Tumbuhnya perekonomian nasional, tuntutan akan ketersedianya infrastruktur, salah satunya sektor kelistrikan semakin meningkat. Potensi sumber daya alam berupa hydropower skala kecil dan menengah cukup besar yang dapat dikembangkan sebagai pembangkit listrik tenaga air.
Sebagai upaya memenuhi ketercukupan kebutuhan listrik nasional, Pemerintah mengeluarkan kebijakan dan regulasi untuk mempercepat pembangunan infrastruktur listrik yang memberikan kesempatan kepada Badan usaha Koperasi, Pemerintah Daerah, swasta, perorangan untuk ikut berpartisi dalam pengadaan kelistrikan sebagai IPP (Independent Power Producers).
Hitung-hitungan bisnis sebagai IPP sangat feasible, pembiayaan dari finance institution pun tidaklah sulit karena bisnis penyedia listrik tenaga air sangat minim resiko. Untuk PLTA, BEP Investasi 3-5 tahun, jaminan garansi turbin 15 tahun. Para pengusaha nasional berlomba-lomba menjadi IPP. Tidak ketinggalan, salah satu putra Jacob Utama, pemilik Dyandra Entertaiment yang mempunyai tagline “No days without event”-pun tertarik dan mulai merintis bisnis Pembangkit Listrik Tenaga Air.
Dengan kondisi Sumber Daya Alam sebagai sumber pembangkit listrik sangat melimpah, bisnis sangat feasible, lembaga keuangan berlomba-lomba untuk membiayai, pengusaha nasional juga telah siap berpartisipasi. Pertanyaannya, mengapa target pembangunan infrastruktur kelistrikan nasional tidak tercapai?, Pasokan listrik nasional masih tetap mengalami krisis?
Jawabannya sangat klise “PROBLEM BIROKRASI”. Perizinan menjadi IPP sangat super ruwet. Dalam 3 tahun urus izin IPP belum tentu bisa selesai. Problem klasik : ego sektoral, tumpang tindih peraturan, minimnya koordinasi Pemerintah pusat & daerah. Reformasi birokrasi dengan adanya unit Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu pun belum dapat menjawab ketidak siapan & kegagapan Pemerintah di daerah.
Proses Perizinan menjadi Independent Power Producer.
- Calon IPP menyusun Feasibility Study
- Permohonan Izin Prinsip kepada Bupati/Walikota,
- Izin lokasi, IMB, HO
- Rekomendasi teknis Dinas Pekerjaan Umum
- Rekomendasi teknis Dinas Pertanian/Ketahanan Pangan,
- Rekomendasi teknis Tata Ruang (BKPRD)
- Rekomendasi teknis BBWS ( Balai Besar Wilayah Sungai)
- Rekomendasi teknis Litbang Kementrian PU
- Rekomendasi teknis PSDA Kementrian PU
- Rekomendasi BKPRD (Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah)
- Permohonan Keterangan Lokasi / Ijin Lokasi ke Pemkab/Kota, BPN
- Izin Lingkungan dengan menyusun UKL/UPL (Upaya Pemantauan Lingkungan & Upaya Pengelolaan Lingkungan)
- Permohonan Pemanfaatan & Penggunaan Air Permukaan Tanah (APT) Kepada Gubernur melalui PSDA Provinsi. Dilampiri Rekomendasi Sosial Bupati/Walikota.
- PPA (Power Purchase Agreement) dengan PLN.
Masing-masing tahapan proses izin tersebut membutuhkan waktu dan biaya yang tidak sedikit.
Antusiasme swasta dalam berpartisipasi sebagai penyedia energi listrik agar listrik tidak “Byar Pet” mestinya perlu di apresiasi dan di antisipasi. Perlu di apresiasi karena peranserta mereka akan sangat membantu tugas pemerintah dalam mencukupi kebutuhan energi nasonal. Perlunya antisipasi agar percepatan pembangunan energi listrik tidak berpotensi menjadi problem hukum dibelakang hari. Seperti yang dialami JK semasa Pemerintahan SBY-JK. Upaya terobosan JK mempercepat pembangunan energi menjadi polemik pro & kontra. Bagi yang pro, peranserta pembangunan pembangkit listrik oleh Bukaka Grup mempunyai arti penting bagi pertumbuhan industri & perekonomian. Bagi yang kontra, upaya ”terobosan” JK itu di identikan dengan aroma KKN.
Jika pembangunan infrastruktur energi listrik merupakan skala prioritas, maka semestinya Pemerintah melakukan upaya lebih dengan membentuk lembaga yang dapat menjembatani/memangkas/mempercepat proses perizinan. Dan membuat regulasi dalam bentuk Peraturan Pemerintah/ Undang-undang khusus untuk menjawab tumpang tindih peraturan yang ada.
foto : www.bestphotosite.net
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H