Lebih sepuluh tahun yang lalu saya mulai mengenal Sapardi Djoko Damono yang akrab dengan sebutan SDD lewat untaian puisi sederhana yang dilayangkan oleh si jantung pisang. Puisi yang kerap dicopas calon pasangan pengantin di undangan pernikahan tanpa menyebut siapa penulisnya. Puisi yang sudah dicopas tapi tetap penulisan dan kata-katanya sudah diganti, bahkan nama penulisnya dicantumkan nama orang lain. Entah karena ketidaktahuan pemesan undangan ataukah percetakan yang terpaku pada template yang sudah ada tanpa mau melakukan sedikit koreksi. Puisi yang seringkali disebut sebagai buah karya Khalil Gibran, yang mungkin juga sudah sering anda dengar atau baca.
[caption id="attachment_193742" align="aligncenter" width="450" caption="Sapardi Djoko Damono (dok. koleksi pribadi/Olive Bendon)"][/caption]
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu
kepada api yang menjadikannya abu
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan
kepada hujan yang menjadikannya tiada
(Aku Ingin, Sapardi Djoko Damono)
Adalah AGS Arya Dipayana yang menggubah Aku Ingin menjadi sebuah musikalisasi puisi yang ditembangkan oleh Ari Malibu dan Reda Gaudiamo. Salah satu cara mengenalkan puisi kepada khalayak yang membuat banyak orang tergila-gila. Saya pun termasuk satu diantara segelintir penggemar kala itu yang diajak kawan berlari ke belakang panggung seusai Malam Puisi Cinta di GMBB Taman Ismail Marzuki, 14 Pebruari 2008 silam. Berdebar-debar bisa bertemu langsung sang idola serta meminta tanda tangan SDD dan AriReda.
Di usia senja, SDD terus berkarya. Kemarin sore Sabtu (9/6) SDD meluncurkan buku barunya Sutradara itu Menghapus Dialog Kita serta dua novel seri trilogi Sukram: Pengarang Belum Mati dan Pengarang Tak Pernah Mati di Salihara, Jakarta.
"... beberapa bulan belakangan ini saya banyak mengalami kehilangan, kehilangan yang saya maksudkan bukan kehilangan yang biasa tapi kehilangan banyak gigi.."
Grrrrrrrrrr, sapa SDD disambut derai tawa penggemar yang memenuhi ruang Galeri Salihara, Jakarta. SDD yang seharusnya tampil membacakan puisi barunya malah menawari untuk berbagi cerita dibalik penulisan Namaku Sita tersebut. Tampil membacakan Namaku Sita secara ansambel Kinanti Munggareni, Aga Dymussaga, Sunu Wasono, Acapella Bianglala Voices dan ditutup oleh Sitok Srengenge.
Namaku Sita, galur artinya:
celah panjang di sawah
yang sedang dibajak -
perempuan maknanya.
Namaku Sinta, galur artinya,
lahir dari celah tanah basah
(Namaku Sita, hal 3)
Sita dalam cerita Rama Sita diliputi mitos sebagai perempuan yang lemah lembut, setia, selalu siap berbakti dengan segenap jiwa raganya kepada suami tercinta namun tak pernah disinggung keinginan dan pendirian kepribadiannya. Sita digambarkan oleh SDD sebagai putri pertama dari Sang Dasamuka Rahwana yang merasa terpenjara di istana Rama, Ayodhya. Sosok Sita yang ditafsirkan oleh SDD dalam Namaku Sita berada diluar pakem wayang, maka celotehan dan protes rakyat yang menjadi pentonton terhadap ki dalang pun kerap terdengar sepanjang puisi.
Sitanama saya, tiap hari naik motor
agar tidak telat sampai kantor.
Tak tahu dimana suami saya -
mungkin ia tidak ingin bebas
dari jeruji aksara di Buku Purba
mencoba menyalakan api yang sia-sia.
(Namaku Sita, hal 55)
Sebuah penafsiran yang berbeda dari seorang SDD tentang Sita, dari cerita wayang ditutup dengan kisah masa kini.[oli3ve]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H