Mohon tunggu...
Olive Bendon
Olive Bendon Mohon Tunggu... Administrasi - Travel Blogger

Travel blogger yang senang menceritakan perjalanannya (dan kawan berjalannya) yang berkaitan dengan sejarah, gastronomi, medical tourism, kesehatan mental lewat tulisan. Memiliki hobi fotografi, menonton teater, dan membaca buku. Ikuti juga jejaknya di OBENDON.COM

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Menghirup Aroma Aceh di Kota Opa Francis Light

4 Januari 2014   01:48 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:11 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

George Town, salah satu destinasi impian yang telah lama diidam-idamkan untuk dikunjungi. Bersyukur di penghujung 2013 lalu, kaki akhirnya dijejakkan di kota yang didirikan oleh Opa Francis Light pada 11 Agustus 1786 ini. Tak salah bila George Town yang dipaketkan dengan Malaka mendapat pengakuan UNESCO pada 7 Juli 2008 sebagai World Heritage City. Bagi pecinta sejarah, arsitektur, kuliner, seni dan budaya; George Town adalah surga.

[caption id="attachment_313394" align="aligncenter" width="486" caption="Welcome to Penang, melintasi Penang Bridge menuju George Town (dok. koleksi pribadi)"][/caption] [caption id="attachment_313396" align="aligncenter" width="486" caption="Tugu untuk mengenang para korban semasa perang termasuk pada masa konfrontasi Indonesia - Malaysia (1963-1966) (dok. koleksi pribadi)"]

1388773671480021370
1388773671480021370
[/caption] [caption id="attachment_313397" align="aligncenter" width="486" caption="Wisatawan berbaur dengan warga menikmati senja di taman Kota Padang Lama, George Town (dok. koleksi pribadi)"]
1388773762113177044
1388773762113177044
[/caption]

Hasrat awal bila menjejak di George Town adalah sesegera mungkin menjumpai Opa Francis. Sayangnya di hari kedatangan, kaki ini baru menjejak di Kota Padang Lama 30 menit jelang gerbang Fort Cornwallis ditutup.Jadilah senja itu hanya bisa menikmati dinding benteng dari kejauhan sembari berpusing-pusing sejenak di kawasan German Heritage Trail yang dipenuhi warga.

Hari kedua di Penang hasrat diperteguh untuk menemukan Jalan Aceh. Sejak melangkah dari Eastin tak henti berharap punya kesempatan untuk melongok kawasan yang menyimpan banyak jejak Aceh itu. Hati pun girang tak terkatakan ketika siang itu kami kembali ke George Town untuk makan siang. Begitu turun dari bis, pandangan terbentur pada penanda jalan yang terpancang di depan pintu Armenian Street Heritage Hotel, LEBUH ACHEH. Oooohhhh maaaaaak! Apalah maksud semua ini?

[caption id="attachment_313400" align="aligncenter" width="486" caption="Lebuh Acheh, salah satu jalan yang telah ada semenjak kota ini dibuka (dok. koleksi pribadi)"]

13887738301368700447
13887738301368700447
[/caption] [caption id="attachment_313401" align="aligncenter" width="486" caption="Syed Alatas Mansion di Lebuh Armenian, George Town (dok. koleksi pribadi)"]
13887739121455692271
13887739121455692271
[/caption]

Kami menyeberang ke arah Jl Armenian menuju Jawi Cafe untuk makan siang. Di persimpangan Jl Armenian dan Jl Aceh, kembali mata ini terpikat pada sebuah bangunan di pojok kiri jalan. Ketika ditengok secara seksama pada penanda yang terpampang di gerbang, terbaca tulisan bahwa rumah tersebut adalah rumah seorang bangsawan Islam pada awal abad 19, Syed Mohd Alatas seorang warga Aceh keturunan Arab; Ketua Masyarakat Masjid Aceh semasa meletusnya kekacauan di Penang pada 1876. Rumah ini sekarang difungsikan sebagai Muzium Islam Pulau Pinang.

[caption id="attachment_313402" align="aligncenter" width="486" caption="Jelang senja, para pedagang loakan seperti ini akan ramai menggelar dagangannya di sekitar Lebuh Armenian (dok. koleksi pribadi)"]

13887740081828068176
13887740081828068176
[/caption] [caption id="attachment_313403" align="aligncenter" width="486" caption="Menara Komtar, gedung tertinggi di Penang dipandang dari kamar 601 Armenian Heritage Hotel, George Town (dok. koleksi pribadi)"]
1388774089640898586
1388774089640898586
[/caption]

Hari terakhir di Penang, hanya punya waktu 30 menit untuk menemui Opa Francis. Saat yang lain pergi menikmati es cendol di Kota Padang Lama, kaki ini melangkah ke dalam gerbang Fort Cornwallis ditemani Edgar dan Gael, duo blogger kondang dari Filipina. Dari gerbang kami berpencar, langkah ini terus mengikuti hasratnya menyusuri Cornwallis.

Di puncak Fort Cornwallis sekejap pejamkan mata,  kuhirup aroma garam yang dihembuskan angin dari Selat Malaka. Ooooh maaaaaak, aroma yang sama yang penuhi rongga dada ketika berdiri di utara benteng IBU baru saja melesak ke dalam paru-paru kala teriakan dan lambaian dari luar benteng menghentak alam sadar, “Olyviaaaaaaaaa!”

[caption id="attachment_313405" align="aligncenter" width="486" caption="Sri Rambai, saksi bisu sejarah Aceh masih setia memandang ke Selat Malaka (dok. koleksi pribadi)"]

1388774159223776904
1388774159223776904
[/caption]

Aaaarrgggghhhh, 30 menit berlari bagai 30 detik! Belumlah puas langkah ini menyusuri ujung-ujung benteng dan menghitung jejak-jejak yang tertinggal di sana. Belumlah tuntas rindu ini tersampaikan. Masih ada sisa waktu 1 menit sebelum berlari ke bis. Kuhampiri Sri Rambai, lembut kuusap tulisan Arab Melayu yang terpatri di punggungnya sembari membisikkan rindu dari Nanggroe,”hei Rambai, takkah kau rindu pada bumi Keumala?”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun