[Kompasiana.com/Om-G,Ergonomi Terapan, Lalu lintas darat, Jan 2016].
Keberadaan bis-bis kota tentunya dimaksudkan agar warga masyarakat yang memerlukan transportasi dari satu titik ke titik yang lain dapat terfasilitasi. Hal ini agaknya sedikit banyaknya sudah terealisasi. Sekarang, bagaimana dengan keinginan Pemerintah Provinsi DKI (dan mungkin ini juga merupakan keinginan dari masyarakat banyak) bahwa keberadaan bis kota dapat mengurangi kemacetan lalu lintas, yaitu dengan berkurangnya jumlah kendaraan pribadi yang “beredar” di jalan raya?
Menurut Om-G, masalah ini sebetulnya nggak rumit-rumit amat sih... Kalau pelayanan yang diberikan oleh bis kota sudah sesuai dalam memenuhi keinginan masyarakat dalam ber-bis-kota, pasti deh tanpa diimbau, tanpa disuruh, tanpa dipaksa pun sebagian besar dari masyarakat akan beralih dari tadinya mempergunakan kendaraan pribadi (mobil atau motor) menjadi mempergunakan bis kota. [Apalagi kalau disertai dengan kebijakan-kebijakan yang akan “bikin susah” dan atau yang “bikin bokek” para pemakai kendaraan pribadi yang masih berani melintasi jalan-jalan protokol yang ramai, misalnya tarif parkir yang mahalnya banget-banget dan bersifat progressive berdasarkan lamanya parkir, kendaraan yang hanya boleh dipakai pada hari-hari tertentu berdasarkan genap/ganjilnya nomor polisi, dsb, dst, dll...].
Trus, apa dong keinginan/yang diharapkan oleh masyarakat dari pelayanan bis kota? Yuk kita simak...
1. Selamat/Safe. Dalam hal ini selamat dari kemungkinan kecelakaan dalam segala bentuknya, misalnya tabrakan (tabrakan dengan kendaraan lain, tabrakan dengan kereta api...), terpeleset/terjatuh baik ketika berada di dalam maupun di luar bis kota, kesetrum di area halte... Juga safe dari kemungkinan zat toxic tertentu, misalnya gas karbon dioksida atau karbn monoksida yang masuk ke dalam bis karena saluran pembuangan gas yang kotor. Termasuk juga safe dari kemungkinan terpapar udara berkuman-bervirus karena saluran AC yang jarang dibersihkan...
2. Aman/Secure. Dalam hal ini aman dari kemungkinan menjadi korban pencopetan, penodongan dan bentuk-bentuk tindakan kriminal lainnya.
3. Nyaman. Dalam hal ini penumpang bis kota merasa nyaman dengan temperatur ruangan yang 23-24°C, tidak berisik (malah kalau bisa dengan diberi musik ringan yang sayup-sayup... ), tidak berdesak-desakan, tidak ada “bau-bauan” yang mengganggu, dengan vibrasi atau getaran yang tidak berlebihan (baik dari getaran mesin maupun dari pengemudi yang menjalankan kendaraannya secara ugal-ugalan), dengan penerangan yang memadai tetapi tidak berlebihan, dan sebagainya.
4. Cepat. Walaupun tidak berjalan di atas rel, tetapi mestinya kendaraan umum seperti bis kota ini memang diberi prioritas agar dia bisa berjalan dengan lancar dan cepat. Enak, ’kan, kalau dari Bekasi ke Thamrin bisa ditempuh dalam kurang dari satu jam walaupun pada saat peak-hour? Juga mudah-mudahan setelah membaca artikel ini, Om dan Tante menjadi lebih mengerti dan “berlega hati” kenapa kita tidak boleh nyelonong masuk ke jalur busway, karena itu artinya kita jadi mengganggu kelancaran lajunya bis kota.
5. Tepat waktu. Nah ini juga penting... Dengan sistem yang baik, bisa diupayakan bahwa waktu datang dan berangkat bis kota di masing-masing halte bisa tepat waktu, dalam orde menit. Dan jadwal ini harus tertera di masing-masing halte tersebut. Pada saat Om-G sedang menjadi mukimin di Prancis, 1987-1993, di sana berlaku bahwa batas keterlambatan yang ditolerir adalah hanya sampai 2 menit. Bagaimana kalau ada bis yang terlambat, disuruh ngebut saja gitu? Ya nggak lah... Bisa bahaya dong! Sederhana saja kok... Begini, kalau keter¬lam¬batan bis di suatu halte diperkirakan akan lebih dari 2 menit [lha ‘kan posisi masing-masing bis kota terpantau oleh GPS dan waktu yang diperlukan untuk mencapai suatu halte bisa dihitung oleh komputer berdasarkan kecepatan bis], maka komputer yang mengatur pergerakan bis kota akan “ngobrol” dengan komputer yang mengatur merah-kuning-hijaunya lampu lalu lintas, sehingga bis yang diperkirakan akan terlambat tadi akan selalu mendapat lampu hijau, nah bis yang tadiya telat akan bisa “membayar” keterlambatannya tadi deh... . Lha Om-G, itu tadi ‘kan untuk bis yang telat, sekarang bagaimana untuk bis yang datangnya ke sebuah halte terlalu awal, ntar ada penumpang yang ketinggalan dong, karena dia berpatokan pada jadwal yang ada? Yé, hal ini pasti sudah dipikirkan dong, dan sangat sederhana penyelesaiannya: misalnya ada bis yang datang lebih awal 5 menit daripada waktu yang seharusnya, maka dia akan baru boleh berangkat dari halte itu setelah ada tanda “bip” (dan tulisan) pada perangkat GPS yang ada pada bis tersebut. Sederhana, ‘kan?
6. Frekuensinya banyak (sehingga waktu kedatangan antar bis kota tidak terlalu lama). Akan menyebelkan juga kalau kita harus menunggu terlalu lama, ‘kan? Ya diatur-atur saja deh, pada saat peak hour frekuensinya tinggi (mungkin per 5 menit atau kurang), tapi pada saat-saat lowong ya tdak apa-apa kalau agak jarang juga. Demikian juga, pada saat weekend mungkin bisa berbeda dengan saat weekdays...
7. Jelas. Indah sekali kalau calon penumpang yang mau bepergian dengan bis kota, dari satu alamat ke alamat lain, bisa tahu bahwa dia harus naik bis rute A dari halte X, lalu turun di halte Y untuk ganti bis ke rute B lalu turun di halte Z, trus tinggal jalan kaki sedikit ke alamat yang dituju . Menurut Om-G, juga penting bahwa “plang” rute yang terpampang di bis kota jangan bolak-balik (misalnya Blok M – Rawa Mangun pp.), tapi tegas saja: “Blok M – Rawa Mangun” ketika bis memang menuju Rawa Mangun, dan plang nya diganti menjadi “Rawa Mangun – Blok M” ketika bis menuju Blok M. [Untuk orang Jakarta, dia bisa jadi tahu bahwa kalau bis “Blok M –Rawa Mangun pp.” sedang menghadap ke “sini” berarti bahwa bis sedang menuju Blok M, dan kalau menghadap ke “sana” berarti bahwa bis sedang menuju ke arah sebaliknya. Lha bagaimana kalau dia orang baru, atau terdisorientasi? Kasihan ‘kan? Ya sudah, jangan banyak cingcong, nurut saja deh, wong mengganti plang rute tujuan mah gampang banget kok, apalagi kalau memakai cara digital...
8. Tersedianya Karcis berlangganan dengan discount tarif yang signifikan dan untuk “masa laku” yang berbeda-beda. Akan lebih menarik bagi masyarakat yang sering menggunakan moda transportasi umum ini apabila mereka memperoleh potongan tarif yang cukup significant. Misalnya kalau kita mempunyai karcis berlangganan yang berlaku satu bulan, potongannya adalah sekitar 15-20% dari full tarif (yaitu karcis yang hanya untuk penggunaan sekali jalan). Untuk karcis berlangganan yang berlaku satu minggu bisa dengan potongan tarif yang lebih rendah. Bahkan, akan menarik pula untuk para turis, bila disediakan karcis berlangganan yang berlaku satu hari... Yang penting adalah hitung-hitungan statistik, secara rata-rata biasanya berapa kali sih penumpang menggunakan jasa bis kota dalam sehari, seminggu, sebulan? Nah dari situ datangnya besaran tarif karcis berlangganan... Sedangkan untuk para penumpang yang memang hanya sekali sekali saja menggunakan jasa bis kota, ya sediakanlah karcis konvensional biasa...
9. Mudah memperoleh karcis bis. Ya iyalah ini juga penting. Idealnya sih selain disediakan di setiap halte (yang besar), kita pun bisa membeli karcis bis kota di counter-counter yang ada di mall yang besar misalnya.
10. Mudah “menemukan” halte yang dicari. Intinya adalah, permudahlah akses bagi para pemula dengan petunjuk yang jelas tentang ke mana dia harus menuju untuk menemukan halte yang dicari. Untuk orang yang sudah sering menggunakan jasa bis kota mah dia pasti hapal di mana haltenya, lha untuk pemula apa dia harus dibiarkan puyeng-puyeng sendiri mencari halte?
11. Karcis yang berlaku antar moda. Nah ini mah barangkali “pe-er” yang bersifat “agak nanti-nanti juga boleh” (walaupun tetap saja, kalau bisa sekarang-sekarang ya akan lebih baik...). Dengan sistem ini, para penumpang bisa berganti dari moda bis kota ke moda kereta komuter dan sebaliknya...
12. Tersedianya WC/toilet yang bersih di setiap halte. Siapa bilang ini nggak penting? Untuk mereka yang pernah mengalami kebelet di jalan, pasti setuju bahwa ini penting, ‘kan? Yang jelas, harus bersih dan wangi, walaupun untuk itu para pengguna harus membayar... [Rasanya di kamus juga nggak ada tuh definisi, bahwa “WC umum adalah sesuatu yang bau, kotor dan kumuh”... Iya, ‘kan?].
13. Tersedianya tempat parkir yang aman, murah (tarifnya berbasis hari, jam jam...) dan dengan luas area yang memadai di kantong2 pemasok penumpang.Ah ini mah sudah jelas ya..?
14. Tersedianya akses yang mudah untuk para diffable (mudah-mudahan istilahnya betul, maksud Om-G adalah, mohon maaf, orang yang yang punya keterbatasan dalam berjalan/bergerak, termasuk pula para manula). Di Jakarta ‘kan banyak halte yang untuk mengaksesnya perlu naik jembatan penyebrangan, yang tentunya akan bisa sangat menyulitkan bagi para diffable dan manula. Nah, untuk beliau-beliau ini rasanya akan membahagiakan kalau disediakan fasilitas lift atau eskalator di halte-halte yang banyak diakses oleh mereka... Dan rasanya sudah saatnya deh kita memperhatikan kebutuhan (dan keterbatasan mereka), walaupun barangkali dalam realisasinya bisa dilakukan secara bertahap. Dari mana dananya? Ah, Pemprov DKI mah ‘kan mestinya uangnya banyak, ya dianggarkan saja dalam RAPBD tiap tahun secara bertahap... Atau, bagaimana kalau fasilitas ini dibiayai dengan CSR dari mall atau perusahaan-perusahaan yang berkantor di dekat halte-halte bis kota? Intinya: ijinkan mereka mencantumkan bahwa fasilitas tersebut tersedia atas kerjasama Pemprov. DKI dengan perusahaan mereka... (mungkin mereka malah juga bersedia untuk memelihara fasilitas itu sehingga selalu kinclong dan berfungsi dengan baik...). Tentunya akan bagus sekali kalau Jakarta menjadi terkenal ke seluruh dunia sebagai kota metropolitan yang ramah bagi diffable dan manula. Setuju, ‘kan? Dan ini pun pasti akan menjadi point positif bagi Indonesia.
15. Adanya sebagian kursi yang dipriortaskan khusus untuk penumpang yang mempunyai keterbatasan fisik, misalnya untuk para diffable, manula, balita ataupun wanita hamil. Sebetulnya hal ini sudah ada, tapi sebagian penumpang yang tidak termasuk kriteria di atas suka-sukanya kok menyerobot tempat yang bukan haknya itu ya? Wahai para pakar sosial, rekomendasi Anda ditunggu untuk mengatasi hal ini nih...
Nah sekian dulu dongeng dari Om-G ya... Kalau Om dan Tante ada yang mau nambahin ya monggo, mudah-mudahan suara kita didengar dan diperhatikan oleh para decision maker. Selamat beraktivitas. Bon weekend.
Bandung, Januari 2016.
Salam hangat,
Om-G
[Kompasiana.com/Om-G].
Ctt.:
Sebagai kelanjutan dari tulisan ini, Om dan Tante dipersilakan membaca tulisan Om-G yang berjudul “Tarif Bis Kota Tidak Selalu Harus Murah !!!” [http://www.kompasiana.com/om-g/tarif-bis-kota-tidak-selalu-harus-murah_569899f8307a616213bc9745].
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H