Tidak ada Jakarta hari ini. Tidak ada Jakarta yang kujumpai lima tahun terakhir saat pertama kali kujejalkan kakiku di Ibukota negara tercinta.
Tidak ada lagi Jakarta dengan ratusan angkot dengan hitam pekat keluar dari knalpotnya. Tidak ada Jakarta tiap hujan lebat banyak jalanan yang tergenang air dan hujan. Tidak ada Jakarta dengan pejabat kelurahan yang sibuk dengan urusannya sendiri tanpa memerdulikan warga yang hendak mengurus KTP.
Sebagaian besar pelajar yang hendak melanjutkan jenjang pendidikan tentu saja Jakarta menjadi prioritas yang patut dipertimbangkan. Akses ekonomi-politik yang lebih dekat seakan menjadi elan dasar Ibukota untuk dikesampingkan. Pikiran semacam itu nampak dari bertambahnya pelajar-mahasiswa di Jakarta-Bogor-Tangerang-Bekasi yang masuk dari kota maupun provinsi terpencil Indonesia.
Daya tarik Jakarta memang tidak bisa dipungkiri. Bejibunnya masyarakat tanpa keahlian khusus dalam mengadu nasib seakan polemik tersendiri bagi pemerintah. Pemerintah tidak saja kebingungan menyiapkan lapangan pekerjaan, akan tetapi menjadi benalu lewat kultur dan budaya berbeda sehingga, pendatang tidak mampu menyesuaikan diri dengan kemajuan Jakarta.
Efeknya ketimpangan sosial terus melebar tanpa bisa dihadapi stakeholder setempat. Masalah turun temurun seperti banjir, transportasi, hunian nyaman makin rumit laiknya benang kusut yang butuh diuraikan.
Bagi mereka yang mengalami setidaknya dua periode pemerintahan DKI Jakarta pasti mengalami dampak signifikan perubahan Ibukota. Kesampingkan terlebih dahulu suku-agama-ras-antargolongan yang sedang menjabat. Seperti ujar Gus Dur “selama kau berbuat baik, orang tak akan peduli apa agamamu”.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H