Penggunaan bahasa Inggris dalam dunia kuliner di kota Bandung telah menjadi fenomena yang menarik perhatian, khususnya sejak munculnya pandemi COVID-19. Perkembangan ini ditandai dengan semakin banyaknya restoran yag memutuskan untuk menggunakan bahasa Inggris, baik untuk penamaan restoran maupun dalam penyajian menu mereka. Kondisi ini menandakan adanya perubahan yang signifikan dalam identitas kuliner lokal, yang mana bahasa Inggris kini mendominasi sebagai pilihan utama. Berdasarkan data terbaru, tercatat bahwa lebih dari 1000 restoran yang beroperasi di Bandung, hanya sebagian kecil yang masih mempertahankan nama yang berbahasa Indonesia. Fenomena ini mencerminkan pergeseran fungsi bahasa Inggris, yang kini juga dimanfaatkan sebagai strategi pemasaran yang efektif untuk menarik perhatian para pelanggan. Sasaran strategi ini meliputi wisatawan domestik maupun mancanegara, yang cenderung lebih tertarik pada sesuatu yang dianggap memiliki nilai modern dan global
Salah satu pengaruh signifikan dari penggunaan bahasa Inggris dalam dunia kuliner adalah munculnya buku resep yang ditujukan untuk anak kos. Buku resep dalam bahasa Inggris sering kali lebih mudah diakses oleh generasi Z, yang cenderung lebih familiar dengan bahasa tersebut. Mahasiswa rantau yang biasanya tinggal jauh dari rumah dan harus memasak sendiri, sering mencari inspirasi dari resep-resep ini. Buku resep berbahasa Inggris tidak hanya menyediakan variasi masakan internasional, juga memperkenalkan Teknik memasak yang mungkin tidak umum di Indonesia. Hal ini mendorong mereka untuk bereksperimen dengan bahan-bahan lokal dan menciptakan hidangan yang menggabungkan cita rasa Indonesia dengan teknik memasak barat.
Buku resep dalam bahasa Inggris juga dapat memperkuat identitas kulier lokal dengan cara mengadaptasi resep internasional ke dalam konteks Indonesia. Misalnya, anak kosan mungkin menemukan resep pasta tetapi menggantinya dengan bumbu dan bahan lokal seperti sambal atau tempe. Meskipun menggunakan bahasa Inggris sebagai medium, mereka tetap mempertahankan elemen budaya dan cita rasa asli Indonesia. Selain itu, penggunaan bahasa Inggris sebagai medium utama dalam buku resep semacam ini dapat menjadi jembatan budaya, memperkenalkan cita rasa dan teknik memasak Indonesia kepada audiens global, termasuk ekspatriat, wistawan, dan pecinta kuliner internasional. Buku ini juga dapat mendorong masyarakat Indonesia untuk tetap bangga dengan warisan kuliner mereka sembari terbuka terhadap pengaruh modern dan internasional. Dengan pendekatan seperti ini, esensi tradisi kuliner Indonesia yang unik dapat dilestarikan, bahkan dalam konteks yang semakin mendunia.
Dari perspektif semiotika, penggunaan bahasa Inggris dalam penamaan menu dan nama restoran dapat dilihat sebagai simbol dari modernitas dan globalisasi. Dalam teori semiotika Roland Barthes, penanda (signifier) dan petanda (signified) membentuk makna yang lebih luas dalam konteks budaya. Nama-nama menu dalam bahasa Inggris sering kali diasosiasikan dengan kualitas tinggi dan inovasi, menciptakan citra positif di mata konsumen. Misalnya, sebuah restoran yang menyajikan "Spaghetti Aglio e Olio" mungkin dipandang lebih menarik dibandingkan jika menggunakan istilah lokal yang kurang dikenal. Kondisi tersebut membuat semacam mitos bahwa hidangan Barat mempunyai nilai yang lebih prestisius dibandingkan dengan hidangan lokal.
Penggunaan bahasa Inggris juga menciptakan dualitas identitas kuliner. Di satu sisi, ada upaya untuk mempertahankan tradisi dan cita rasa lokal, di sisi lain ada juga dorongan untuk mengadopsi elemen-elemen global sebagai bagian dari stategi pemasaran. Ketegangan antara dua identitas ini menciptakan dinamika yang menarik dalam perkembangan kuliner di Bandung.
Fenomena penggunaan bahasa Inggris dalam dunia kuliner di Bandung mencerminkan dinamika kompleks antara modernitas, globalisasi, dan pelestarian identitas lokal. Restoran dan buku resep yang menggunakan bahasa inggris menjadi wadah untuk menarik pelanggan dalam negeri dan menciptakan persepsi modern terhadap produk yang ditawarkan. Strategi ini, meskipun efektif secara pemasaran, memunculkan ketegangan antara pelestarian tradisi lokal dan adopsi budaya global. Buku resep berbahasa Inggris membuka peluang bagi generasi muda untuk mengeksplorasi masakan internasional sambil tetap memodifikasinya dengan bahan dan cita rasa lokal, menciptakan campuran kuliner yang unik. Pendekatan ini juga menjadi jembatan budaya untuk memperkenalkan kuliner Indonesia kepada dunia internasional. Namun, fenomena ini berpotensi menciptakan mitos bahwa masakan dengan elemen Barat lebih prestisius daripada hidangan lokal, yang dapat meminggirkan identitas kuliner tradisional. Oleh karena itu, penting untuk menemukan keseimbangan antara elemen modern dan lokal agar tradisi kuliner Indonesia tetap relevan, dihargai, dan berkembang dalam lanskap global.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H