Kemarin sore, selesai meeting dengan bos mendadak ada kehebohan karena dapat jatah buku gratis. Kalau tiap bulan ada yang mau bagi buku enak juga ya, lumayan jatah beli buku bisa dialihkan ke pos yang lain. Sebenarnya tiap awal bulan saya sempatkan untuk menebus buku yang sudah diincar sebelumnya di toko buku langganan untuk menambah bahan bacaan. Jatahnya minimal satu buku sebulan, tergantung tebal tipis dan berat tidaknya isi buku karena hal ini akan berdampak pada niat serta proses membaca. Tapi kalau lagi kalap terlebih bila terdengar rayuan pulau kelapa belanja dengan kartu ini dapat diskon sekian, maka buku yang dibawa pulang bisa buat bantal ;). Dengan dapat satu buku gratis bulan ini, jadinya gak beli buku donk karena akhir bulan lalu sudah belanja buku.
Jujur buku ini belum masuk dalam daftar antrian belanja, tapi karena ada yang memberi masa ditolak? Sebuah buku otobiografi yang sekarang lagi heboh karena ghost writer-nya angkat bicara dan menuntut karena namanya tidak tercantum di buku tersebut. Setahu saya, ghost writer bekerja di belakang layar dan banyak dikaryakan oleh penulis kondang karena kejar target ataupun orang-orang top yang tak memiliki banyak waktu untuk menuliskan otobiografi mereka tapi kredit penulisnya diberikan kepada orang lain. Setelah membaca buku Chairul Tanjung, Si Anak Singkong, ternyata nama ghost writer-nya disebut sebagai sahabat dalam bersepeda penyusun yang telah membantu mentranskrip sebagian hasil wawancara. Jadi, memang nama ghost writer tak akan tercantum sebagai penulis di buku itu. Karena saya tak banyak paham tentang ghost writer, maka tulisan ini bukan untuk meramaikan kasak-kusuk tersebut tapi akan mencoba mengulas isi buku tanpa melihat siapa penulisnya.
[caption id="attachment_200001" align="aligncenter" width="450" caption="Buku otobiografi Chairul Tanjung, Si Anak Singkong (dok. koleksi pribadi)"][/caption] Penampilan buku ini, sama seperti otobiografi pada umumnya memamerkan gambar setengah badan Chairul Tanjung (selanjutnya akan ditulis CT), tebal buku 382 halaman, didominasi warna kecoklatan, menggunakan bahan kertas yang ringan, tulisannya besar-besar jadi kalau dibaca di bis masih terlihat dengan jelas dan dilengkapi dengan gambar berwarna. Kemarin sore karena penasaran iseng membuka sampulnya di meja kerja dan dilahap sampai bab 14 saja!! Andai tak ada laporan yang ditunggu bos, mungkin sudah kelar satu buku hahaha. Cara penulisan dan tata bahasa yang digunakan cukup ringan sehingga sehingga dengan menggunakan teknik skimming dan scanning, memanfaatkan libur pemilukada bukunya tuntas dalam sekejap.
CT lahir sebagai anak kedua dari enam orang bersaudara, ayahnya Abdul Gafar Tanjung berdarah Batak dan ibunya Halimah, seorang Sunda. Usaha percetakan ayahnya dibredel oleh Soeharto karena berbeda paham dengan pemerintah. Hal ini berdampak pada perekonomian keluarga, sumber penghasilan ditutup, ayahnya bangkrut! Setelah menjual semua aset termasuk rumah, mereka sekeluarga menyewa satu kamar di sebuah losmen. Tak kuat dengan beban sewa kamar, keluarga mereka akhirnya pindah ke kawasan kumuh Jakarta, Gang Abu, Batutulis, Kecamatan Gambir. Di tengah keterbatasan ekonomi keluarga yang terpuruk, orang tua CT tetap mengedepankan pendidikan bagi anak-anaknya. Sejak di bangku SMP, CT mulai aktif berorganisasi dari kegiatan pramuka, olahraga, teater bahkan punya grup ngamen yang diberi nama Proletar. Dalam satu kepanitiaan study tour ke luar kota, CT dipercaya menjadi koordinator transportasi. Setelah semua urusan bus beres, CT melepas keberangkatan rombongan kawan-kawannya dengan hati perih. Upah sang ayah dari mengelola perusahan bus hanya Rp 5,000 sedang biaya study tour Rp 15,000.
Bermodalkan hasil penjualan kain halus ibunya seharga Rp 75,000, selepas SMA CT melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi. Universitas negeri dipilihnya untuk menghindari biaya pendidikan yang tinggi dan diterima di fakultas Kedokteran Gigi,Universitas Indonesia. Dari segi biaya pendidikan murah tapi dari biaya peralatan yang digunakan untuk praktek tetap saja mahal. Untuk menyiasatinya, CT melakukan berbagai usaha dan tidak mau bergantung pada orang tuanya. Dari bisnis fotokopi diktat kuliah yang membuahkan hasil, dia merambah ke bisnis jual beli peralatan dokter gigi, jual beli mobil bekas hingga mendirikan perusahaan pada 1987. Sebagai penghargaan dan terima kasih kepada gurunya, alumni SMA Boedi Oetomo ini pernah mengumpulkan semua guru yang dulu mengajarnya semasa SMA di Gedung Menara Bank Mega, Jakarta. Bahkan ada satu guru yang dengan susah payah dibujuk hingga dijemput ke Medan agar mau datang ke reuni karena merasa tak punya masalah dengan bank dan tidak mengenal siapa CT.
Meski dua kali ditawari SBY untuk masuk jajaran pemerintahan, namun CT selalu menampiknya dengan halus. Menurutnya, cukuplah almarhum bapaknya saja yang begitu idealis memperjuangkan ideologi hingga dihentikan secara struktural di era Soeharto karena berseberangan pemikiran. Saya menempuh jalur perjuangan yang lain, menciptakan lapangan kerja untuk sesama. Membuktikan bahwa anak bangsa dari keluarga sederhana, dengan tekad yang kuat dan dengan latar belakang tidak relevan, bisa membuahkan keberhasilan.
Bagi pria berperawakan tinggi besar ini, ibu adalah segalanya dan istri adalah pilar rumah tangga. CT meminang adik kelasnya dari FKG-UI, Anita Ratnasari dan menikah pada 1994. Delapan belas tahun mengarungi bahtera rumah tangga, mereka dikaruniai dua anak Putri Indahsari dan Rahmat Dwiputra.
[caption id="attachment_199999" align="aligncenter" width="369" caption="Ibu adalah segalanya bagi CT (sumber gambar : www.foto.detik.com)"]
Dengan mengutip sebuah petuah yang acap kali dikumandangkan oleh CT kepada para sahabat dari masa SMP setiap kali mereka bertemu, secara pribadi saya berpendapat buku ini benar-benar menginspirasi siapa saja yang ingin meraih sukses lewat ketekunan dan usaha keras.
Kalau kalian mau menggunakan badan saya supaya kalian maju, silakan. Kalau pun mau menginjak kepala saya sebagai tolakan kalian untuk lebih maju, saya ikhlaskan, Tapikalau sudahkalian injak, tapi malah tidak jadi apa-apa, saya pasti akan marah besar. Selagi saya masih bisa makan, tidaklah mungkin kalian kelaparan. Kecuali untuk makan sendiri saja saya sudah kesulitan, silakan urus diri masing-masing.- [Chairul Tanjung, si Anak Singkong, hal 80]
Pemuda kampung warga Gang Abu yang dulu punya kegemaran berlama-lama membaca koran di WC Umum di pojok kampung kumuh kawasan Batutulis, Gambir, Jakarta Pusat ini; kini tak lagi hidup di kawasan paling kumuh Jakarta. Bila kejujuran sudah tertanam pada diri seseorang, maka dengan sendirinya semua akan berjalan tanpa perintah bahkan tidak perlu ada pengawasan berlebih. Dari tiada menjadi ada, CT yang dulu tak dipandang sebelah mata; kini seorang pengusaha nasional di bidang keuangan, properti, perkebunan dan media di bawah payung Chairul Tanjung Corpora (CT Corp). Satu ambisinya yang belum terealisasi dan sedang dilirik adalah maskapai penerbangan.[oli3ve]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H