Mohon tunggu...
Olivia Zahrani
Olivia Zahrani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi semester 1 Program Studi Pendidikan Biologi Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Hobi saya traveling dan memasak

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Pembatasan Hak Kebebasan Berekspresi dalam Demonstrasi Undang-Undang Cipta Kerja

7 Desember 2022   20:25 Diperbarui: 7 Desember 2022   20:53 383
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Demonstrasi Penolakan Omnibus Law Dok. Pribadi

Tahun 2020 silam, Pemerintah dalam hal ini Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) mengesahkan Undang-Undang baru, yaitu Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja atau dijuluki sebagai Undang-undang sapu jagat (Omnibus Law). 
Produk hukum tersebut berisi tentang cipta lapangan kerja, meningkatkan investasi asing dan dalam negeri, dan sebagainya. Saya akan menjabarkan penjelasan dan opini saya mengenai kelompok ketenagakerjaan didalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2020. 
Dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2020, terdapat beberapa kelompok, salah satunya mengatur tentang ketenagakerjaan. Tujuan pemerintah didalam kelompok ketenagakerjaan ini adalah  menyelaraskan Undang-Undang tersebut agar terkoordinasi sehingga dapat memberikan ruang kepada para investor untuk mengkaji ulang peraturan yang telah disempurnakan tanpa harus khawatir akan tumpang tindih dengan peraturan lain dan merugikan investor. UU Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020 mengabaikan beberapa persoalan terkait hak pekerja. Sejak dihapuskan dan digantikannya beberapa pasal dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan yang ada sebelumnya dengan Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 Tentang Penciptaan Lapangan Kerja, memperburuk posisi angkatan kerja. 
Peraturan dalam undang-undang tersebut yang merugikan rakyat antara lain adanya ketentuan yang akan memotong upah pekerja, pengurangan pesangon, pengurangan masa libur pekerja, dan adanya ketentuan yang dapat memudahkan untuk PHK.
Akibat adanya peraturan yang dirasa merugikan rakyat tersebut, timbul berbagai aksi unjuk rasa atau demonstrasi menolak peraturan tersebut yang dilakukan oleh masyarakat, terutama para buruh dan juga mahasiswa yang terjadi hampir di seluruh Indonesia. Penyampaian pendapat tersebut dilakukan didepan kantor-kantor pemerintahan. 
Masyarakat menolak dan menuntut pemerintah untuk membatalkan pengesahan Undang-Undang tersebut yang mengurangi dan membatasi hak-hak pekerja dan khawatir akan meningkatkan angka pekerja yang dirumahkan atau terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang juga akan meningkatkan angka kemiskinan, terlebih sedang menghadapi kasus Covid-19. 
Menurut data dari Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) sampai bulan Juli 2020, atau sebelum adanya UU Cipta Kerja tersebut,  jumlah pekerja yang dirumahkan mencapai 1,1 juta orang, dan jumlah pekerja yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) mencapai 380.000 orang. Sedangkan berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), pada bulan Agustus 2020 atau sebelum adanya UU tersebut, kemiskinan berada di angka 9,77 juta orang.
Namun pada demonstrasi menolak Undang-Undang tersebut, banyak ditemui beberapa kasus seperti adanya pembatasan hak dalam berekspresi dan protes yang dilakukan oleh para aparat. Banyak tindakan-tindakan dari aparat yang dirasa berlebihan, seperti melakukan penggalangan dan pembubaran kepada massa yang akan berdemonstrasi, tindakan kekerasan dan penangkapan kepada orang-orang yang bahkan tidak mengetahui kesalahan yang mereka buat. Hal serupa juga diungkapkan oleh Amnesty International Indonesia. 
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid mengatakan bahwa ada setidaknya 43 video yang menunjukkan tindakan aparat yang berlebihan seperti memukuli mahasiswa padahal sedang melaksanakan demonstrasi dengan damai, pembubaran massa dengan menggunakan gas air mata, padahal aksi dilakukan dengan damai dan seharusnya dapat menggunakan cara yang lebih tepat. Kemudian ada beberapa mahasiswa juga yang ditangkap, ditendang dan/ atau ditampar tanpa ada alasan yang jelas.
Penulis memandang permasalahan tersebut sangat penting karena hak kebebasan berekspresi dan protes termasuk kedalam bagian dari demokrasi dimana Indonesia juga menganut sistem demokrasi. Kebebasan berekspresi dan protes termasuk salah satu indikator dari demokrasi, jika Indonesia ingin menjadi negara dengan demokrasi yang baik, sudah sepatutnya untuk menjamin hak-hak rakyat, termasuk hak kebebasan berekspresi tersebut. Kebebasan berekspresi merupakan salah satu hak rakyat yang harus dijamin dan merupakan amanat Undang-Undang. 
Didalam Undang-Undang Pasal 28 dan Pasal 28E ayat (3), Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa “setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. Masyarakat berhak atas kebebasan seperti berdemonstrasi, tidak boleh ada pembatasan atau pelarangan dari berbagai pihak termasuk aparat kepada masyarakat untuk mengeluarkan pendapatnya. 
Para aparat juga tidak boleh melakukan pembatasan dengan dalih demi keamanan dan juga dilarang untuk bertindak berlebihan kepada masyarakat yang sedang menyampaikan pendapatnya melalui demonstrasi atau unjuk rasa. Semua pihak harus menaati apa yang diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar. Harus dipastikan bahwa semua hak-hak rakyat dapat dijamin dan terpenuhi, agar dapat menjadi contoh negara demokrasi yang baik dan menciptakan keamanan dan ketentraman di negara ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun