Anacharsis, seorang filsuf Skit berkata, "Jika kita tidak bisa mengakhiri perbedaan-perbedaan kita, paling tidak kita dapat membantu dunia aman untuk keanekaragaman." Sudah seharusnya kutipan ini menjadi prinsip kita sebagai makhluk sosial yang memiliki isi kepala berbeda antara satu dengan yang lainnya.Â
Perbedaan pikiran, pandangan, sampai pilihan calon pemimpin yang tidak hanya dalam aspek politik tetapi juga seluruh aspek kehidupan lainnya tidak seharusnya menjadi alasan terjadinya perpecahan. Ironisnya, masih banyak masyarakat yang belum sadar akan hal ini. Lalu, apa solusinya? Bagaimana mahasiswa sebagai golongan intelektual seharusnya bersikap?
Berkaca dari peristiwa 22 Mei 2019
Banyak perisitiwa serupa kerusuhan 22 Mei lalu terjadi, peristiwa berujung perpecahan yang tidak dapat dipungkiri berawal dari perbedaan pandangan dan pilihan calon pemimpin. Saat perisitwa seperti ini terjadi, kerusuhan bukan hanya terjadi di lapangan. Cuitan provokatif netizen, penyebaran informasi tanpa verifikasi, berbagai tagar frontal, dan adu argumen di media sosialpun semakin memperpanas suasana. Saat itu pemerintah bahkan membatasi akses beberapa media sosial sebagai upaya mengurangi penyebaran hoax dan resiko provokatif lainnya.
Banyak kerugian baik material maupun nonmaterial pasca peristiwa ini terjadi. Mengutip dari cnnindonesia.com, terdapat banyak kerusakan pada sejumlah aset di titik peristiwa, seperti aset Dinas Bina Marga yaitu halte atau JPO, jalur hijau Jalan MH Thamrin, Fly Over Jati Baru, dan lain-lain. Dengan demikian tentunya peristiwa berujung kerusuhan, perpecahan, dan kekerasan seperti ini tidak boleh terjadi lagi.
Mahasiswa dan Media Sosial
Jika ada pertanyaan "Mengapa harus mahasiswa yang wajib menjadi ujung tombak peredam potensi perpecahan?" Maka jawabannya, mahasiswa merupakan suatu lapisan penting berbekal intelektulitas yang diakui masyarakat, salah satu golongan yang harus menerapkan tiga kewajiban atau yang kita kenal Tri Dharma perguruan Tinggi; Pendidikan, Penelitian dan Pengembangan, serta Pengabdian pada Masyarakat. Bersumpahkan; Bertanah air satu, tanah air tanpa penindasan, Berbangsa satu, bangsa uang gandrung akan keadilan, Berbahasa satu, bahasa tanpa kebohongan. Apalagi dengan penggunaan media sosial, segala sesuatu yang berasal dari mahasiswa pastilah memiliki kekuatan kredibilitas tersendiri bagi masyarakat umum yang membacanya.
Di media sosial, mengutip dari amp.kompas.com, dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), tahun 2018, "Mayoritas lulusan S1 dan Diploma juga telah menggunakan internet, yakni sebanyak 79,23%" dengan angka ini, mahasiswa diharapkan mampu menggunakan segala haknya dalam bersosial media dengan bijaksana, tidak menyebar informasi tanpa verifikasi, dan tidak memperkeruh suasana dengan konten-konten negatif disaat isu dan potensi perpecahan tengah memanas.
Bagimana Seharusnya Mahasiswa Berperan Sebagai Peredam Potensi Perpecahan
Saat berdiskusi dengan kami, Dosen Komunikasi Politik Universitas Pakuan Bogor, David Rizar Nugroho, S.S., M.Si. secara gamblang mengatakan, "Banyak pihak yang mengklaim peristiwa 22 Mei akan sama dengan perisitwa Mei 98 lalu. Padahal kedua peristiwa tersebut jelas berbeda, karena di perisitwa 22 Mei sendiri mahasiswa bukanlah pihak yang berperan sebagai demonstrator. Selain itu perisitwa 98 Mei jelas merupakan medan memerangi rezim."
Ia juga melihat mahasiswa Indonesia baru mengambil sifat yang tidak terlalu kritis namun juga tidak bisa dikatakan apatis, menurutnya mahasiswa cenderung bersikap "wait and see" karena memang seolah sudah ada kesadaran bahwa situasi yang tengah mereka lihat saat ini bukanlah berasal dari inisiatif mereka. Saat ditanya mengenai bagaimana seharusnya mahasiswa sebagai agen peredam potensi perpecahan bersikap, ia mengatakan mahasiswa bisa berperan dalam upaya "menenangkan" masyarakat.Â