Mohon tunggu...
Olive Bendon
Olive Bendon Mohon Tunggu... Administrasi - Travel Blogger

Travel blogger yang senang menceritakan perjalanannya (dan kawan berjalannya) yang berkaitan dengan sejarah, gastronomi, medical tourism, kesehatan mental lewat tulisan. Memiliki hobi fotografi, menonton teater, dan membaca buku. Ikuti juga jejaknya di OBENDON.COM

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Pasar Baru, Sepenggal Catatan Sejarah Negeri yang Sering Terlewatkan

27 September 2012   16:02 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:35 3147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Pasar Baru, ... pada waktu saja masih ketjil sampai dewasa adalah sepi sekali. Belum ada kaki lima (trottoir). Di muka toko - toko terdapat pohon-pohon asam yang rindang meneduhi djalan. Belum ada rumah bertingkat." Itulah penggalan kenangan yang ditulis oleh Tio Tek Hong, seorang pengusaha terkenal dari daerah Pasar Baru, Jakarta dalam bukunya yang diterbitkan pada 1959, Riwajat Hidup Saja dan Keadaan di Djakarta dari Tahun 1882 sampai Sekarang.

Sisa kejayaan masa lalu yang masih kokoh berdiri hingga hari ini, bisa kita nikmati bila bertandang ke kawasan Pasar Baru. Beberapa diantaranya Kantor Pos Filateli, Stadschouwburg (sekarang dikenal sebagai Gedung Kesenian Jakarta), Ursulint Zuster School (Santa Ursula), Gedung Antara, Toko Kompak dan lain-lain. Tak cukup waktu sehari untuk menyurusi daerah Pasar Baru yang cukup luas, apalagi bila ingin keluar masuk gedung yang ada. Mari kita persempit dengan menikmati kawasan di sekitar pertokoan Pasar Baru sembari mengembangkan imajinasi ke masa lampau.

[caption id="attachment_214979" align="aligncenter" width="486" caption="Salah satu mesin tik tua koleksi Galeri Foto Jurnalistik Antara (dok. koleksi pribadi)"][/caption] Saya tak pernah lupa dengan Sin Lie Seng, toko sepatu yang saya datangi sepuluh tahun lalu ketika mencari sepatu murah dengan kualitas terjamin dan tahan lama untuk dikenakan setiap hari. Toko yang berdiri sejak 1941 ini, sampai sekarang masih ramai dan sering direkomendasikan bagi mereka yang mencari alas kaki.

Pasar Baru adalah surga belanja bagi mereka yang mencari kain untuk bahan busana, sepatu, peralatan olah raga atau sekedar memuaskan mata dan mecoba membandingan harga dari satu toko ke toko lainnya sebelum mengambil keputusan untuk berbelanja dimana. Pernahkah terbersit dalam dalam benak anda untuk menikmati Pasar Baru tak sekedar keluar masuk toko yang menawarkan aneka diskon, menenteng tas belanja yang penuh lalu mencari makan saat perut lapar?

Memasuki pusat pertokoan Pasar Baru, pengunjung akan disambut oleh sebuah gerbang tinggi bergaya Cina dengan tulisan besar di atasnya Passer Baroe, 1820. Pasar Baru adalah sebuah pasar yang terbentuk dengan sendirinya sebagai pelengkap perniagaan di Weltevreden (sekarang daerah Gambir - Pasar Baru - Senen), kawasan elit Batavia yang mulai berkembang pada abad ke-19. Ketika terjadi penumpasan etnis Tionghoa di Batavia yang dikenal sebagai Peristiwa 1740, etnis Tionghoa "diisolir" di luar benteng Batavia. Pemerintah Hindia Belanda memberlakukan jam malam; etnis Tionghoa tidak boleh tinggal dan hanya diijinkan berada di dalam kota Batavia pada siang hari. Mereka inilah yang kemudian datang berdagang di Pasar Baru, membentuk komunitas, menjadi pengusaha sukses dan mengendalikan perniagaan di sana.

Satu Sabtu pagi berenam kami ngariung menikmati sajian teh dan kopi panas ditemani aneka camilan berupa keripik balado dari Padang, rempeyek kacang serta jajanan dari Monami di Galeri Foto Jurnalistik Antara (GFJA). GJFA menempati sebuah gedung lama yang masih terawat di jejeran gedung sebelah kiri gerbang masuk Pasar Baru, bekas kantor berita Belanda yang pernah berjaya pada awal abad ke-20; ANETA (Algeemen Nieros en Telegraaf Agentschap). Dari tempat inilah teks Proklamasi dikumandangkan oleh Adam Malik hingga ke seantero negeri pada 17 Agustus 1945. Sebuah tempat yang nyaman untuk bersantai sambil menikmati potongan sejarah berdirinya kantor berita Antara di lantai dua atau memuaskan mata menikmati pameran foto di lantai bawah gedung dengan interior art deco ini.

[caption id="attachment_214981" align="aligncenter" width="486" caption="Altar Sai Ba Ba di Klenteng Sin Tek Bio, Pasar Baru, Jakarta Pusat (dok. koleksi pribadi)"]

1348759888623593786
1348759888623593786
[/caption]

Saat matahari tepat di ubun-ubun, kami melangkah ke Gang Kelinci untuk menikmati santap siang di Bakmi Gang Kelinci yang tersohor sejak 1957. Semangkok Bakmi Pangsit menjadi pilihan saya untuk memuaskan lidah yang telah bertahun-tahun tak bertandang ke sini. Bagi penggemar daging merah, ada tempat yang lebih menggoda untuk menyantap bakmi. Masuklah ke gang kecil di samping Bakmi Gang Kelici dan anda akan menemukan kedai Bakmi A Boen di ujungnya, atau ke kedai Bakmi Ayam Soen Yoe di Gang Kelinci III.

[caption id="attachment_214984" align="aligncenter" width="550" caption="Bakmi Ayam dengan topping daging merah nan menggoda di kedai Soen Yoe, Pasar Baru (dok. koleksi pribadi)"]

1348760757665373382
1348760757665373382
[/caption] Usai bersantap langkah diarahkan ke Sin Tek Bio, salah satu kelenteng tua di Jakarta yang berdiri sejak 1698. Menurut catatan sejarahnya, kelenteng ini kemungkinan dibangun oleh para petani Tionghoa yang tinggal di sekitar kebun Cornelis Chastelein (sekarang Lapangan Banteng) untuk menjalankan ibadah dan kebudayaannya. Pada awal berdirinya kelenteng ini bernama Het Kong Sie Huis Tek dengan pintu utama menghadap ke Jl Belakang Belakang Kongsi. Pada 1812, pintunya berpindah ke bagian belakang dan namanya pun diganti menjadi Sin Tek Bio. Pada 12 Mei 1982, kembali terjadi perubahan nama menjadi Vihara Dharma Jaya. Nah, di bekas pintu utama itulah kita bisa menemukan kedai Bakmi A Boen. Jika dahulu kelenteng kecil ini berada di tengah-tengah hutan perkebunan, maka saat ini posisinya terdesak di dalam gang kecil dihimpit gedung tinggi yang menjulang di tengah Pasar Baru.

Setelah puas mengitari Sin Tek Bio, kami kembali ke pertokoan Pasar Baru dan duduk menikmati ruangan berpendingin di Restoran Tropik sembari menyegarkan tenggorokan dengan es krim jadul. Resto ini telah berdiri semenjak 1979, menempati bangunan yang dulunya rumah toko milik Tio Tek Hong seorang pengusaha dari Pasar Baru yang mempopulerkan sistem harga banderol/harga pasti dan pandai mempromosikan dagangan di tokonya dengan memasang iklan di koran Bintang Betawi. Salah satu contoh iklannya berbunyi seperti ini: "Zoner Binatu Lagi! Servet dari kertas (h)alus berkembang, lebih bagusdan pantas dari(pada) memakai servet biasa, yang membikin pusing mesti dicuci lagi sehabisnya dipakai. Tetapi servet ini kalau sudah dipakai satu kali boleh dibuang, sebab harganya ada lebih murah dari ongkos cuci."

Tak jauh dari Tropik, ada sebuah bangunan tua yang masih bertahan dalam bentuk aslinya yang bergaya campuran Cina dan Eropa. Jika tidak diperhatikan dengan seksama ruko ini mungkin saja lepas dari pandangan. Toko Kompak, nama yang terpampang di atas pintu ruko yang menempati bekas rumah Majoor Tjina pada masa itu. Toko yang sering dikunjungi oleh Gubernur Jenderal Belanda pada saat perayaan imlek untuk melihat pertunjukan barongsai, bahkan pada 1908 dianugerahi penghargaan. Dua medali penghargaan dari Gubernur Jenderal itu sampai hari ini masih menempel di atas pintu masuk ruko.

[caption id="attachment_214986" align="aligncenter" width="486" caption="Es krim Green Tea pilihan yang sesuai untuk lidahku di Restoran Tropik, Pasar Baru (dok. koleksi pribadi)"]

13487612041899245759
13487612041899245759
[/caption] [caption id="attachment_214987" align="aligncenter" width="486" caption="Toko Kompak dengan medali di atas pintunya (dok. koleksi pribadi)"]
13487614351789484145
13487614351789484145
[/caption] Selepas senja, kami berpisah di depan GFJA tanpa menjinjing tas belanja namun masing-masing pulang membawa sekeranjang kepuasan dan kenangan indah di dalam hati. Hari ini telah menyusuri sejengkal pusat perbelanjaan abad 19, yang sekarang telah menjadi kawasan wisata belanja dan sejarah Jakarta, Pasar Baru. Salam wisata sejarah budaya! [oli3ve]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun