Kita patut bersyukur dan merasa bangga dilahirkan sebagai orang Indonesia. Selain keelokan dan subur alamnya, Indonesia adalah negara yang paling unik dibanding negara-negara lain yang ada di bumi. Ratusan bahkan mungkin ribuan suku dan etnis ada di Indonesia. Dari yang berkulit putih, sawo matang, coklat hingga hitam. Dari yang bermata sipit, sedang hingga lebar. Beraneka ragam suku begitu juga bermacam-macam budaya, adat istiadat, bahasa, kuliner termasuk agama, kepercayaan dan keyakinan kepada Sang Pencipta.
Indonesia ada karena perjuangan para pahlawan yang berjuang dengan darah dan nyawa. Mengorbankan jiwa serta raganya mewujudkan Indonesia merdeka. Berangkat dari kesadaran keanekaragaman suku dan agama, Negara Kesatuan Republik Indonesia dibangun oleh para pendiri bangsa dengan semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” dan ideologi Pancasila sebagai pondasi dan landasan hidup berbangsa dan bernegara.
Namun, diusia ke 71 Indonesia merdeka, kemerdekaan untuk segenap warga negara Indonesia belum sepenuhnya terwujud. Intoleransi menjadi ancaman dari dalam negeri. Hal ini disebabkan sebagian dari saudara-saudara kita tidak mau memahami bahwa karena perbedaan-perbedaan itulah Indonesia berdiri.
Pilkada DKI Jakarta 2017 dengan keikutsertaan Basuki Tjahaja Purnama, seorang Warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa beragama Kristen sebagai cagub, menjadi ujian kita hidup bersama bernegara. Apakah Bhinneka Tunggal Ika itu sekedar semboyan tanpa makna? ApakahPancasila itu sekedar menjadi hapalan tanpa implementasi? Apakah toleransi selama ini sekedar basa-basi?
Pilkada adalah urusan dunia memilih pelayan rakyat bukan pemimpin umat.
Bupati, walikota, gubernur bahkan presiden adalah koordinator pelayan rakyat seperti fungsi kepala urusan rumah tangga. Mereka adalah pegawai kontrak yang digaji dengan uang rakyat untuk mengurus negara ini dengan benar. Kriteria pelayan yang ideal sangat jelas. Berpengalaman dan tahu apa yang harus dikerjakan, melayani dan paham apa yang diinginkan bosnya (rakyat) sesuai aturan (konstitusi), tidak cacat moral, adil, jujur tidak korupsi, berani dan tegas melawan begal, maling, perampok yang mencoba memiliki harta bosnya (APBD/APBN) dengan cara ilegal.
Menjelang Pilgub DKI, terdapat kelompok bagian dari gerakan anti Ahok yang memaksakan keinginan adanya kriteria tambahan. Cagub/cawagub harus sealiran, seagama dan bukan warga keturunan. Adapun gerakan anti Ahok bisa dikelompokkan menjadi tiga kelompok besar. Pertama, kelompok bukan pembenci Ahok tapi harus anti Ahok, karena tidak setuju cara-cara Ahok, saudara/keluarga penantang Ahok atau kader partai lain bukan pendukung Ahok. Kedua, kelompok sakit hati, karena kepentingannya terganggu dan merasa dirugikan. Dan ketiga, adalah kelompok intoleran, baik karena alasan etnis maupun agama.
Kelompok anti Ahok yang ketiga, dapat dikatakan sedang menderita penyakit kejiwaan yang disebut ta'ashub. Kata ta’ashub secara bahasa berasal dari kata Al-‘Ashabiyah yang berarti semangat golongan atau fanatik buta. Seseorang yang tertimpa ta’ashub, akan membutakan mata dan akan merampas akalnya. Orang tersebut tidak bisa melihat kebaikan dan kebenaran kecuali apa yang baik dan benar menurutnya. Ta'ashub atau fanatik buta dapat menjangkiti siapa saja, tidak hanya umat agama dan suku bangsa tertentu. Fanatik buta memiliki daya rusak yang sangat membahayakan hubungan antar manusia dan kehidupan berbangsa bernegara.
Dimasa lalu terjadi pertikaian, peperangan antar suku bangsa bukan karena berebut wilayah akan tetapi hanya karena suku yang satu merasa lebih tinggi derajatnya, lebih baik dibanding suku yang lain. Jaman kegelapan itu, disebut sebagai jaman jahiliyah.
Sikap intoleran seseorang di jaman modern muncul karena lingkungan pergaulan yang eksklusif dan keliru cenderung menyesatkan. Karena fanatik buta, mereka hanya mau menerima informasi dari yang sealiran. Diluar itu tidak akan pernah menjadi rujukan, walaupun informasi itu benar dan obyektif. Oleh sebab itu, portal-portal yang menyajikan informasi sesuai dengan keinginan mereka walaupun berisi berita sampah dan propaganda, opini menyesatkan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan tetap eksis dan menjadi referensi paling utama.
Gara-gara Ahok, orang-orang penderita ta’ashub muncul dipermukaan dan menampakkan wajah-wajah aslinya. Bukan hanya orang biasa yang sekedar anut grubyuk ikut-ikutan. Ada juga yang berasal dari kalangan kampus, mahasiswa terdidik yang seharusnya memiliki wawasan dan pola pikir modern serta terbuka. Bahkan, tidak sedikit tokoh-tokoh publik figur yang seharusnya menjadi panutan justru cenderung mendorong berkembangnya intoleransi di Indonesia.