Matahari perlahan condong ke barat saat Laguna Redang yang kami tumpangi meninggalkan dermaga Pulau Redang. Raut penuh semangat terpancar dari muka peserta Terengganu International Squid Jigging Festival (TISJF) 2015. Mereka tak menghiraukan gejolak air laut yang mulai menunjukkan kegelisahannya. Yang mencoba menarik perhatian lewat goncangan yang disisakannya ketika riaknya menghempas badan kapal, namun tak cukup untuk mengalihkan semangat para pecandat sotong. Hari ini, sebagian dari mereka untuk pertama kalinya; ingin merasakan sorak para nelayan kala sotong-sotong tersangkut di ujung kail.
Sepuluh menit melaju dari dermaga, semua peserta harus berpindah ke perahu motor nelayan sesuai dengan kelompok. Masing-masing kelompok terdiri atas 10 (sepuluh) peserta ditambah dengan seorang guard yang bertugas sebagai kepala regu dan 2 (dua) awak perahu. Saya menempati Boat 05 bersama Touzeau-Tosi (Perancis), Steven Howard (Hongkong), Sara Rodriguez (Spanyol) dan 6 (enam) orang peserta dari Malaysia Surendran, Dhevindra, Mawardi, Mohd Soleh, M. Asyraf dan Tengku Ibrahim. Goyangan laut mulai mengganggu. Hempasan gelombang yang meninggi memaksa seisi perahu mencari posisi yang nyaman untuk bersandar agar tak terhempas. Satu jam perjalanan ke tengah-tengah samudera, sauh pun dibuang. Dari kapal pemandu, terompet dibunyikan penanda dimulainya festival candat sotong 2015.
Squid jigging atau dalam bahasa setempat lazim disebut mencandat sotong adalah aktifitas memancing sotong (= cumi-cumi) yang dilakukan oleh para nelayan di Terengganu pada saat bulan purnama. Maret hingga Juli dikenal sebagai musim panen sotong yang banyak muncul ke permukaan karena daya tarik cahaya purnama sehingga mudah untuk dipancing. Cukup dengan menggunakan alat pancing sederhana, mata kail yang berbentuk roket mini ujungnya berwarna-warni dan dihiasi dengan bulu ayam. Mata kail lalu diikatkan pada tali senar yang panjang dan dililitkan pada gulungan plastik berbentuk seperti donat. Saat memancing, mata kail dibuang hingga menyentuh dasar laut. Untuk menarik perhatian sotong, talinya ditarik-ulur perlahan-lahan seperti bermain layangan. Jika terasa berat, angkat perlahan untuk melihat hasil yang didapat.
Hempasan gelombang dari perairan Cina Selatan tanpa ampun menggoyang perahu dengan hebat tanpa henti pada putaran pertama Rabu (03/06/2015) di perairan Redang, berhasil membuat hampir semua peserta di setiap perahu mabok laut. Saya mencoba bertahan. Namun begitu melihat Dhevindra limbung; kepala saya pun turut berputar disertai perut bergejolak mendorong isi lambung ditumpahkan ke laut. Sisa waktu untuk memancing, saya habiskan dengan tertidur lemas beralas papan di lambung perahu. Malam itu, kami kembali ke darat dengan gontai tanpa membawa seekor pun sotong.
Putaran kedua, dilakukan pada Sabtu (06/06/2015) di perairan Kapas. Mengingat pengalaman pertama, sebagian peserta diliputi ragu untuk melaut. Kali ini saya bergabung bersama Rachel (Malaysia), Raymond (Kanada), Hakim (Brunei) dan Mas Eka (Indonesia) di Boat 08. Meski awalnya enggan melaut, pengalaman mencandat sotong untuk keempat kalinya; menyadarkan diri akan makna dari kesabaran. Memancing terlihat sangat mudah dilakukan tapi ternyata diperlukan latihan kesabaran untuk menghalau bosan saat menunggu mata kail dihampiri oleh sotong.
Terengganu berada di pesisir timur Malaysia, dengan ibukota Kuala Terengganu yang menghadap langsung ke Laut Cina Selatan. Kuala Terengganu dapat dicapai dengan berkendara 6 (enam) jam dari Kuala Lumpur atau penerbangan 45 menit dari KLIA ke bandar udara Sultan Mahmud. Saleum [oli3ve].
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H