Belakangan ini, kebaya croptop ala Korea atau yang sering disebut Kebaya Korean Style menjadi topik hangat di media sosial, khususnya di platform seperti TikTok. Desain yang memadukan elemen kebaya tradisional Indonesia dengan gaya modern ala Korea Selatan ini menuai reaksi beragam dari masyarakat. Di satu sisi, tren ini dianggap sebagai inovasi kreatif, namun di sisi lain, memunculkan kekhawatiran tentang hilangnya esensi kebaya sebagai warisan budaya. Banyak sekali pro dan kontra yang patut untuk dikaji lebih dalam.
Menurut Kamus Mode (2011:113), kebaya merupakan pakaian tradisional wanita Indonesia berupa blus atau atasan berlengan panjang, dengan bukaan di depan. Selain bahan dan modelnya beragam, panjangnya juga bervariasi; dari yang pendek sepinggul hingga panjang selutut bahkan sebetis. Dipadukan dengan bawahan kain panjang yang dililitkan ke tubuh dari pinggang hingga ke mata kaki.
Sedangkan menurut Achjadi (1981), kebaya adalah busana blus panjang yang dikenakan bersama kain atau sarung, melambangkan keanggunan dan keunikan budaya Indonesia. Sejarah kebaya mencatat bahwa pakaian ini telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan perempuan Nusantara sejak abad ke-15, berkembang melalui pengaruh budaya lokal dan kolonial.
Kebaya tentunya juga diatur oleh suatu pakem. Berdasarkan Andre Frankie dalam www.kompas.com (2011), pakem yang menjadi jiwa dari kebaya itu ialah 'kesederhanaannya'. Model kebaya Jawa yang bisa dijadikan sebagai "pakem" ada dua, yakni kebaya Kartini dan kebaya Kutubaru.
Para pendukung Kebaya Korean Style beranggapan bahwa ini adalah bentuk akulturasi budaya yang positif. Di mana definisi dari akulturasi sendiri, menurut Koentjaraningrat, adalah proses penerimaan unsur budaya asing tanpa menghilangkan karakter asli budaya lokal. Mereka melihatnya sebagai cara untuk membawa kebaya ke kancah internasional dengan memperkenalkan elemen yang lebih universal dan sesuai dengan tren global saat ini. Dengan pendekatan tersebut, kebaya menjadi lebih inklusif, sehingga generasi muda terutama para penggemar budaya Korea tidak merasa asing untuk mengenakannya.
Namun, di sisi lain kritik muncul dari kalangan yang menganggap bahwa bentuk adaptasi seperti ini justru merupakan fenomena asimilasi yang dapat mengaburkan identitas asli kebaya sebagai warisan budaya Indonesia. Secara teknis, desain tersebut tidak lagi mengikuti pakem kebaya tradisional, baik dari segi bentuk maupun nilai filosofisnya.
"Sebenarnya, kebaya sangat boleh untuk dimodif, tapi dengan syarat harus tetap memperhatikan pakemnya," ujar Ernarini Indraswati selaku pemimpin LKP Ayu Busono dalam www.vokasi.kemdikbud.go.id (2024).
Menurutnya, kebaya yang sesuai pakem adalah kebaya yang pas di badan, contohnya seperti kebaya Kutubaru yang bagian bawahnya bisa lebih dilebarkan atau dikerutkan, asalkan tetap sesuai ukuran badan. Saat ini, dengan adanya kebaya modern croptop ala Korea tentu sangat menyalahi pakem. Meskipun hanya tren, seharusnya masyarakat tak mengikuti tren tersebut karena kebaya modern croptop ala Korea tampil lebih mini sampai pinggang atas, cenderung memperlihatkan bagian perut dengan menggunakan warna pastel. Hal tersebut tentunya bertolak belakang dengan pakem kebaya yang ada di Indonesia.
Sebagai negara dengan keberagaman budaya, Indonesia perlu berhati-hati dalam menerima pengaruh budaya asing. Pancasila, sebagai ideologi negara mengajarkan pentingnya menjaga jati diri bangsa Indonesia, seperti dalam sila 3 yang berbunyi "Persatuan Indonesia". Tren kebaya croptop menunjukkan bagaimana budaya asing dapat memengaruhi budaya lokal. Untuk itu, masyarakat perlu mengedepankan nilai Pancasila sebagai filter dalam menerima pengaruh budaya asing.
Pasal 32 ayat 1 UUD 1945 juga menegaskan bahwa negara bertangungjawab untuk memajukan kebudayaan nasional di tengah perkembangan dunia, dengan tetap menjamin kebebasan masyarakat untuk berkreasi dalam mengembangkan nilai-nilai budaya. Pemerintah dan komunitas budaya memiliki peran penting dalam mendidik masyarakat tentang nilai-nilai tradisional kebaya. Kampanye pelestarian dan inovasi yang tetap menghormati akar budaya lokal harus terus digencarkan, sehingga kebaya dapat berkembang tanpa kehilangan jati dirinya.