality of working life" ini -katanya- pernah bersekolah di Teknik Industri ITB, Université des Sciences Humaines de Strasbourg, dan Université Louis Pasteur, Strasbourg-France. Sekarang Om-G [G=Ganteng, hehehe jangan protes ya...], bekerja sebagai dosen di ITB dan Peneliti Senior di Laboratorium Rekayasa Sistem Kerja dan Ergonomi di ITB. Untuk yang ingin mengontak Om-G, silakan kirim e-mail via hermanrs@ti.itb.ac.id Wass, HrswG.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Disadari Atau Tidak, Ojek Pangkalan Telah Menzalimi Masyarakat Pengguna

1 Mei 2017   10:36 Diperbarui: 1 Mei 2017   10:46 1379
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Sumber gambar: http://www.kompasiana.com/iskandarjet/menebak-masa-depan-gojek-level-ii-inovasi-hijau_558b55bcb29273750bc2e986

Disadari Atau Tidak, Ojek Pangkalan Telah Menzalimi Masyarakat Pengguna

Di banyak tempat, paling tidak di kota Bandung, kehadiran ojek on-line (“ojol”) ditolak beramai-ramai oleh para pengemudi ojek konvensional a.k.a. ojek pangkalan (“opang”). Sering sekali terjadi bahwa para pengemudi opang menghalangi pengemudi ojol untuk mengambil penumpang yang telah memesan jasa ojol tadi. Dalam beberapa peristiwa, bisa jadi malah terjadi pemukulan terhadap pengemudi ojek on-line tersebut.

Hal ini ternyata membawa dampak pula terhadap anak Om-G yang masih bersekolah di sebuah PTN di Bandung. Dengan jadwal kuliah dan kegiatan lainnya yang beragam waktunya, dia sering memerlukan alat transportasi publik yang bisa mengantarnya ke mana-mana. Dan pilihannya adalah dengan menggunakan transportasi ojol.

Kenapa ojol? Ya jelas lah...

  • Pertama, dengan ojol, dia tinggal menunggu di depan rumah, dan tidak perlu jalan ke tempat pangkalan opang.
  • Ke dua, tarifnya jauh lebih terjangkau. Dengan ojol, tarif dari rumah ke sekolahnya hanya sekitar 14 ribu (malah kalau sedang ada promo, tarifnya turun menjadi 11 ribu). Bandingkan dengan tarif yang diminta pengemudi opang, yaitu 60 ribu untuk jarak yang sama. Kalau ditawar banget banget pun, paling-paling hanya turun menjadi 50 ribu...
  • Ke tiga, merasa lebih aman karena dengan ojol bisa lebih traceable, dibandingkan dengan opang yang sama sekali tidak dapat ditrace. Sebai anak perempuan, anak Om-G merasa lebih secure naik ojol. Apalagi kalau malam hari.
  • Ke empat, merasa lebih safe karena para pengemudi ojol pasti mempunyai Surat Ijin Mengemudi. Lha bagaimana dengan pengemudi opang? Pasti tidak semua, tapi kadang-kadang ada saja yang tidak mempunyai SIM. Dan anak Om-G pernah pula kena dampaknya pada saat (dulu) menggunakan jasa opang, karena perjalanan menjadi lebih lama dan muter-muter ndak karuan karena pengemudi opangnya menghindari jalan jalan yang sedang ada razia polisi (kemudian ternyata bahwa itu karena si Abang opangnya tidak mempunyai SIM. Heu...).
  • Ke lima, merasa lebih safe karena motor yang digunakan para ojol rasanya sih lebih OK (a.k.a lebih laik jalan) dibandingkan motor yang dipakai para opang yang kadang-kadang ada yang rem nya blong. (Pernah ada tetangga kami yang mengalami patah tulang karena kecelakaan pada saat naik opang, karena ternyata rem nya tidak berfungsi). Konon katanya perusahaan ojol memang memeriksa kelaikan motor yang dipergunakan, selain bahwa perusahaan membatasi umur motor sampai 10 tahun.
  • Ke enam, pengemudi biasanya lebih cepat dalam mencari alamat yang dituju karena mereka menggunakan hp dengan aplikasi yang bisa mencari alamat. Bagaimana degan opang? Ndak janji deh...  Pernah ada teman dari luar kota (dan tidak hapal jalan di Bandung) yang ketika naik opang ditanya-tanya terus tentang rute yang harus diambil, padahal alamat yang dituju adalah sebuah insititusi yang cukup terkenal dan berada dekat sekali dengan sebuah jalan protokol yang mestinya semua orang Bandung tahu... Lha memangnya siapa yang orang Bandung dan siapa yang orang luar kota; siapa yang pengemudi siapa yang penumpang? Ya kalau memang ndak tahu alamat yang diminta, kenapa dong ngambil penumpang itu? Aya aya wae...

Nah tuh, dengan segebungalasan tadi, masuk akal, ‘kan, kalau masyarakat banyak yang lebih memilih ojol daripada opang? Trus cem mana pulak para pengemudi opang melarang-larang para pengemudi ojol untuk beroperasi di wilayah mereka.

“Wilayah mereka” ? Siapa yang berhak bilang dan menetapkan seperti itu? Opangers? Yé ge-er... Memangnya mereka yang bikin (dan membiayai pembuatan) jalan? Pliss deh ah... ‘Kan para ojol juga sama-sama bayar pajak kendaraan dan lain-lainnya. Jasi mereka sama-sama berhak menggunakan jalan raya yang sama. Juga, menurut undang-undang mah baik opang maupun ojol sama-sama “tidak diakui” sebagai angkutan umum yang resmi kok, jadi sama saja, ‘kan?

Tapi Om-G, kami ‘kan sudah bayar mahal untuk menjadi opanger yang berhak mangkal di sini? Nah ini nih... Om-G memang pernah mendengar bahwa di beberapa pangkalan ojek, para opanger harus membayar lima sampai belasan juta rupiah untuk bisa mangkal di situ. Mungkin ini pula yang membuat para opangers meminta tarif yang lebih tinggi dari pada tarif para ojolers (yang memang tidak bisa berbuat lain, karena tarif sudah dipatok oleh perusahaan...). Tapi apakah masyarakat tidak boleh memilih jasa layanan yang sama (atau bahkan lebih baik) dengan harga tarif yang lebih murah?

Kalau dalam kasus lain dibalik bahwa yang harus membayar adalah para opangers, apakah mereka tidak akan memilih yang lebih murah? Misalnya apakah mereka akan tetap memilih sayuran kangkung yang mahal yang berasal dari luar negeri, kalau sekarang tersedia kangkung dalam negeri yang selain lebih murah juga lebih segar karena dipetik dan dijual pada hari yang sama? Pasti ndak lah... Pasti! [Contohnya memang rada lebay... Mohon ampun ya, soalnya Om-G rada mengalami kesulitan untuk mengambil contoh yang lain...].

So, kenapa kami sebagai masyarakat juga dihalang-halangi untuk bisa mendapatkan layanan yang lebih baik dengan tarif yang lebih murah?

Ndak begitu Om-G, masalahnya adalah bahwa keberadaan para ojolersitu mengganggu rejeki kami para opangers. Lha kalau begitu, bagaimana kalau kami masyarakat pengguna bilang bahwa mereka, para opangers itu, menzalimi kami karena kami harus merogoh kantong lebih dalam untuk jasa ojek, harus berjalan kaki lebih jauh demi mendapatkan ojol (karena dilarang oleh para opangers), harus lebih was-was karena sebagian dari mereka tidak memiliki SIM, dan sebagainya dan sebagainya...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun