"Gong Xi Fa Cai, bagi angpao-nya ci'", sapa seorang wanita paruh baya saat kaki melangkah memasuki Pertokoan Gloria, Glodok. Mungkin karena hari ini (23/01/12) bertepatan dengan Tahun Baru Imlek maka beberapa orang yang saya temui di kawasan Glodok menyapa dengan sebutan Cici, padahal dari segi tampang jauh banget. Perut yang mulai merajuk karena belum diisi dari pagi membuat kami memilih duduk di Kedai Amoy. Hmmm, wangi khas hio masih menempel di baju setelah berkeliling keluar masuk kelenteng dan gereja di sekitar Petak Sembilan, Pancoran Jakarta Barat selama hampir tiga jam saja. Tidak ada persiapan khusus untuk berkunjung hari ini, kesepakatan pun baru diputuskan menjelang pagi untuk mengantar seorang kawan yang hendak melihat dari dekat suasana imlek di vihara/kelenteng. Kami memulai dari Klenteng Kim Tek Ie atau dikenal dengan Vihara Dharma Bhakti yang terletak di Jl Kemenangan III No 19, Petak Sembilan, Glodok. Konon kata Glodok diambil dari bunyi air pancuran "grojok-grojok" yang dialirkan dari waduk penampungan air kali Ciliwung. Pasca pembantaian terhadap etnis Cina pada tahun 1740, kawasan ini menjadi tempat bermukimnya orang-orang Cina di luar Benteng Batavia. Dharma Bhakti adalah vihara tertua dan terbesar di Jakarta serta yang paling ramai dikunjungi pada hari besar keagamaan dibandingkan dengan vihara/klenteng lainnya di sekitar Petak Sembilan. Antrian umat yang melakukan ritual agamanya berbaur dengan pengunjung yang ingin melihat dari dekat prosesi sembahyang yang dilakukan di klenteng. Panas yang disebabkan penuhnya pengunjung ditambah panas dari lilin-lilin yang dibakar serta asap hio yang memenuhi ruangan membuat satu per satu pengunjung yang tak terbiasa undur karena mata perih dan kepanasan. Suasana di luar juga cukup ramai dengan antrian warga tak mampu yang berkumpul sedari pagi menanti pembagian rejeki dari pengunjung. [caption id="attachment_165728" align="aligncenter" width="526" caption="Dominasi merah pada perayaan Tahun Baru Imlek di Dharma Bhakti (dok. koleksi pribadi)"][/caption] Menghindar dari keramaian kami keluar dari Dharma Bhakti menyusuri Kemenangan III, minta ijin ke pak satpam untuk masuk ke pelataran Gereja Katolik St Maria De Fatima yang berada di kompleks Sekolah Yayasan Ricci. Sepasang singa yang terbuat dari batu berdiri di depan gedung yang dulunya adalah rumah seorang pedagang Cina kaya raya. Inilah bangunan gereja tertua di Jakarta yang juga pernah menjadi klenteng sebelum digunakan sebagai gereja pada 1954. Ternyata belum jodoh untuk melihat bagian dalam bangunan gereja bergaya Tionghoa ini karena sayup-sayup terdengar umat memuji dengan bahasa Hokkian dalam misa Tahun Baru Imlek. Salah satu bukti bahwa imlek tidak berhubungan dengan ritual agama tertentu. Dan memang kalau dilihat dari sejarahnya, perayaan imlek awalnya dilakukan oleh para petani di Tiongkok dengan menaikkan puji syukur kepada dewa-dewa dan leluhur setelah panen raya serta untuk mengawali musim tanam. Seiring perkembangan jaman, warga keturunan Tionghoa di seluruh belahan bumi pun merayakan Tahun Baru Imlek dengan cara yang beragam. Ada yang bersembayang di klenteng, misa di gereja atau pun sekedar berkumpul dan makan bersama keluarga besar. [caption id="attachment_165724" align="aligncenter" width="550" caption="Pintu St Maria De Fatima, Glodok (dok. koleksi pribadi)"]
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI