Saya ingat sekali buku pertama yang diberikan kepada saya adalah buku tentang mengenal jam. Buku anak-anak yang sempat populer dengan gambar sebuah jam yang lengkap dengan jarum jamnya dan bisa diputar-putar. Buku itu dibelikan oleh bibi saya sebagai hadiah pertama kali saya masuk Taman Kanak-Kanak. Sayangnya buku itu hilang ketika kepindahan kami ke rumah baru saat saya masuk sekolah dasar. Namun itu tidak membuat saya berhenti menyukai buku sebab semenjak perkenalan saya dengan buku itu, saya tidak pernah lupa merengek ke Ibu saya untuk membeli saya buku meskipun saat itu saya masih tertatih-tatih membaca.
Ibu saya mengatakan bahwa sifat suka membaca saya merupakan warisan gen dari Atuk (Kakek) saya, orang tua dari Ibu saya. Atuk saya, H.Djamil Hasyim adalah seorang mubaligh Muhammadiyah di Langsa sekaligus merangkap sebagai Imam Tentara di Kowilhan Sumatera Utara (Sekarang Kodam I Bukit Barisan). Profesinya sebagai seorang mubaligh menuntut dirinya untuk menjadi seorang kutu buku secara alami. Ibu saya bercerita pada masa-masa sulit saat awal 60an saat harga kebutuhan pokok sangat menjulang, Atuk tidak pernah sekalipun lupa membeli buku maupun majalah. Walaupun seorang mubaligh, beliau netral dalam bahan bacaan. Tidak seperti mubaligh pada umumnya yang hanya membatasi pada buku agama saja, beliau juga memiliki koleksi mulai dari buku-buku keagamaan hingga politik, budaya maupun roman. Bahkan beliau juga memiliki buku-buku karangan para tokoh-tokoh sosialis maupun liberalis, sesuatu yang tabu dibaca oleh para mubaligh-mubaligh pada masa itu. Beliau juga tidak pernah membatasi bahan bacaan untuk anak-anaknya. Mereka membebaskan Ibu saya dan saudara-saudaranya yang lain untuk membaca buku apa saja. Makanya tak heran, di sebalik buku-buku Fiqih yang dimiliki Atuk saya terdapat novel-novel roman Barbara Cartland ataupun novel seri Ko Ping Ho.
Kecintaan beliau pada buku menurun kepada dua anaknya, yaitu Ibu saya dan Bibi saya yang tertua. Dan pada generasi cucunya menurun pada saya dan kakak sepupu saya. Warisan buku Atuk yang sangat banyak dan kini tersimpan rapi di perpustakaan pribadinya selalu menjadi bahan diskusi bagi kami. Bagi saudara-saudara saya yang lain, buku-buku itu kurang menarik sebab selain sudah kuning bahkan kecoklatan. Bahasanya juga masih menggunakan ejaan lama. Hal itu yang menyeleksi sebagian cucu-cucu dan anak-anak Atuk untuk menunjukkan kepedulian pada warisan berharga ini hanya terbatas pada diri saya, kakak sepupu, Ibu dan bibi tertua. Atuk kami memang tidak mewariskan harta yang cukup banyak pada anak-anaknya tapi dia mewarisi berbagai macam buku langka yang tak ternilai harganya.
Pernah sekali saya terkejut saat berinteraksi di sebuah forum online karena pembahasan tentang sebuah buku berjudul Sovjet Rusia Seperti jang Saja Lihat karangan Adam Malik. Pembahasan dalam forum tersebut sedemikian serunya sebab para netter menganggap ini adalah sebuah buku yang jujur tentang Uni Soviet di masanya. Tentunya saya juga ikut nimbrung sebab saya sudah membaca buku itu hingga 3 kali. Beruntungnya, ternyata buku ini sudah tidak dicetak lagi.  Sehingga para netter yang ada di forum tersebut iri dengan saya karena mempunyai buku itu. saya merasa bangga dengan kata-kata para netter tersebut. Ternyata saya secara ta langsung turut menjaga dokumentasi sejarah bangsa ini. Ternyata warisan yang dianggap semak di rumah Atuk saya merupakan sebuah emas yang tak ternilai harganya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H