Sabtu malam (7/5) berkesempatan menikmati drama musikal yang dipentaskan oleh Ikatan Abang None Jakarta “Sangkala 9/10” di Teater Jakarta Taman Ismail Marzuki. Ceritanya diangkat dari kisah pembantaian besar-besaran etnis Tionghoa yang terjadi di Batavia pada 9 Oktober 1740. Dikisahkan pada masa itu VOC hendak mengurangi populasi orang Tionghoa yang semakin banyak, menguasai perniagaan serta dituduh sebagai dalang pemberontak pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Adrian Valckenier. Untuk melancarkan misinya, Belanda mengajak kerjasama masyarakat Betawi dan membahas rencana tersebut di acara jamuan makan siang di Stadhuis yang dihadiri perwakilan Betawi Bang Madi pemimpin perguruan silat dari Bidaracina, Dewan Hindia Baron van Imhoff dan beberapa undangan lainnya.
Dengan politik devide et impera-nya Belanda berusaha mempengaruhi orang Betawi untuk membantu VOC memerangi warga Cina. Di lain pihak, Bang Madi dan anggotanya tidak mau percaya begitu saja dengan hasutan Valckenier yang menjelek-jelekkan etnis Tionghoa. Sekembali dari pertemuan mereka malah menyaksikan sendiri bagaimana kelakuan Rebeck dan serdadu Belanda memeras uang dari warga Cina. VOC membuat peraturan yang mempersulit pengurusan ijin tinggal dan ijin usaha serta menarik pungli dari pengurusan ijin tersebut. Warga yang tidak memiliki ijin tinggal dan tidak memiliki pekerjaan diangkut dan dibuang ke Afrika.
Said bin Madi, yang berada di pasar bersama pemuda Bidaracina tidak tahan melihat perlakuan serdadu Belanda terhadap warga Cina menjaminkan dirinya agar Rebeck memberikan kelonggaran waktu kepada Nie Lin Ting untuk mengurus ijin usahanya. Di pasar Said berkenalan dengan Nie Lie Hay (Lily) putri Nie Lin Ting, dan memohon ijin kepada ayahnya untuk belajar kung fu di perguruan Hong Jian sekaligus mengantarkan Kosim berobat. Walau keberatan Bang Madi merelakan kepergian anak tunggalnya yang ingin membuktikan sendiri bahwa tuduhan Valckenier terhadap etnis Tionghoa tidak benar. Said yang telah terpikat hatinya pada Lily berjanji akan kembali ke Bidaracina dalam satu purnama.
Kehadiran Said dan Kosim disambut baik oleh keluarga perguruan Hong Jian pimpinan Nie Lee Kong dan mereka pun tinggal bersama di balik tembok Batavia. Setelah lewat satu purnama, Said mengutus Kosim ditemani Nie Tsa Pha untuk menemui ayahnya di Bidaracina. Dia sangat khawatir Belanda akan mencari ayahnya dan membunuh warga Bidaracina jika ketahuan bersekutu dengan etnis Tionghoa. Belanda yang telah mencium persekutuan warga Betawi dengan Tionghoa menangkap Bang Madi beserta anak buahnya dan membawanya ke Stadhuis untuk dihukum gantung. Sementara di perguruan Hong Jian, Said juga menghadapi sidang di hadapan anggota perguruan karena dituduh sebagai mata-mata Belanda. Di saat genting Nie Tsa Pha kembali ke perguruan bersama Kosim membawa berita tentang penangkapan Bang Madi yang akhirnya menjelaskan bahwa warga Betawi bukanlah sekutu Belanda tetapi kawan seperjuangan.
Pembantaian di sekitar tembok Batavia tak dapat dielakkan, Belanda membabi buta membunuh sebagian besar etnis Tionghoa. Di akhir pertempuran Belanda meninggalkan Lily dan neneknya Nie Ling Lung meratapi kepergian orang-orang yang mereka cintai di tepi Kali Besar. Mereka berdua akhirnya meninggalkan Batavia dalam ratap pilu kesedihan berperahu untuk mencari kedamaian.
Terlepas dari sisi cerita yang diselipin guyonan ndak penting semisal asal muasal istilah "lebay" atau kualitas suara yang tidak jelas dari pemain saat bernyanyi; backdrop panggung yang cukup simpel dapat menggambarkan kehidupan di balik tembok Batavia maupun di perkampungan Betawi. Perkampungan Hong Jian digambarkan dengan Jembatan Kota Intan dan rumah-rumah Cina di pinggir Kali Besar sementara kampung Betawi diwakilkan dengan pemandangan di pinggir hutan lengkap dengan rumah Betawi, kandang kambing dan sangkar ayamnya. Dari segi lighting, entah karena melihat dari balkon pencahayaan kurang mantap dan pergantian setting panggung terasa lama sehingga panggung terlihat gelap tanpa aktifitas (saya jadi membandingkan dengan setting panggung Sie Jin Kwie yang sangat detail). [caption id="attachment_108306" align="aligncenter" width="550" caption="lukisan pasir sangkala 9/10"][/caption] Beruntunglah semuanya tertutup dengan penampilan lukisan di atas pasir yang membuat suasana terasa sangat hidup terutama pada babak pertempuran di balik tembok kota. Dengan musik latar yang membangkitkan emosi menyaksikan pembantaian hingga mencapai klimaks saat tentara Belanda menentukan pilihan memilih 2 (dua) diantara 4 (empat) orang yang tersisa Said bin Madi, Lily, Nie Lee Kong dan Nai Nai (Nie Ling Lung). Walau hanya muncul di babak awal dan akhir, lukisan di atas pasir Fauzan Ja'far menjadi pelengkap yang menyempurnakan dan menghidupkan pementasan musikal drama Sangkala 9/10. Sukses buat Maudy Koesnaedy yang menjadi produser Sangkala 9/10 dan Ikatan Abnon. Pementasan ini menjadi alternatif hiburan dengan menggali pengetahuan sejarah bangsa untuk memupuk rasa cinta tanah air. [oli3ve]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H