Mohon tunggu...
Olivia Armasi
Olivia Armasi Mohon Tunggu... Mengurus Rumah Tangga -

Peduli politik itu peduli terhadap sesama..... Nulis itu sulit, merangkai kata itu susah.... Mantan pelajar yang sedang belajar membaca, belajar komentar & belajar menulis..

Selanjutnya

Tutup

Politik

Tatkala Tak Ada Lagi Ahok di Balaikota

29 September 2016   09:16 Diperbarui: 30 September 2016   07:58 2434
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sejarah telah ditulis, orde baru tumbang dengan stigma buruk dan gagal. Dimotori oleh salah satu tokohnya Prof. Dr. H. Amin Rais, zaman reformasi pun dimulai. Harapan publik, hadirnya era keemasan bangsa Indonesia seakan-akan tinggal selangkah lagi.

Reformasi bukanlah revolusi. Falsafah reformasi adalah memperbaiki. Setelah swasembada pangan tercapai dan memasuki era tinggal landas yang dicanangkan di ulang tahun emas Republik Indonesia, seharusnya harapan publik Indonesia negeri yang Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur, gemah ripah loh jinawi dapat terwujud nyata.

Namun, setelah sekian tahun berlalu, muncul fenomena sticker bergambar the smiling general dengan senyum khasnya sedang melambaikan tangan bertuliskan “Piye Kabare, Penak Jamanku to?”.

Sticker itu menempel di angkot-angkot, bus, truck serta mobil angkutan bak terbuka. Sarana transportasi yang identik dengan aktifitas kehidupan rakyat jelata. Artinya, ada sesuatu hal positif yang berkesan dan dirasakan masyarakat kelas bawah saat itu. Dan, sesuatu itu tidak mereka dapatkan di era reformasi.

Apakah berati orde baru lebih baik? Tentu saja tidak. Terhadap fenomena sticker “penak jamanku”, semestinya kita menyikapi realita itu dengan obyektif dan adil. Bahwa ternyata tidak semua yang lahir di era reformasi itu baik dan yang berbau orde baru itu buruk. Plus minus di setiap rezim pasti ada.

Banyak hal baik berikut dampak negatifnya yang lahir di era reformasi, yaitu “Demokratisasi, Kebebasan berekspresi dan Desentralisasi”.

- Demokratisasi

Demokratisasi melahirkan kepala-kepala daerah berprestasi. Disaat yang sama atas nama demokrasi, tidak sedikit keluarga-keluarga darah biru yang berusaha membangun kekuasaan dinasti.

- Kebebasan berekspresi

Soeharto sangat jarang bicara. Sekali waktu, Soeharto berkata dengan nada tinggi “TAK GEBUG!”. Kata-kata yang seakan-akan menjadi instruksi. Bagi siapa saja yang menentang pemerintah harus dihabisi. Masyarakat merasa terintimidasi, menjadi mimpi buruk yang menakutkan.

Di era reformasi, masyarakat dan media tak perlu was-was dan takut berekspresi. Belakangan, euforia kebebasan malah kebablasan, maka perlu diberi rambu-rambu dengan peraturan ujaran kebencian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun