Foklor adalah bagian dari kebudayaan. Foklor dapat diartikan sebagai sekelompok orang yang mempunyai tradisi yang diakui oleh bersama serta diwariskan ke setiap generasinya, sehingga foklor akan tetap ada walaupun perkembangan zaman terus berkembang. Dari pengertian tersebut, dapat kita ambil contoh yaitu foklor dari daerah Minangkabau tepatnya di desa Sintuak kabupaten Padang Pariaman yaitu asal-usul panangka hujan pada pesta pernikahan suku Jambak.
Suku Jambak merupakan suku yang unik di Minangkabau. Suku Jambak bukanlah suku turunan terdahulu dari Minangkabau, melainkan suku pengembara yang datang dari tanah Tiongkok. Suku Jambak dibawa oleh satu pemgembara datang dari Mongolia, pendapat lain mengatakan dari Siam (Tahiland) atau Champa (Kamboja & Vietnam). Rombongan pengembara yang dipimpin oleh seorang perempuan bernama Hera Mong Campa. Kebiasaan mereka berpakaian merah disertai umbul-umbul yang berlambang harimau. Pimpinan pengembara tersebut terkenal akan kekejamannya, akan tetapi kekejaman ini berlandasan sesuai dengan aturan (Kejam sesuai aturan tanpa pandang bulu). Ketika ada salah satu anggotanya yang menyimpang dari salah satu aturan yang ada, maka ia akan tak segan membunuh. Dia juga pernah membunuh putranya sendiri karena menyimpang dari aturan. Inilah yang menandakannya Hera Mong Champa merupakan pimpinan yang adil dan tidak pandang bulu, sehingga kekejamannya melegenda sampai saat ini pada suku Jambak. Orang Jambak tidak banyak bicara, apalagi mereka itu menguasai suatu wilayah maka mereka akan bisa mendapatkannya. Wilayah yang berhasil mereka kuasai, akan diberi nama sesuai dengan suku mereka. Oleh sebab itu, banyak nama kampung di daerah Minangkabau yang bernama kampung jambak. Setiap suku di Minangkabau akan berkembang pesat dan memecah suku yang menjadi beberapa bagian. Suku jambak berkembang menjadi beberapa bagian, yakni suku Salo, suku Kateanyia, suku Harau, dan suku patopang.
Kenapa setiap kali ada pesta pada suku jambak selalu turun hujan?
Pada saat Hera Mong Champa waktu memimpin terjadi kemarau panjang yang melanda di daerah tersebut. Pada saat itu, mereka mengadakan pesta pernikahan akan tetapi ketergantungan akan air yang mereka alami, membuat meraka gundah dan akhirnya Hera Mong Champa melakukan persumpahan yang berisi "Apabila kami melakukan pesta pernikahan hujan akan turun". Â Sehingga masyarakat suku jambak memohon kepada tuhan agar diturunkan hujan. Selain itu ada yang mengatakan, pada zaman dahulu ada seorang kakek tua dengan tongkat kayunya melihat sekumpulan orang-orang yang sedang melakukan pasta pernikahan. Kakek dengan pakaian yang kumuh lusuh, menyapa orang-orang yang berada disana akan tetapi orang-orang itu merasa jijik akan kehadiran si kakek ini. Banyak orang berhenti makan dan merasu tergantu dengan bau yang tidak enak dari kakek tersebut. Orang tersebut mulai menghina kakek ini dengan perkataan yang tidak pantas diucapkan. Kakek merasa sedih dan terhina, lalu kakek ini memberikan kutukan kepada sekumpulan orang-orang tersebut. Kutukan yang diberikan oleh kakek itu hujan yang deras agar orang-orang yang menghina kake basah kuyub.
Muncul lah tradisi pada suku Jambak yaitu panangka hujan pada saat pesta pernikahan. Tradisi panangka hujan dalam kepercayaan suku jambak merupakan tradisi tradisional yang berkaitan dengan pengendalian cuaca atau menahan hujan pada saat pesta pernikahan. Tradisi ini dilakukan pada setiap kali melakukan pesta pernikahan. Dalam tradisi suku Jambak ada kriteria khusus orang yang mampu menahan hujan seperti seorang tuangku atau dukun, yang sudah berpengalaman hal ini dan ilmu-ilmu yang telah diturunkan kepada mereka dari para tetua dahulu. Tidak semua orang yang bisa melakukan peran ritual dalam panangka hujan. Biasanya mereka menggunakan sebuah mantra atau bacaan doa-doa yang diucapakan ketika dalam melakukan ritual. Adapun bahan yang digunakan dalam melakukan ritual seperti daun ruku-ruku. Daun itu dipercaya memiliki energi spiritual yang kuat dan kemampuan untuk berkomunikasi dengan alam. Daun ruku-ruku akan direndam dengan air. Kemudian air tersebut akan disiram ke sekeliling rumah, yang di mana rumah itu tempat pesta yang akan diadakan. Tradisi ini menunjukan betapa kuatnya hubungan masyarakat Jambak dengan kekuatan alam.
Tradisi panangka hujan dalam suku Jambak salah satu warisan yang sudah turun temurun dari generasi ke generasi. Tradisi ini warisan budaya yang penuh akan makna, menggambarkan hubungan antara manusia dengan alam. Meskipun tradisi mulai memudar ditengah modernisasi pada sekarang ini. Sebagian besar masyarakat terutama yang tinggal di perkotaan, mulai meninggalkan tradisi tersebut. Namun, di perdesaan masih memegang teguh adat, tetap menghormati dan percaya akan hal ini. Di desa Sintuak sendiri masih banyak melakukan tradisi ini dalam mengadakan pesta pernikahan. Mereka berjaga-jaga supaya saat pesta pernikahan berlangsung tidak turun hujan. Dengan melestarikan tradisi ini, suku jambak tidak hanya menjaga identitas budaya mereka, tetapi juga mengajarkan pentingnya berdampingan dengan alam secara selaras. Selain itu, tradisi panangka hujan ini berakar pada budaya suku Jambak, tidak ada larangan mutlak bagi orang di luar suku tersebut untuk melakukannya, asalkan memiliki pengetahuan, izin, dan penghormatan yang sesuai terhadap tradisi yang ada.
Sumber referensi:
https://elibrary.unikom.ac.id/id/eprint/3334/8/UNIKOM_Encep%20Zainul%20Syah_10.%20BAB%20II.pdf
https://mozaikminang.wordpress.com/2009/10/15/sejarah-turunan-suku-jambak-di-minangkabau/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H