Siang itu di bulan ramadhan saya berkendara dari arah Bogor menuju Cianjur. Perjalanan jalur puncak menuju Cipanas sebagaimana biasanya selalu dipenuhi oleh kendaraan yang berlalu lalang, bisa untuk liburan atau karena memang harus melintas jalur pebukitan ini. Sejumlah titik seperti pasar, kaki lima dan kerumunan-kerumunan keramaian di pinggir jalan selalu menjadi sumber kemacetan. Namun semacet apapun daerah puncak tetap saja banyak pelintas serta pendatang yang berkunjung bahkan harus betah berjam-jam untuk bermacet ria. Saya dan keluarga jarang ke puncak karena malas membayangkan kemacetannya yang luar biasa ‘kejam’.
Karena bukan akhir pekan jalur puncak tidak begitu macet meski tidak bisa juga dikatakan lancar. Mobil saya tersendat mendekati pasar cipanas dan puncaknya menjelang masuk pasar cipanas mobil terhenti selama sekitar satu jam. Ternyata ada kecelakaan sekitar setengah kilometer di depan saya. Sambil menunggu di mobil saya hanya menggeleng-gelengkan kepala, berupaya tidak mengeluh atau mengumpat karena tidak ingin merusak puasa saya di bulan ramadhan.
Di tengah-tengah kemacetan yang sedikit-sedikit merambat itu mata saya tiba-tiba terpaku pada papan iklan besar di pinggir jalan. Sebuah iklan bilboard ucapan selamat ramadhan seorang tokoh politik. Terlihat muda, senyumnya segar, memakai peci dan menggunakan baju koko putih. Yah saya tahu itu adalah foto Hary Tanoesoedibjo. Saya mengenalnya sebagai seorang pengusaha yang sukses saat ini menjadi ‘raja media’ Indonesia, pemilik MNC media group termasuk RCTI, MNC TV dan yang terbaru INews.
Mata saya terpaku pada papan iklan bilboard berlatar biru itu karena sangat tertarik dengan strategi iklan dan tulisan yang terpampang di iklan tersebut. Menurut saya jarang tokoh politik Indonesia yang mengapresiasi bahasa daerah. Hampir semua rata-rata figur nasionali lazimnya berkomunikasi kepada publik dengan bahasa Indonesia yang seringkali pesannya normatif, menggurui dan akibatnya membosankan. Dalam iklannya, Hary Tanoesoedibjo agak berbeda dengan mengucapkan selamat menyambut ramadhan dengan bahasa sunda: ‘Ngariksa Diri Ngawangun Nagri Kanggo Indonesia Mandiri, Wilujeng Saum Siam 1436 H’. Menjadi lebih menarik Hary Tanoesoedibjo menyampaikan pesan tersebut dalam kapasitasnya sebagai ketua umum partai ternyata, Partai Perindo. Sebuah partai baru jika tidak salah.
Secara teks dan konteks, sebuah tokoh politik keturunan etnis tionghoa dengan nama partai bernama Persatuan Indonesia (Perindo), mengucapkan selamat berpuasa dengan bahasa sunda. Saya membayangkan, mungkin di kota lain di propinsi lain, sapaan selamat ramadhannya berbahasa khas daerah setempat. Dan ternyata benar dikabarkan oleh sepupu saya, di Solo iklan Hary Tanoesoedibjo ini menggunakan bahasa Jawa halus, bahkan mengutip Ronggowarsito.
Singkat saja, saya cukup kagum dengan semangat nasionalisme dan dialektika strategi komunikasi si Bapak satu ini. Secara kontras, Hary Tanoe (sebutlah begitu) ingin menyatakan melalui iklan ramadhan berbahasa daerah tersebut bahwa untuk menjadi Indonesia yang sejati maka anda harus menjadi seorang Sunda yang sejati pula; menjadi Jawa yang sejati; Minang yang sejati, Batak dan Aceh yang sejati; Dayak, Madura dan Bugis yang sejati; serta Maluku, Bali dan Papua yang sejati. Bahasa Indonesia adalah bahasa nasional yang disepakati dan dilindungi oleh undang-undang, namun pemahaman bahasa daerah dan penghargaan terhadap budaya daerah menjadi kunci sebuah persatuan Indonesia yang hakiki. Kita berbeda dan kita memilih bersatu. Kita sebagai bangsa menjadi kaya lahir dan batin karena kita berbeda dan menghargai perbedaan.
Saya langsung meriset sosok Hary Tanoe ini melalui mbah google. Tidak heran, tokoh ini cukup berwarna latar belakangnya. Ayahnya Muslim keturuna Tionghoa asal Jawa Timur, sempat menjadi ketua PITI (Persatuan Islam Tionghoa Indonesia) Jatim. Hary lahir dan besar di Surabaya, sebuah kota basis kaum nasionalis, studi di Kanada dan kembali ke Indonesia sekitar tahun 90. Ia bersahabat baik dengan Gus Dur. Lalu kemudian banyak membantu perusahaan bermasalah saat krisis ekonomi dan sekarang sukses menjadi pengusaha papan atas nasional. Masih muda, mandiri dan Hary Tanoe adalah nasionalis keturunan Tionghoa pertama yang berani mendirikan dan memimpin partai politik paska runtuhnya rejim Bung Karno dimana banyak ditemui politisi-politisi keturunan tionghoa. Tidak berlebihan jika sosok ini kita kasih kredit atas keberanian, prestasi dan manuver-manuver politik dan bisnisnya saat ini.
Selamat berkiprah Bung Hary. Berhasil di bisnis bukan berarti bisa berhasil di politik. Yang anda harus ingat adalah politik adalah pengabdian. Bukan untuk mencari profit. Jika saya membaca pernyataan-pernyataan anda di media akhir-akhir ini tentang kesenjangan ekonomi dan semkain termarjinalnya rakyat dalam arah pembangunan kita yang keliru. Saya merasa anda adalah pemimpin politik yang tahu apa yang menjadi persoalan di republik ini. Elite penguasa dan pengusahanya berpesta di atas penderitaan mayoritas rakyatnya yang semakin terbelakang secara kultural maupun struktural. Solusinya bersatu untuk Indonesia Sejahtera, lahir dan batin. Merdeka!
Â
Â
Â