Selangor bertumbuh dan berkembang pesat semasa Sultan Abdul Samad menjadi Sultan Selangor. Selama 41 tahun kepemimpinannya (1857 – 1898), ada banyak kebijakan politik, hukum, ekonomi, diterapkan. Pada masanya pula perang sipil Selangor pecah, Kuala Lumpur berdiri dan Frank Swettenham diterima menjadi Residen Jenderal Federasi Melayu yang punya andil dalam menata kota-kota di Malaysia yang jejaknya bisa dinikmati hingga hari ini. Potongan-potongan perjalanan masa dari berdiri hingga keberadaan Negeri Selangor saat ini, saya jumpai di dalam ruang-ruang Museum Sultan Alam Shah, Shah Alam, Selangor, Malaysia pada Kamis pagi (01/12/2016) lalu.
Selangor tercatat sebagai negeri terkaya dari 13 negera bagian yang ada di Malaysia. Ia sedari dulu terkenal dengan timah yang dihasilkan dari tempat-tempat penambangan di Lukut, Klang, Ampang, hingga Muar di Johor. Hasil kebunnya berupa teh hitam yang tersohor dari kebun-kebun tehnya yang tersebar hingga ke Pahang, juga kelapa sawit serta getah karetnya yang lebih unggul dari Indonesia dan Thailand. Kuala Lumpur yang dahulu ibu kota Selangor sebelum ditetapkan sebagai ibu kota negara dan menjadi kota terbesar di Malaysia pun berada di wilayah Selangor.
Ada rasa yang kurang ketika mengunjungi satu negeri tanpa mengenali jejak sejarah dan menikmati khazanah budayanya. Sehingga menjadi hambar pula bila jauh-jauh mengayun langkah namun tak mendapatkan informasi akurat dari jejak yang ditelusuri dari sumber terpercaya. Itu sebab, museum menjadi pilihan awal menjejak saat mengikuti kegiatan Rentak Selangor, Nafas Nadi Bumi Kami pada 1 – 4 Desember 2016 lalu.
Dari Museum Sultan Alam Shah, kami beranjak ke Homestay Banghuris di Sepang. Banghuris merupakan perpaduan dari 3 (tiga) nama kampung: Kampung Bukit Bangkong, Kampung Hulu Chuchuh, dan Kampung Hulu Huris. Tiga kampung yang dibina sebagai destinasi agrowisata dengan kearifan lokal yang terus dipertahankan. Warga kampung ini sebagian besar keturunan Jawa, bahkan beberapa tetuanya masih sangat fasih bertutur dalam bahasa Jawa halus, tutur Hj. Basir Wagiman salah seorang tetua kampung yang saya temui di sela rehat makan siang. Cempuling, paduan alat musik berupa rebana ibu, rebana gong, rebana kempul, rebana kempreng, enteng-enteng dan rebana anak, serta dikolaborasikan dengan keyboard, gitar, dan akordeon yang dimainkan oleh warga Banghuris menjadikan santap siang bernuansa Jawa, Sunda, India, dan Mandarin.
Selain budaya Jawa dan Bugis, kami beruntung bisa menikmati atraksi 9 (sembilan) pemain perkusi dari Chinna Rasa Urumee Melum Masana Kali yang menabuh perkusi khas Tamil Nadu. Bunyi-bunyian yang dihasilkan merupakan ritual pemujaan dewa dan pemanggilan roh yang dilakukan di hadapan Dewa Murugan yang berdiri di depan Batu Caves.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H