Mohon tunggu...
Oliva Luaq
Oliva Luaq Mohon Tunggu... Guru - Guru / SMA Negeri 1 Long Apari

Hoby saya adalah berpetualang menikmati alam dan bercengkerama dengan gemercik air meskipun saya tidak pandai berenang tapi air adalah tempat terindah bagi saya untuk berendam dan bermain. Saya adalah seoarang yang keras karena sulitnya hidup mengajarkan saya untuk berdiri di atas kaki sendiri dan terus berjuang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bara dalam Pelukan Ibu

6 Oktober 2024   07:00 Diperbarui: 6 Oktober 2024   08:34 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Di sebuah desa kecil yang dikelilingi oleh hutan dan hamparan ladang yang ditanam padi dan mulai menghijau, hiduplah seorang ibu bernama Nyai. Kehidupannya sederhana, rumahnya kecil, dan penghasilannya pun tak seberapa. Namun, satu hal yang tak pernah kecil dari Nyai adalah cintanya kepada kedua anaknya, Raka dan Mita. Sejak suaminya meninggal dalam sebuah kecelakaan kerja beberapa tahun lalu, Nyai sendirian menjadi tumpuan keluarga. Ia harus bekerja keras setiap hari di ladang orang, menanam padi dan memetik hasil bumi, demi memastikan anak-anaknya tetap bisa bersekolah dan makan yang cukup. Di tengah segala keterbatasan, Nyai selalu tersenyum di depan anak-anaknya. "Tidak apa-apa, Nak. Yang penting kita tetap bersama," katanya tiap kali mereka mengeluh soal makanan yang tak cukup, baju yang sudah lusuh, atau rumah yang mulai rapuh. Di balik senyum itu, Nyai menyembunyikan kekhawatiran dan lelahnya. Namun, ia selalu percaya bahwa selagi ada cinta dan usaha, apa pun bisa dilalui. Setiap pagi, sebelum matahari terbit, Nyai sudah bangun. Ia menyiapkan sarapan sederhana berupa nasi dan sayur yang ditumis dengan minyak seadanya. Sering kali, Nyai hanya makan sedikit, menyisakan lebih banyak untuk Raka dan Mita. Setelah memastikan kedua anaknya berangkat ke sekolah, Nyai pergi bekerja di ladang, di bawah terik matahari yang kadang terasa membakar kulit. Tangannya kasar, penuh luka, namun ia tak pernah mengeluh. Dalam hatinya, ia selalu berpikir, "Selama anak-anakku bahagia, tidak apa-apa."

Suatu hari, badai besar menerjang desa. Angin kencang merobohkan sebagian rumah Nyai. Atapnya runtuh, dan tembok bambunya yang sudah rapuh terhempas. Malam itu, hujan deras menetes dari lubang-lubang atap, membasahi lantai tanah dan tikar tempat mereka tidur. Raka dan Mita menangis ketakutan. Nyai hanya bisa memeluk mereka erat-erat di pelukannya yang hangat. "Jangan takut, Nak. Kita akan baik-baik saja," bisiknya lembut meskipun hatinya penuh dengan kekhawatiran. Esoknya, dengan tekad yang kuat, Nyai mendatangi tetangga-tetangganya, meminta bantuan untuk memperbaiki rumah. Meskipun hidupnya serba kekurangan, Nyai tidak pernah malu untuk meminta pertolongan, karena ia tahu bahwa kebersamaan adalah kekuatan desa kecil mereka. Dengan gotong royong, rumah Nyai berdiri kembali, walau masih sederhana, namun cukup untuk berlindung dari hujan dan angin.

Sementara itu, Nyai terus bekerja keras. Ia juga menekankan pentingnya pendidikan kepada Raka dan Mita. "Kalian harus sekolah yang tinggi. Ibu ingin kalian punya kehidupan yang lebih baik. Jangan pernah menyerah, meskipun sulit," kata Nyai dengan penuh harap. Mita yang pandai membaca dan menulis, bercita-cita menjadi seorang guru, sementara Raka, yang senang membantu di ladang, ingin menjadi petani yang berhasil. Tahun demi tahun berlalu, Nyai semakin tua. Tubuhnya semakin lemah, namun semangatnya tak pernah pudar. Setiap kali ia merasa ingin menyerah, ia mengingat impian anak-anaknya. Baginya, anak-anaknya adalah bara api yang terus menyala dalam hidupnya. Bara itu memberinya kekuatan untuk tetap melangkah, meski badai kehidupan tak pernah benar-benar berhenti.

Suatu hari, ketika Mita sudah lulus kuliah dan menjadi seorang guru di desa, ia duduk di samping ibunya yang mulai sakit-sakitan. "Bu, terima kasih sudah berjuang untuk kami. Semua yang kami capai sekarang adalah berkat ibu. Kami tidak akan pernah bisa membalas semua pengorbanan ibu," kata Mita dengan mata berkaca-kaca. Ibunya tersenyum lemah, namun matanya penuh kebanggaan. "Ibu tidak butuh balasan, Nak. Melihat kalian bahagia sudah cukup bagi ibu. Selama ini, ibu hanya ingin kalian bisa mencapai impian kalian, meskipun hidup kita serba kekurangan." Raka yang berdiri di dekat pintu, mengangguk pelan. "Bu, apa yang ibu lakukan adalah pelajaran terbesar bagi kami. Ibu mengajarkan kami bahwa cinta dan perjuangan tak mengenal batas. Kami akan selalu ingat itu." 

Di sisa usianya, Nyai hidup dengan tenang di rumah kecil yang penuh kehangatan. Ia tahu bahwa perjuangannya selama ini tidak sia-sia. Bara cinta dalam pelukannya telah menyalakan semangat hidup anak-anaknya, dan kini, merekalah yang membawa cahaya harapan bagi desa dan orang-orang di sekitarnya.

Pesan Moral:
Cinta seorang ibu adalah kekuatan yang tak terbatas. Meski hidup dalam keterbatasan, kasih sayang dan pengorbanannya mampu menyalakan semangat dan harapan bagi anak-anaknya. Perjuangan yang dilandasi cinta akan selalu membawa kebaikan dan kebahagiaan, meskipun badai kehidupan terus datang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun