Keputusan Ahok dalam Pilgub DKI 2017 menggunakan kendaraan Parpol menjadikan pro dan kontra. Bagi pendukung idealis independen merasa kecewa. Hal ini sangat wajar mengingat kondisi partai politik saat ini secara umum belum bisa diharapkan menjadi pilar demokrasi yang sesungguhnya. Parpol belum bisa membuktikan dirinya sebagai representasi masyarakat.
Majunya Ahok melalui independen diharapkan sebagai simbol perlawanan terhadap hegemoni parpol yang dikuasai oleh oknum-oknum preman politik.
Bagi pendukung idealis jalur independen, keputusan Ahok sepertinya menjadi anti klimaks. Seolah-olah layu sebelum berkembang. Perjuangan mengumpulkan KTP menjadi sesuatu hal yang sia-sia. Independen sebuah harga mati. Lebih baik kalah terhormat daripada ada campur tangan partai politik.
Bahkan ada yang menyimpulkan keputusan Ahok menggunakan Parpol, Ahok “kemaruk” jabatan. ^_^
Menyikapi keputusan Ahok menuju DKI 1, apakah merupakan langkah pragmatis atau realistis?
Kembali kepada tujuan awal Teman Ahok. Teman Ahok adalah gerakan moral yang dibentuk karena kepedulian warga Jakarta saat Ahok sendirian menghadapi oknum-oknum anggota DPRD DKI yang menjadi begal APBD.
Melihat kinerja Ahok, warga Jakarta mempunyai keinginan kuat agar Ahok terpilih kembali menjadi Gubernur DKI di Pilgub 2017. Disisi lain, realita Ahok yang menjadi musuh bersama oknum-oknum politisi, ada kekhawatiran tidak akan ada Parpol yang sudi mengusung Ahok menjadi Cagub. Maka Teman Ahok berinisiatif melakukan gerakan mengumpulkan KTP sebagai dukungan menjadi calon independen.
Yang menarik adalah, seandainya Ahok hanya sekedar ingin bisa menjadi Cagub, mengapa Ahok meminta syarat minimal satu juta KTP? Mengapa tidak sekedar terpenuhi syarat minimum? Apa maksud Ahok?
Mengingat kondisi Ahok. Pertama, disamping faktor SARA, Ahok bukan seorang yang kaya raya. Dan Ahok tidak pernah menggunakan kewenangan jabatannya mengumpulkan harta untuk bekal nyagub. Kalaupun harta kekayaan Ahok dijual seluruhnya tidak akan cukup untuk membiayai nyagub DKI. Dan hal tersebut tidak akan pernah mungkin dilakukan Ahok. Ahok sangat rasional tidak mungkin menelantarkan keluarganya hanya untuk sekedar menjadi gubernur.
Kedua, Ahok sangat menyadari, pilihan sikap yang sangat jelas dan tegas untuk tidak berkompromi terhadap kejahatan, ketidak adilan berakibat Ahok menjadi musuh bersama. Musuh oknum anggota DPRD yang belum balik modal, musuh politisi yang kesulitan menggali dana dari APBD, calo-calo proyek, PNS pemalas dan korup, oknum masyarakat yang menguasai lapak liar, rumah-rumah kumuh, penguasa parkir serta pengusaha-pengusaha yang merasa keuntungannya berkurang karena kebijakan Ahok. Pengembang yang kongkalikong dengan DPRD untuk menjegal kebijakan Ahok. Asosiasi pengembang yang menentang kebijakan pergub koefisien luas dan tinggi bangunan. Asosiasi pengusaha yang menentang penetapan upah minimum.
Dan otomatis sikap Ahok tersebut mendatangkan resistensi dan serangan-serangan yang sangat luar biasa agar Ahok tidak lagi menjadi Gubernur. Mulai dari oknum-oknum PNS pura-pura bodoh dan lamban hingga aksi sabotase agar kinerja Ahok terlihat buruk. Maupun serangan terbuka seperti kasus Sumber Waras, kasus Reklamasi dan lain-lain.