Setelah Menyelami Hati Cut Nyak Dien lewat potongan dua babak Monolog Cut Nyak Dien di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki pada minggu kedua Januari lalu; rasa penasaran untuk menikmati energi yang dipancarkan oleh Perempuan Berhati Baja secara utuh selalu menggelitik. Rindu yang akhirnya terpenuhi pada Rabu (30/09/2015) lalu.
Ada yang berbeda dalam pementasan kemarin, bukan karena tuturan yang tak terputus, pula tata panggung dan pencahayaan yang dimainkan dengan baik membuat pergantian babak lembut dan tegas. Sempat hadir sorotan cahaya berlangsung sepersekian detik tidak pada tempatnya, namun hal itu mungkin hanya bisa dirasakan oleh mata dan hati yang tak berkedip, melekat pada sosok di atas panggung.
Cerita dari kampung halaman dan masa muda Cut Nyak Dien, pertemuannya dengan Teuku Ibrahim di usianya yang belia, kehilangan yang mengoyak rasa, semangat yang dibangkitkan ketika berjumpa dengan Teuku Umar, perjuangan untuk menyatukan semangat melepaskan tanah tercinta dari cengkeraman bangsa kulit putih; dituturkan dengan runut disertai permainan emosi yang menghanyutkan rasa.
[caption caption="Penampilan Sha Ine Febriyanti dalam Monolog Cut Nyak Dien"][/caption]
Hati siapa yang tak teriris ketika melihat rumah ibadah dibakar? Jantung siapa yang tak berdarah melihat orang terkasih, penopang dan penyemangat asa korbankan jiwa, kembali kaku ke pangkuan? Jiwa siapa yang tak hancur, koyak, menatap semua yang dicinta luluh lantak?
Keterpurukan tak bisa dibiarkan merongrong nurani. Kehilangan memang menyakitkan, namun asa harus tetap dibakar untuk melanjutkan perjuangan demi negeri yang dicinta. Perempuan itu meraung, tersulut semangatnya, mengangkat rencong kembali mantapkan langkah, bergerilya menyatukan pasukan yang tersisa untuk negerinya.
Hutan Aceh yang rapat-rapat, jilatan api yang menyambar-nyambar menghabiskan masjid yang dibakar oleh khape-khape penjajah, keterasingan di tatar Sumedang, matahari dan wangi tanah yang bangkitkan rindu Cut Nyak Dien pada Nanggroe; ditampilkan lewat siluet yang ditembakkan dari proyektor pada sebuah layar di belakang panggung serta pesan lirih lewat suara cello yang mendayu; menenggelamkan jiwa yang diajak menyelami pergantian emosi dalam setiap babak yang dimainkan.
Pang Laooooooooot! Pang Laooooooot!
Suara parau itu berteriak lantang. Tangan yang tak lagi kokoh karena digerogoti penyakit tua meraba rencong yang selalu disematkan di pinggang, mencabut dan mengacung-acungkannya ke udara sembari meneriakkan nama Pang Laot yang telah berkhianat dan menyerahkannya pada tangan penjajah.
[caption caption="Babak yang bergairah"]
Meski mata senja mulai redup dan tenaganya perlahan susut, perempuan yang tak pernah kehilangan semangat itu terus merenda sejuta kerinduan pada tanah kelahirannya, melipatnya dengan rapi dalam hati hingga helaan napas terakhirnya, ia tak pernah lagi menapak tanah negerinya.