Suatu hari saat mencuci mata di toko buku langganan, sebuah buku di tumpukan rak buku baru menggoda perhatian saya. Sampulnya masih rapi tersegel dengan plastik belum ada satu pun yang dibuka. Hmmmm … karena teramat sangat penasaran, saya cek satu per satu untuk menemukan buku dengan plastik yang sudah tersibak sedikit. Sreeeeet! Dalam sekejap plastik bagian atas pun menganga sehingga bukunya bisa ditarik keluar *saya ngebayanginnya kayak melepas baju gitu hehehe*
Kenapa buku ini begitu menggoda sehingga saya perlu merobek pembungkusnya?
- Pertama, entah sejak kapan saya tergila-gila dengan sesuatu yang berbau Afrika. Kemungkinan besar dimulai sewaktu saya masih di bangku SD tak pernah absen duduk di depan tivi yang menyiarkan Dunia dalam Berita dengan gambar Pdt Desmond Tutu atau Nelson Mandela di dalamnya.
- Kedua, tahun 2009 saya menghabiskan sekotak tissue membaca buku Left to Tell, Mengampuni yang Tak Terampuni biografiImmaculée Ilibagiza seorang survivor dari Rwandan Genocide. Lalu Hotel Rwanda dan Sometimes in April film tentang peristiwa genosida tersebut menjadi santapan yang tak terlewatkan.
- Ketiga, saya ngiri melihat foto perjalanan kakak sepupu saya yang dipamerin sepulang dari perjalanan dinas di Afrika Selatan dengan latar indah seperti Cape of Good Hope dan Table Mountain. Ohhhhh, pengeeeeen!
- Terakhir, buku di tangan saya berjudul Serdadu Afrika di Hindia Belanda 1831-1945 karya Inneke van Kessel.
[caption id="attachment_188452" align="aligncenter" width="550" caption="Serdadu Afrika di Hindia Belanda 1831-1945 yang menggoda (dok.koleksi pribadi/Olive Bendon)"][/caption] Lalu apa hubungannya Indonesia, Afrika dan Belanda?
Duluuuu, sekitar tahun 1831 – 1872 Belanda mendatangkan 3,085 pria dari Afrika Barat untuk diangkat menjadi prajurit militer atau tentara KNIL (Koninklijk Nederlands Indisch Leger) di Hindia Belanda. Mereka dibekali pendidikan militer di Jawa sebelum disebar mengikuti perang ke Sumatera, Borneo (sekarang Kalimantan), Celebes (sekarang Sulawesi), Bali, Timor dan Aceh. Status para prajurit asal Afrika ini sama dengan prajurit Eropa. Para serdadu Afrika ini hidup di tangsi, menikah dengan wanita pribumi dan memiliki anak keturunan Indo-Afrika.
Awal abad 19, para veteran dari generasi pertama banyak yg mengalami homesick dan ingin kembali ke kampung halamannya. Dikarenakan generasi yang lebih muda sudah merasa lebih nyaman di Hindia Belanda, mereka banyak yang memilih untuk tinggal dan beranak pinak. Dimanakah mereka? Pernah saya melihat sepintas acara ethnic runaway di salah satu stasiun swasta yang menampilkan penduduk keturunan Afrika di daerah Sulawesi Selatan. Sayangnya informasi tentang mereka kurang banyak tersaji, saya malah menemukan tentang Gang Afrika dan kerkhoff di Purworejo, Jawa Tengah. Lalu ketika secara iseng saya juga mencari informasi yang terkait dengan KNIL, saya malah diarahkan ke satu tulisan tentang Museum Bronbeek di Arnhem, Belanda. Wawwwww, ternyata ini adalah museum militer yang juga menyimpan cerita sejarah KNIL di Indonesia.
[caption id="attachment_188458" align="aligncenter" width="550" caption="Foto keluarga salah satu keturunan Indo Afrika pada th 1930 di depan rumah mereka di Purworejo, Jawa Tengah (dok. koleksi pribadi/Olive Bendon)"]
*update dengan menambahkan beberapa foto dari buku Serdadu Afrika di Hindia Belanda*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H