KEJAHATAN GENOSIDA PADA ETNIS ROHINGYA DALAM PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL
Â
Olita Jasmine
Fakultas Hukum, Universitas Sultan Agung Semarang
E-mail: olitaj48@gmail.com
Â
Â
Abstrak
Penelitian ini mengeksplorasi kejahatan genosida terhadap etnis Rohingya dalam perspektif hukum internasional, menyoroti tindakan diskriminatif yang dilakukan oleh pemerintah Myanmar. Dengan menggunakan pendekatan analitis, penelitian ini mengkaji elemen-elemen genosida menurut Konvensi Genosida 1948 serta respons komunitas internasional terhadap krisis tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa meskipun ada kerangka hukum yang ada, implementasinya sering terhambat oleh politik internasional dan ketidakmampuan negara-negara untuk mengambil tindakan yang efektif. Peran masyarakat sipil dan organisasi non-pemerintah menjadi sangat penting dalam mendukung hak-hak Rohingya dan meningkatkan kesadaran global. Penelitian ini menekankan pentingnya pendekatan holistik dan kolaboratif yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan untuk memastikan perlindungan hak asasi manusia yang efektif, penegakan hukum yang tegas, dan keadilan bagi para korban. Dengan demikian, studi ini berkontribusi pada pemahaman yang lebih baik tentang krisis Rohingya dan tantangan dalam penegakan hukum internasional.
Â
Kata Kunci: Genosida, Etnis Rohingya, Hukum Internasional, Hak Asasi Manusia.
Â
Abstract
This study explores the genocide against the Rohingya ethnic group from the perspective of international law, highlighting the discriminatory actions taken by the Myanmar government. Using an analytical approach, the research examines the elements of genocide according to the 1948 Genocide Convention and the international community's response to the crisis. The findings indicate that although a legal framework exists, its implementation is often hindered by international politics and the inability of states to take effective action. The role of civil society and non-governmental organizations is crucial in supporting Rohingya rights and raising global awareness. This research emphasizes the importance of a holistic and collaborative approach involving various stakeholders to ensure effective human rights protection, robust law enforcement, and justice for victims. Thus, this study contributes to a better understanding of the Rohingya crisis and the challenges in enforcing international law.
Â
Keywords: Genocide, Rohingya Ethnic Group, International Law, Human Rights.
A. PENDAHULUAN
Kejahatan genosida adalah salah satu bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang paling serius dan brutal dalam sejarah peradaban manusia. Genosida didefinisikan sebagai tindakan pembunuhan massal yang dilakukan dengan tujuan untuk memusnahkan sebagian atau seluruh kelompok tertentu berdasarkan identitas nasional, etnis, ras, atau agama. Sejak diakuinya istilah ini oleh masyarakat internasional pasca-Perang Dunia II, khususnya melalui Konvensi Genosida 1948, genosida menjadi isu penting dalam hukum internasional, dengan berbagai instrumen hukum yang berupaya mencegah dan menghukum para pelakunya. Meskipun berbagai instrumen hukum telah diatur, hingga kini dunia masih menyaksikan kejahatan genosida dalam berbagai bentuk, salah satunya adalah krisis kemanusiaan yang menimpa etnis Rohingya di Myanmar.
Etnis Rohingya merupakan kelompok minoritas Muslim yang telah lama tinggal di negara bagian Rakhine, Myanmar. Meskipun mereka memiliki sejarah panjang di wilayah tersebut, pemerintah Myanmar secara konsisten menolak untuk mengakui etnis Rohingya sebagai warga negara yang sah, sehingga menempatkan mereka dalam status stateless atau tanpa kewarganegaraan. Status ini menyebabkan mereka terdiskriminasi secara sistematis, baik secara politik, ekonomi, maupun sosial, di mana akses terhadap pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan sangat terbatas bagi mereka. Diskriminasi tersebut tidak hanya bersifat struktural tetapi juga diiringi dengan kekerasan fisik yang meluas, yang mencapai puncaknya pada tahun 2017 ketika militer Myanmar melancarkan operasi militer di Rakhine yang menargetkan komunitas Rohingya.
Operasi militer yang disebut sebagai "clearance operation" ini menyebabkan ratusan ribu orang Rohingya melarikan diri ke negara-negara tetangga, terutama Bangladesh. Mereka meninggalkan rumah, harta benda, dan segala bentuk keamanan di Rakhine, sementara mereka menyaksikan pembakaran desa, pembunuhan massal, pemerkosaan, dan penyiksaan. Tindakan kekerasan ini tidak hanya menimbulkan tragedi kemanusiaan yang mengerikan, tetapi juga menyulut kecaman internasional yang luas dan menimbulkan pertanyaan serius tentang keabsahan tindakan pemerintah Myanmar di bawah hukum internasional. Apakah tindakan militer Myanmar terhadap Rohingya dapat dikategorikan sebagai genosida? Bagaimana hukum internasional merespons kasus ini? Dan apa saja tantangan yang dihadapi dalam mengupayakan keadilan bagi korban Rohingya?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, penting untuk melihat lebih dalam definisi genosida dan kriteria yang ditetapkan oleh hukum internasional. Konvensi Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida (Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide) yang disahkan oleh Majelis Umum PBB pada tahun 1948, mengatur bahwa genosida adalah tindakan yang dilakukan dengan niat untuk menghancurkan, secara keseluruhan atau sebagian, suatu kelompok nasional, etnis, ras, atau agama. Tindakan-tindakan yang dianggap sebagai genosida meliputi pembunuhan anggota kelompok; menyebabkan penderitaan fisik atau mental yang serius; menciptakan kondisi kehidupan yang bertujuan untuk memusnahkan kelompok tersebut; menerapkan tindakan untuk mencegah kelahiran di dalam kelompok; serta memindahkan anak-anak secara paksa dari kelompok tersebut ke kelompok lain.
Dalam kasus Rohingya, banyak laporan dari organisasi internasional, seperti Human Rights Watch, Amnesty International, dan laporan investigasi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, menunjukkan adanya pola tindakan sistematis dan terorganisir yang memenuhi elemen-elemen genosida yang disebutkan dalam Konvensi 1948. Pembunuhan massal, penganiayaan, serta pemaksaan perpindahan penduduk yang terjadi selama operasi militer di Rakhine tidak hanya merupakan tindakan represif tetapi menunjukkan niat yang disengaja untuk menghancurkan identitas etnis Rohingya. Laporan tersebut juga mencatat bahwa militer Myanmar tidak bertindak sendirian. Ada keterlibatan dari aktor-aktor negara lainnya, termasuk pejabat pemerintah, yang memainkan peran dalam menciptakan kondisi yang memungkinkan terjadinya genosida ini, mulai dari menyebarkan retorika kebencian hingga menerapkan kebijakan yang mendiskriminasi etnis Rohingya.
Namun, di sisi lain, upaya untuk meminta pertanggungjawaban Myanmar atas tindakan genosida ini tidaklah mudah. Ada banyak tantangan yang harus dihadapi di tingkat hukum internasional. Salah satu kendala utama adalah bagaimana membuktikan adanya intent atau niat untuk menghancurkan etnis Rohingya secara keseluruhan atau sebagian, karena dalam hukum internasional, niat adalah elemen penting dalam kasus genosida. Selain itu, status Myanmar yang bukan merupakan negara pihak dalam Statuta Roma, yang merupakan dasar hukum bagi Mahkamah Pidana Internasional (ICC), menambah kesulitan dalam proses pengadilan internasional. Meskipun demikian, beberapa perkembangan positif telah terjadi, seperti langkah yang diambil oleh Gambia yang menggugat Myanmar di Mahkamah Internasional (ICJ) dengan tuduhan pelanggaran Konvensi Genosida. Kasus ini menunjukkan bahwa meskipun sulit, upaya internasional untuk menegakkan keadilan bagi korban Rohingya masih terus berjalan.
Perspektif hukum internasional dalam mengkaji kasus genosida Rohingya ini juga menyoroti pentingnya konsep responsibility to protect (R2P) yang bertujuan untuk mencegah terjadinya kejahatan kemanusiaan, termasuk genosida, dengan melibatkan komunitas internasional untuk mengambil tindakan kolektif ketika sebuah negara gagal melindungi rakyatnya. Kasus Rohingya dapat dianggap sebagai kegagalan penerapan prinsip R2P, di mana dunia internasional seakan-akan lamban dalam merespons krisis kemanusiaan yang terjadi di Rakhine. Hal ini memunculkan pertanyaan tentang sejauh mana komitmen negara-negara di dunia dalam mencegah terjadinya genosida dan melindungi hak asasi manusia bagi semua individu tanpa memandang latar belakang etnis, agama, atau kewarganegaraan.
Dengan melihat kompleksitas dari kasus Rohingya ini, penting untuk menyadari bahwa permasalahan ini bukan hanya isu domestik Myanmar, tetapi juga isu internasional yang membutuhkan kerja sama berbagai pihak untuk menyelesaikannya. Hukum internasional memiliki peran penting dalam memberikan perlindungan dan memastikan adanya keadilan bagi korban. Namun, mekanisme yang ada masih memiliki keterbatasan, baik dari segi yurisdiksi maupun penerapan yang efektif di lapangan. Untuk itu, diperlukan upaya kolektif yang lebih kuat dari komunitas internasional, termasuk tekanan diplomatik, sanksi ekonomi, dan intervensi kemanusiaan yang komprehensif, agar keadilan bagi etnis Rohingya dapat terwujud dan pelaku kejahatan genosida dapat diadili sesuai dengan hukum yang berlaku.
B. METODE
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis-normatif dengan metode analisis kualitatif untuk mengeksplorasi isu kejahatan genosida terhadap etnis Rohingya dalam perspektif hukum internasional. Pendekatan yuridis-normatif dipilih karena fokus penelitian terletak pada kajian terhadap norma-norma hukum internasional yang mengatur tentang genosida, serta penerapan dan interpretasi ketentuan hukum tersebut dalam kasus konkret. Metode ini melibatkan analisis terhadap peraturan perundang-undangan internasional, traktat, konvensi, serta berbagai instrumen hukum lainnya yang relevan, seperti Konvensi Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida tahun 1948, Statuta Roma 1998, dan berbagai resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) terkait hak asasi manusia dan perlindungan terhadap kelompok minoritas.
Pengumpulan data dilakukan melalui studi literatur dengan menelusuri berbagai sumber hukum primer dan sekunder. Sumber hukum primer mencakup konvensi internasional, perjanjian, serta putusan-putusan dari badan peradilan internasional seperti Mahkamah Internasional (International Court of Justice/ICJ) dan Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court/ICC). Sementara itu, sumber hukum sekunder meliputi jurnal akademik, buku referensi, laporan-laporan resmi dari organisasi internasional, seperti laporan investigasi dari Kantor Komisioner Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia (OHCHR), Human Rights Watch, Amnesty International, serta dokumen-dokumen lain yang diterbitkan oleh lembaga penelitian terkait. Selain itu, artikel-artikel dan opini dari para pakar hukum internasional, baik di jurnal akademik maupun media massa yang kredibel, juga akan digunakan untuk memberikan perspektif tambahan dalam memahami dinamika hukum dan politik yang mempengaruhi kasus ini.
Penelitian ini juga mengadopsi metode analisis kasus (case study) terhadap krisis Rohingya, yang bertujuan untuk mengeksplorasi pola-pola pelanggaran yang terjadi, tindakan yang dilakukan oleh militer Myanmar, serta respon internasional terhadap krisis ini. Pendekatan studi kasus ini akan membantu dalam mengidentifikasi elemen-elemen yang memenuhi kriteria genosida menurut Konvensi 1948, serta menilai seberapa jauh perbuatan tersebut sesuai atau bertentangan dengan norma hukum internasional yang ada. Studi kasus yang dilakukan tidak hanya berfokus pada peristiwa-peristiwa yang terjadi di lapangan, tetapi juga memperhatikan proses hukum yang telah berjalan, termasuk gugatan yang diajukan oleh Gambia terhadap Myanmar di Mahkamah Internasional dan upaya-upaya advokasi lainnya di forum internasional.
Analisis kualitatif digunakan untuk memahami dan menjelaskan secara mendalam berbagai aspek hukum dan faktual yang muncul dalam kasus ini. Melalui metode ini, penelitian tidak hanya berusaha memaparkan aturan hukum, tetapi juga mengevaluasi bagaimana aturan tersebut diterapkan dalam konteks yang spesifik, serta mengidentifikasi hambatan-hambatan yang ada dalam upaya penegakan hukum. Analisis kualitatif juga memungkinkan untuk mengeksplorasi berbagai perspektif dari aktor-aktor yang terlibat, baik dari sudut pandang negara-negara, organisasi internasional, maupun komunitas Rohingya itu sendiri. Dengan demikian, penelitian ini dapat memberikan gambaran yang lebih komprehensif mengenai peran hukum internasional dalam menghadapi tantangan genosida dan hak asasi manusia.
Dalam melakukan analisis terhadap data yang diperoleh, penelitian ini juga mempertimbangkan pendekatan normatif-historis. Pendekatan ini penting untuk memahami latar belakang sejarah yang melatarbelakangi diskriminasi dan kekerasan terhadap etnis Rohingya, serta bagaimana kebijakan pemerintah Myanmar berkembang dari waktu ke waktu. Dengan melihat perkembangan sejarah ini, penelitian dapat memberikan konteks yang lebih jelas tentang mengapa genosida terhadap Rohingya bisa terjadi, serta mengapa upaya untuk mengatasi krisis ini memerlukan perhatian dari komunitas internasional. Selain itu, pendekatan normatif-historis juga membantu dalam memahami bagaimana hukum internasional mengenai genosida telah berevolusi dan bagaimana evolusi tersebut mempengaruhi respons terhadap situasi di Myanmar.
Keseluruhan metode penelitian ini diharapkan dapat memberikan analisis yang mendalam dan holistik tentang fenomena genosida terhadap Rohingya. Dengan menggabungkan pendekatan yuridis-normatif, analisis kasus, serta studi literatur yang komprehensif, penelitian ini berupaya untuk tidak hanya mengidentifikasi masalah, tetapi juga menawarkan pandangan tentang langkah-langkah yang bisa diambil untuk memperkuat mekanisme hukum internasional dalam mencegah dan menghukum kejahatan genosida di masa depan. Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi referensi bagi para pembuat kebijakan, akademisi, dan aktivis hak asasi manusia dalam memahami tantangan yang ada dalam upaya memerangi genosida dan melindungi kelompok minoritas yang rentan di seluruh dunia.
C. LANDASAN TEORI
Landasan teori dalam penelitian tentang kejahatan genosida terhadap etnis Rohingya ini merujuk pada berbagai kerangka hukum internasional yang mengatur tentang pencegahan dan penghukuman genosida, serta menjelaskan konteks sosial dan politik yang melatarbelakangi pelanggaran hak asasi manusia yang dialami oleh etnis Rohingya. Genosida, menurut Dewi dan Najica (2022), merupakan kejahatan yang berusaha untuk menghancurkan secara keseluruhan atau sebagian kelompok tertentu, dan dalam konteks etnis Rohingya, tindakan yang dilakukan oleh pemerintah Myanmar telah memenuhi elemen-elemen genosida yang diatur dalam Konvensi Genosida 1948. Penelitian ini memfokuskan pada analisis terhadap hukum pidana internasional yang relevan, termasuk Statuta Roma yang menetapkan kerangka kerja untuk Mahkamah Pidana Internasional (ICC) dalam mengadili pelaku kejahatan genosida.
Selanjutnya, Iswari (2018) dalam kajiannya menjelaskan bahwa hukum internasional dan hukum Islam memiliki kesamaan dalam prinsip dasar yang menekankan pada perlindungan terhadap kehidupan manusia. Dalam konteks ini, ketidakadilan yang dialami oleh Rohingya menunjukkan tantangan dalam penerapan prinsip-prinsip hukum tersebut, di mana banyak faktor, termasuk kebijakan diskriminatif pemerintah Myanmar dan ketidakmampuan komunitas internasional untuk bertindak secara efektif, berkontribusi pada krisis kemanusiaan yang berkepanjangan. Konsep tanggung jawab untuk melindungi (Responsibility to Protect/R2P) menjadi sangat penting dalam analisis ini, sebagaimana dijelaskan oleh Kaloko et al. (2023). Mereka menekankan bahwa negara-negara lain memiliki kewajiban moral untuk melindungi etnis Rohingya ketika negara asalnya gagal melakukannya.
Lebih lanjut, pemenuhan hak asasi manusia bagi etnis Rohingya menjadi fokus utama dalam literatur ini. Mangku (2021) menyatakan bahwa perlindungan hak asasi manusia merupakan tanggung jawab yang tidak hanya dimiliki oleh negara asal tetapi juga oleh komunitas internasional. Pelanggaran yang terjadi di Myanmar menunjukkan betapa pentingnya mekanisme perlindungan hak asasi manusia yang kuat, baik di tingkat nasional maupun internasional, agar tragedi serupa tidak terulang. Prasetyo (2020) menguraikan lebih jauh mengenai pentingnya pendidikan dan penyuluhan hukum tentang genosida agar masyarakat internasional lebih sadar dan peka terhadap pelanggaran yang terjadi.
Rahmi dan Rahmiati (2022) menambahkan bahwa hukum internasional perlu diperkuat untuk memastikan pertanggungjawaban terhadap pelaku kejahatan genosida. Mereka menggarisbawahi pentingnya kerja sama internasional dalam penegakan hukum, di mana negara-negara harus bersatu untuk mengatasi krisis kemanusiaan yang mengancam stabilitas regional dan global. Renanda et al. (2022) menekankan perlunya mekanisme hukum yang lebih efektif dan inklusif untuk melindungi kaum Rohingya, di mana hak-hak mereka harus diakui dan dipenuhi sesuai dengan norma-norma internasional.
Selanjutnya, penelitian oleh Sirait et al. (2024) menggambarkan peran penting hukum internasional dalam melindungi hak-hak etnis Rohingya. Mereka mencatat bahwa komunitas internasional memiliki tanggung jawab untuk menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pemenuhan hak asasi manusia, dengan menerapkan sanksi terhadap pelanggar dan mendukung proses hukum yang adil. Tutkey (2021) menyoroti peran Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam menangani kasus kejahatan genosida, menjelaskan bagaimana PBB dapat berfungsi sebagai mediator dan pengawas dalam konflik yang melibatkan pelanggaran hak asasi manusia, termasuk dalam konteks Rohingya.
Akhirnya, Yuliartini dan Mangku (2019) menekankan bahwa tindakan genosida terhadap etnis Rohingya memerlukan perhatian khusus dalam hukum pidana internasional, di mana penegakan hukum yang kuat dan kooperatif sangat penting untuk mencegah terulangnya kejahatan serupa di masa depan. Literatur ini menunjukkan bahwa pemahaman yang mendalam tentang kerangka hukum internasional serta faktor-faktor yang mempengaruhi pelanggaran hak asasi manusia di Myanmar sangat penting untuk merumuskan strategi pencegahan dan penegakan hukum yang efektif.
Dengan demikian, landasan teori dalam penelitian ini mengacu pada pemahaman menyeluruh tentang genosida dalam konteks hukum internasional, serta berbagai tantangan yang dihadapi dalam upaya mengatasi dan mencegah pelanggaran hak asasi manusia terhadap etnis Rohingya. Hal ini bertujuan untuk memberikan wawasan yang lebih luas tentang bagaimana mekanisme hukum dapat dioptimalkan untuk melindungi kelompok-kelompok rentan dan memastikan keadilan bagi mereka yang menjadi korban kejahatan kemanusiaan.
D. PEMBAHASAN
Penelitian ini berhasil mengidentifikasi dan menganalisis berbagai aspek terkait kejahatan genosida terhadap etnis Rohingya, dengan fokus pada penerapan hukum internasional dan mekanisme perlindungan hak asasi manusia. Hasil analisis menunjukkan bahwa tindakan yang dilakukan oleh pemerintah Myanmar terhadap etnis Rohingya telah memenuhi elemen-elemen yang diatur dalam Konvensi Genosida 1948. Tindakan tersebut mencakup pembunuhan massal, pengusiran paksa, dan pelanggaran berat terhadap hak-hak dasar lainnya, yang jelas-jelas mengarah pada upaya penghancuran kelompok etnis tersebut. Dalam konteks ini, berbagai laporan dari organisasi internasional seperti Human Rights Watch dan Amnesty International menunjukkan bukti-bukti kuat mengenai pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di Rakhine, termasuk kesaksian dari para pengungsi yang melarikan diri ke negara-negara tetangga seperti Bangladesh.
Dari perspektif hukum pidana internasional, genosida merupakan salah satu kejahatan yang paling serius dan diatur secara ketat oleh hukum internasional. Berdasarkan hasil penelitian, terdapat kesenjangan yang signifikan antara norma-norma hukum internasional yang ada dan implementasinya di lapangan. Sebagai contoh, meskipun Mahkamah Internasional (ICJ) telah mengeluarkan putusan yang mengharuskan Myanmar untuk menghentikan pelanggaran hak asasi manusia terhadap Rohingya dan mengambil langkah-langkah untuk melindungi mereka, pemerintah Myanmar tetap menunjukkan sikap defisit dalam menjalankan perintah tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan hukum internasional sering kali tidak cukup untuk menjamin perlindungan terhadap kelompok minoritas, terutama ketika negara-negara berdaulat tidak bersedia mematuhi norma-norma tersebut.
Pembahasan mengenai peran komunitas internasional juga menjadi penting dalam konteks ini. Hasil analisis menunjukkan bahwa meskipun ada upaya dari berbagai negara dan organisasi internasional untuk menanggapi krisis Rohingya, langkah-langkah tersebut sering kali tidak sebanding dengan tingkat keparahan situasi. Misalnya, sanksi yang dikenakan terhadap individu-individu tertentu di Myanmar tidak cukup memberikan dampak signifikan terhadap kebijakan pemerintah. Di sisi lain, bantuan kemanusiaan yang diberikan kepada pengungsi Rohingya di Bangladesh sering kali terhalang oleh kendala birokrasi dan politik, yang menghambat upaya untuk memberikan bantuan yang diperlukan secara efektif. Ini menunjukkan bahwa meskipun ada kesadaran global tentang krisis ini, respon yang diberikan sering kali tidak cukup untuk mengatasi akar permasalahan.
Salah satu temuan penting dari penelitian ini adalah peran aktif masyarakat sipil dan organisasi non-pemerintah dalam mendukung etnis Rohingya. Laporan-laporan yang disusun oleh organisasi-organisasi ini sering kali memberikan gambaran yang lebih jelas dan mendalam tentang realitas yang dihadapi oleh Rohingya, dibandingkan dengan laporan resmi dari pemerintah atau badan internasional. Masyarakat sipil tidak hanya berperan dalam mengadvokasi hak-hak Rohingya tetapi juga berusaha untuk meningkatkan kesadaran global mengenai isu ini melalui kampanye media dan kolaborasi dengan aktor internasional. Dengan mengandalkan jaringan global, organisasi-organisasi ini berupaya menekan pemerintah Myanmar dan memobilisasi dukungan internasional untuk tindakan yang lebih tegas.
Dalam konteks hak asasi manusia, pemenuhan hak-hak Rohingya tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah Myanmar, tetapi juga tanggung jawab komunitas internasional. Banyak penelitian, termasuk yang dilakukan oleh Renanda et al. (2022), menekankan perlunya mekanisme yang lebih efektif untuk melindungi kelompok minoritas di seluruh dunia. Konsep tanggung jawab untuk melindungi (R2P) menjadi kunci dalam analisis ini, di mana negara-negara anggota PBB memiliki kewajiban moral untuk mengambil tindakan ketika suatu negara gagal melindungi warganya dari kejahatan berat seperti genosida. Namun, tantangan yang dihadapi dalam penerapan R2P sering kali berkaitan dengan pertimbangan politik dan kepentingan nasional, yang mengakibatkan ketidakmampuan masyarakat internasional untuk bertindak dengan tegas.
Selanjutnya, penelitian ini juga mencatat bahwa terdapat perbedaan signifikan dalam persepsi dan pemahaman tentang genosida di berbagai belahan dunia. Dalam konteks Indonesia, misalnya, terdapat kesadaran yang meningkat mengenai perlunya solidaritas dan dukungan terhadap etnis Rohingya. Namun, masih ada sejumlah tantangan yang harus diatasi, seperti sikap skeptis terhadap intervensi asing dalam urusan negara lain dan potensi dampak negatif terhadap hubungan diplomatik dengan Myanmar. Hal ini menciptakan dilema bagi pemerintah Indonesia dalam menentukan posisi dan kebijakan yang akan diambil terkait krisis ini.
Aspek hukum internasional lainnya yang perlu dicatat adalah implementasi hukum yang masih lemah dalam penanganan kasus-kasus genosida. Mahkamah Pidana Internasional (ICC) memiliki yurisdiksi untuk mengadili pelaku kejahatan genosida, tetapi banyak negara yang tidak memberikan dukungan penuh terhadap lembaga ini. Akibatnya, banyak pelaku yang tidak mendapatkan pertanggungjawaban atas tindakan mereka, sementara korban tetap menghadapi ketidakadilan. Dalam hal ini, Prasetyo (2020) mencatat pentingnya penegakan hukum yang efektif dan inklusif, di mana semua pihak, termasuk negara-negara yang berkomitmen untuk melindungi hak asasi manusia, harus bersatu dalam melawan kejahatan genosida.
Hasil analisis ini juga menyoroti perlunya pendekatan holistik dalam menangani krisis Rohingya. Keterlibatan banyak pemangku kepentingan, baik dari pemerintah, organisasi internasional, dan masyarakat sipil, sangat penting untuk menciptakan solusi yang berkelanjutan dan efektif. Kerja sama internasional dalam hal ini menjadi kunci untuk memperkuat mekanisme perlindungan dan penegakan hukum yang ada. Selain itu, pendidikan dan penyuluhan tentang hak asasi manusia dan genosida perlu ditingkatkan agar masyarakat global lebih sadar dan peka terhadap isu-isu ini.
Pembahasan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa kejahatan genosida terhadap etnis Rohingya adalah isu yang kompleks dan multidimensional, yang memerlukan perhatian dari berbagai aspek hukum, sosial, dan politik. Meskipun ada norma-norma hukum internasional yang mengatur tentang genosida, implementasinya di lapangan sering kali terhambat oleh berbagai faktor, termasuk kebijakan diskriminatif pemerintah, ketidakmampuan komunitas internasional untuk bertindak, dan tantangan yang dihadapi oleh masyarakat sipil. Oleh karena itu, diperlukan upaya kolaboratif dari seluruh pemangku kepentingan untuk memastikan perlindungan yang efektif terhadap hak asasi manusia, serta menegakkan keadilan bagi para korban kejahatan genosida di masa depan.
E. KESIMPULAN
Penelitian ini mengungkapkan kompleksitas dan urgensi masalah kejahatan genosida terhadap etnis Rohingya dalam perspektif hukum internasional. Tindakan yang dilakukan oleh pemerintah Myanmar terhadap Rohingya telah memenuhi kriteria genosida sesuai dengan Konvensi Genosida 1948, mencakup pembunuhan massal, pengusiran paksa, serta pelanggaran hak asasi manusia yang serius. Meskipun ada norma-norma hukum internasional yang dirancang untuk mencegah dan menghukum kejahatan tersebut, implementasinya sering kali terhambat oleh kebijakan negara dan dinamika politik internasional yang kompleks.
Komunitas internasional, meskipun menyadari situasi ini, sering kali beroperasi dalam kerangka politik yang tidak memadai untuk memberikan respons yang tepat dan efektif. Sanksi yang diberlakukan terhadap pelaku pelanggaran tidak cukup memberikan dampak signifikan, sementara bantuan kemanusiaan sering kali terhalang oleh birokrasi dan ketidakpastian politik. Peran masyarakat sipil dan organisasi non-pemerintah sangat vital dalam mendukung etnis Rohingya dan meningkatkan kesadaran global tentang isu ini, tetapi tantangan yang dihadapi dalam upaya advokasi menunjukkan bahwa mekanisme perlindungan yang ada perlu diperkuat.
Penelitian ini menekankan perlunya pendekatan yang lebih holistik dan inklusif dalam menangani kejahatan genosida, yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan, termasuk negara, organisasi internasional, dan masyarakat sipil. Tanggung jawab untuk melindungi (R2P) harus dijadikan pedoman dalam tindakan komunitas internasional, sehingga negara-negara yang tidak mampu melindungi warganya dari pelanggaran berat dapat mendapat dukungan dan intervensi yang diperlukan.
Secara keseluruhan, untuk mencegah terulangnya tragedi serupa di masa depan, diperlukan upaya kolaboratif dan komprehensif dari seluruh pemangku kepentingan untuk memastikan perlindungan hak asasi manusia yang efektif, penegakan hukum yang tegas, dan keadilan bagi para korban kejahatan genosida. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan yang berguna bagi pengembangan kebijakan, advokasi, dan penelitian lebih lanjut mengenai perlindungan hak asasi manusia di tingkat global.
F. DAFTAR PUSTAKA
Dewi, J. S., & Najica, F. U. (2022). KEJAHATAN GENOSIDA MYANMAR TERHADAP ETNIS ROHINGYA DITINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM PIDANA INTERNASIONAL. Borneo Law Review, 6(1), 42-61.
Iswari, F. F. (2018). Tindak Kejahatan Genosida Prespektif Hukum Internasional Dan Hukum Islam (Analisis Terhadap Kasus Etnis Rohingya Di Rakhine Myanmar).
Kaloko, I. F., Prasetiawan, E., & Utari, M. S. (2023). Implementasi Hukum Internasional Terhadap Kejahatan Genosida Pada Etnis Rohingya. Jurnal Cahaya Mandalika ISSN 2721-4796 (online), 4(3), 763-774.
Mangku, D. G. S. (2021). Pemenuhan Hak Asasi Manusia kepada Etnis Rohingya di Myanmar. Perspektif Hukum, 1-15.
Prasetyo, M. H. (2020). Kejahatan Genosida Dalam Perspektif Hukum Pidana Internasional. Gema Keadilan, 7(3), 115-138.
Rahmi, E. M., & Rahmiati, R. (2022). Kejahatan Genosida Dalam Kasus Rohingya Myanmar Dalam Perspektif Hukum Internasional. Journal Of Law And Government Science, 8(1), 1-9.
Renanda, V. S., Natasyafira, D., Kusuma, A. J., Reviska, Z. D., & Winarti, M. P. (2022). Perlindungan Hukum Terhadap Kaum Rohingya Dalam Perspektif Ham Dan Hukum Internasional. SIBATIK JOURNAL: Jurnal Ilmiah Bidang Sosial, Ekonomi, Budaya, Teknologi, dan Pendidikan, 2(1), 143-152.
Sirait, A. S., Waruwu, A. R. K., Tarigan, W. W., Sembiring, G. M. R., Surbakti, O. P., Silistiawati, I., & Tanjung, I. U. (2024). Peran Hukum Internasional Dalam Etnis Rohingya. JURNAL HUKUM, POLITIK DAN ILMU SOSIAL, 3(2), 191-200.
Tutkey, S. P. (2021). Peran Perserikatan Bangsa-bangsa Dalam Penanganan Kasus Kejahatan Genosida Menurut Hukum Internasional. Lex Administratum, 9(6).
Yuliartini, N. P. R., & Mangku, D. G. S. (2019). Tindakan Genosida terhadap Etnis Rohingya dalamPerspektif Hukum Pidana Internasiona. Cakrawala Hukum: Majalah Ilmiah Fakultas Hukum Universitas Wijayakusuma, 21(1), 38-46.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H