Menjelang sore, ruangan semakin dingin membuat perut ikut menggeliat meminta perhatian. Di tengah tumpukan pekerjaan, pikiran ikut melayang-layang membayangkan penganan khas dari kampung halaman membuat lidah pun turut merindukan rasa.
Memori saya terbang ke masa kecil di kampung nun jauh di kaki bukit, teringat kenangan saat antri membeli jajanan untuk mengganjal perut sebelum berangkat ke sekolah. Dari kecil hingga di bangku SMA bahkan sampai hari ini ada satu menu sarapan khas yang tak pernah berubah : bubur putih. Buat pemanis, biasanya kami siram dengan susu kerbau panas, irisan gula merah atau kecap manis; tergantung selera. Tapi bukan bubur yang menghantui alam pikiran saya sore ini, karena bulan lalu di rumah sakit saya puas sarapan selama 4 (empat) hari berturut-turut dengan menu bubur pakai kuah gula aren. Masih ada penganan lain sebagai variasi sarapan masa kecil: aneka roti dari roti tawar hingga roti manis fresh from the oven buatan adik saya, bakpao bikinan si mbak, pisang goreng, ubi rebus/goreng, bubur quacker (hanya tersedia sebagai permintaan spesial saat saya sakit) dan buroncong!
Nah, yang terakhir disebut ini yang lagi pengen banget diicip-icip. Duluuuuu, di dekat rumah ada penjual buroncong yang terkenal di kota kecil kami. Setiap pagi yang beli antri, jadi kalau mau makan buroncong mesti bangun pk 5 pagi agar masih kebagian dan tidak telat berangkat ke sekolah. Meski ada beberapa pesaing bisnis yang mencoba berjualan buroncong, tak ada yang bertahan lama karena rasanya berbeda. Saya sendiri punya dua penjual buroncong favorit, yang satu dekat rumah dan satu lagi berjulaan siang hari di pasar.
[caption id="attachment_195792" align="aligncenter" width="620" caption="Penjual buroncong (sumber gambar : http://www.tempo.co)"][/caption]
Buroncong apa sih? Buroncong adalah penganan khas Makassar yang terbuat dari campuran tepung terigu, santan dan parutan kelapa muda, gula pasir, garam sertasoda kue. Dibuat dengan menggunakan cetakan buroncong (serupa cetakan kue rangi Betawi, tapi ukurannya lebih besar) dan dibakar menggunakan tungku kayu. Karena sering kehabisan, maka kami pun merengek minta dibelikan cetakan buroncong sehingga bisa bikin sendiri di rumah. Kebetulan setiap bulan di rumah selalu tersedia stok tepung terigu 25kg, jadi tinggal membeli kelapa untuk pelengkap adonan. Jadilah hampir setiap sore kami berlomba membuat buroncong, belajar seni mengeluarkan dan mengangkat buroncong yang sudah matang dengan menggunakan gancu.
Iseng-iseng saya bertanya pada om Gugel dan menemukan berita Festival Kue Buroncong Pecahkan Rekor MURI di Makassar bulan Mei 2012 lalu. Wahhh, pasti seru ya kegiatannya. Terakhir waktu mudik 2 (dua) tahun lalu, saya lihat masih ada yang berjualan buroncong dengan gerobak di terminal bis. Jadi pengen beneran deh makan buroncong ditemani segelas teh manis panas. Hmmmm ...selamat berkhayal. [oli3ve]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H