Dulu mungkin banyak dari kita yang hanya mengenal tempat-tempat di Indonesia melalui permainan anak. Seperti saya yang mengenal nama “Berastagi” dan “Danau Toba” dari permainan monopoli. Dalam permainan tersebut kotak Berastagi dan Danau Toba termasuk yang paling mahal, entah apa maksud penciptanya. Mungkin saja karena lokasi-lokasi tersebut memiliki keindahan alam yang elok. Atau mungkin pencipta monopoli nasional adalah orang Batak? Hehehe. Yang jelas, saya setuju kalau dibilang Sumatera Utara memiliki keindahan dan kekayaan alam yang luar biasa.
[caption id="attachment_263193" align="alignnone" width="640" caption="Gunung Sinabung terlihat dari Bukit Gundaling"][/caption]
Sayangnya, kekayaan alam ini pun terancam oleh kerakusan manusia. Danau Toba dengan permasalahan penebangan hutan dan pendangkalan sungai, misalnya. Bukit Lawang dengan makin menghilangnya orangutan. Tangkahan juga bermasalah dengan penebangan hutan liar hingga gajah-gajah diturunkan sebagai patroli hutan. Semuanya mengancam keindahan Sumatera Utara yang layaknya dilestarikan oleh kita semua.
Sejak bekerja di Aceh, Medan bagaikan rumah ke tiga setelah Jogja dan Banda Aceh. Bagaimana tidak, tiap pulang kampung transit di Polonia. Mau tugas ke Jakarta, transitnya di Polonia. Mau tugas ke Nias, menginap dulu di Medan. Tiap 6 minggu, dibayarin kantor buat main-main ke Medan. Tapi Sumatera Utara bukan Medan saja. Beberapa jam perjalanan dari Medan, Anda akan disuguhi indahnya alam, mulai dari danau, pantai pasir putih, sungai dan hutan hijaunya, air terjun, serta gunung-gunung yang tampak megah di kejauhan.
Kali ini saya bersama seorang kawan – sebut saja namanya CM – berniat untuk menjelajah Sumatera Utara selama sekitar 7 hari, tanpa rencana yang pasti. Yang penting, menggunakan alat transportasi yang murah meriah.
Kami tiba di Bandara Polonia menggunakan pesawat terbang. Seperti biasa, bandara ini penuh sesak. Begitu keluar langsung disambut sopir-sopir taksi gelap. Hanya dengan sebuah ransel berukuran 40 lite di pundak masing-masing, kami memutuskan untuk langsung menuju ke Berastagi. Kebetulan, kami berdua sama-sama belum pernah ke sini. Seperti mewujudkan impian masa kecil saat bermain monopoli.
Dengan becak motor, kami tiba di Terminal Pinang Baris. Dari sini ada bus langsung jurusan Berastagi. Tempat ini memang tidak jauh, hanya butuh waktu 2 jam perjalanan. Di sepanjang perjalanan, asal rokok memenuhi kendaraan. Sesuatu yang umum di sini.
Di tengah perjalanan saya berkata kepada CM, “Kayanya ini jalan terpanjang di dunia, dari Medan sampai Berastagi, jalannya Djamin Ginting terus.” Tampaknya memang demikian. Mendekati Berastagi jalan mulai berliku karena mendaki bukit. Dari sini pemandangannya cantik karena Berastagi diapit oleh dua gunung berapi aktif, yaitu Sibayak dan Sinabung.
Lokasi wisata yang biasanya dikunjungi turis adalah Bukit Gundaling, karena dari bukit ini pemandangan Gunung Sibayak dan Sinabung terlihat jelas. Dari sini pula , biasanya para pendaki bersiap untuk naik kedua gunung tersebut.
Kami tidak lama berada di Berastagi, karena tiba-tiba punya ide untuk melakukan detour ke Tongging. Padahal, awalnya hanya hendak menuju ke Danau Toba.
Si bapak pemilik penginapan mengantarkan kami menuju jalan utama untuk menunggu angkot menuju ke Merek. Ternyata angkot ini tidak melanjutkan jalurnya, ia menurunkan semua penumpang yang tersisa di terminal Kabanjahe. Terpaksa dari sana, kami harus mencari-cari lagi angkot lain yang menuju ke Merek. Tongging masih sekitar 25 km lagi dari Kabanjahe.
Seperti khas sopir kendaraan umum di sini, sopir angkot ini ngebut bukan kepalang. Kami sampai terlonjak-lonjak di atas bangku. Sampai di Merek, si sopir bertanya,”Mau ke mana, Kak?”
“Sipiso-piso, Bang!”
“Mau Abang antar sampai ke sana?”
Setelah tawar menawar akhirnya disepakati harga 20 ribu. Lumayan lah, kami tidak perlu mencari angkutan lain. Toh tidak mahal juga. Karena penumpangnya hanya dua orang saja, si sopir makin bersemangat memacu mobilnya. Jalan berlubang pun diterobos tanpa ampun. Saya sampai harus berpegangan erat-erat pada bangku. Rambt panjang CM berkibar-kibar diterpa angin, seperti terkena topan badai. Jalanan menuju Sipiso-piso ini sepi, saya pasti tidak akan berani kalau hanya sendirian saja tanpa teman.
Ternyata perjuangan tidak sia-sia. Pemandangan Air Terjun Sipiso-piso dari gardu pandang luar biasa indah. Sebuah air terjun ramping setinggi 120 meter. Air terjun ini tercipta dari sebuah sungai bawah tanah dan jatuh ke Danau Toba.
[caption id="attachment_263194" align="alignnone" width="640" caption="Indahnya Air Terjun Sipiso-piso"]
Tak puas rasanya kami mengambil gambar. Di sana sini wisatawan domestik juga sibuk berfoto. Sayangnya, di gardu pandang ini, para wisatawan sangat tidak sadar lingkungan. Botol dan gelas plastik bekas air mineral bertebaran di mana-mana, begitu juga dengan kota nasi dan plastik bungkus makanan ringan.
Saya dan CM sempat berdebat apakah hendak bermalam di Tongging, atau langsung ke Parapat hari itu juga. Karena ingin menghabiskan beberapa hari di Pulau Samosir akhirnya kami memutuskan untuk langsung melanjutkan perjalanan lagi. Pinggang pegal pun kami abaikan. Perjalanan ke Danau Toba masih panjang.
Becak motor membawa kami ke persimpangan jalan untuk menunggu angkutan menuju ke Pematang Siantar. Sebuah mobil L-300 yang penuh sesak datang, kami berdesakan masuk. Duduk pun hampir-hampir tidak di atas bangku, pantat hanya menyempil basa basi. Penumpang lain menatap tajam pada ransel besar kami. Bikin sempit saja, mungkin demikian pikir mereka. Di atap mobil, beberapa anak SMP duduk santai. Sebuah praktek berbahaya namun seringkali kami lihat di daerah pedesaan – dampak dari terbatasnya transportasi umum di wilayah rural.
Perjalanan Merek ke Pematang Siantar ditempuh dalam waktu 3 jam, melewati Seribu Dolok, Tiga Runggu, dan Pane Tongah. Perut sudah terkocok-kocok rasanya. Sampai di Pematang Siantar perjalanan belum berakhir. Kami harus mencari angkutan lagi untuk membawa kami ke Parapat – kota kecil di pinggir Danau Toba.
Kami masuk ke sebuah mobil Colt dengan seorang sopir bertampang garang. Setelah di dalam, ternyata kondisi mobilnya terlihat sangat memprihatinkan. Atap mengelupas, kursi pun sudah tidak tampak seperti tempat duduk. Karat terlihat di mana-mana. Bagian luarnya saja yang terlihat bagus.
“Ini kok medeni banget mobilnya,” kata CM berbisik pada saya. Medeni artinya menakutkan dalam Bahasa Jawa.
“Hooh, kaya gini bisa nyampai nggak ke Parapat?” saya balas berbisik.
“Cari mobil lain aja, yuk!” CM buru-buru mengemasi ranselnya.
Kami tidak yakin akan selamat dengan kondisi kendaraan seperti ini, yang tampaknya siap mogok kapan saja. Sopirnya pun terlihat beringas, yang dalam bayangan kami akan menyetir ugal-ugalan mengejar setoran. Padahal waktu sudah sore. Kami bergegas keluar.
“Heh, mau ke mana kalian?” bentak si sopir beringas.
“Ehmm, mau ke toilet dulu, Bang,” jawab CM buru-buru turun.
Kami berjalan cepat-cepat menuju bagian belakang mobil, namun tidak berani naik ke angkutan lain di sekitar situ. Takut masih terlihat oleh si sopir yang kami khianati. Kami berjalan menuju ke arah belakang terminal, menyelinap di antara mobil-mobil hingga akhirnya tiba di tepi jalan di depan terminal. Di sini kami menemukan sebuah angkutan lain yang tampaknya lebih laik jalan.
Jarak antara Pematang Siantar ke Parapat adalah sekitar 48 km. Pemandangan di perjalanan sangat indah, terutama mendekati Danau Toba. Sayang, saat itu hari sudah gelap. Danau yang megah terlihat kelam.
[caption id="attachment_263195" align="alignnone" width="640" caption="Pemandangan Danau Toba bisa dinikmati dari berbagai sudut"]
Danau Toba terbentuk akibat letusan vulkanik puluhan ribu tahun silam. Menurut beberapa sumber, danau ini hampir sama luasnya dengan Singapura. Danau Toba pernah mencapai zaman keemasan sebagai lokasi wisata paling populer di Sumatera Utara.
Saat ini, walaupun Danau Toba masih banyak menarik minat wisatawan, sayangnya wilayah ini mengalami banyak kerusakan lingkungan. Penebangan hutan liar menjadi momok yang membuat sungai-sungai di sekitar danau mengalami pendangkalan. Selain itu, ada juga permasalahan dengan pabrik-pabrik yang berada di kawasan tersebut. Baru-baru ini beberapa tokoh penerima penghargaan lingkungan mengambalikan piagam yang pernah mereka terima karena pemerintah dianggap tidak serius memperbaiki lingkungan di kawasan Toba.
Saya pernah ke Danau Toba sebelumnya dan tahu bahwa kami bisa menyeberang ke Samosir melalui Parapat maupun Ajibata. Karena sudah malam, feri untuk menyeberang pun sudah tidak ada. Akhirnya kami harus berjalan untuk mencari penginapan.
Setelah melihat beberapa penginapan – salah satunya bau kemenyan – akhirnya kami menemukan salah satu yang cukup bersih dengan tarif terjangkau. Penginapan ini tepat berada di tepi danau.
Esoknya kami menyeberang langsung ke Tuktuk, menuju ke sebuah cottage yang sudah saya pesan. Cottage ini milik seorang perempuan Jerman yang menikah dengan orang Batak. Pernikahan campur seperti ini sering saya dengar di banyak lokasi wisata. Mungkin turis-turis asing itu tidak hanya jatuh cinta dengan keindahan alam Indonesia saja, melainkan juga orang Indonesia!
Samosir tidak pernah membosankan. Salah satu spot favorit kami adalah sebuah padang rumput luas di persimpangan jalan menuju ke Ambarita. Dari sini terlihat sebuah air terjun kecil tinggi di kejauhan. Anda penyuka sejarah dan budaya? Di pulau ini ada Desa Batak Simanindo yang wajib dikunjungi. Di Pangururan, ibukota Kabupaten Samosir, ada sebuah pemandian air panas (Aek Rangat) yang juga banyak dikunjungi wisatawan, baik mancanegara maupun domestik. Selain itu, tentu saja pesona Danau Toba yang tak lekang oleh masa.
Dua hari di Tuktuk, kami melanjutkan perjalanan ke Bukit Lawang melalui Medan. Perjalanan menuju Medan kami tempuh dengan bus besar, jauh lebih nyaman daripada mobil-mobil L-300. Dari Medan, kami menumpang bus ke Bukit Lawang, pintu gerbang menuju ke Taman Nasional Gunung Leuser. Akses menuju ke Bukit Lawang saat itu masi cukup buruk dengan jalanan yang rusak. Di kanan kiri terlihat perkebunan kelapa sawit. “Semoga saja perkebunan sawit itu bisa menyejahterakan masyarakat sekitar tanpa merusak lingkungan,” pikir saya.
[caption id="attachment_263196" align="alignleft" width="300" caption="Orangutan liar di Bukit Lawang"]
Bukit Lawang rusak akibat banjir besar pada tahun 2004. Daerah ini memang rawan penebangan hutan liar. Ketika melewati beberapa sungai saya melihat rakit-rakit mengangkut kayu gelondongan, entah legal atau ilegal, saya tidak tahu.
Tujuan utama wisatawan datang kemari adalah melihat orangutan di habitatnya secara langsung. Hanya dengan hiking menembus hutan selama beberapa jam, saya bisa melihat orangutan yang bergelayutan di pohon. Selain, Gunung Leuser, Taman Nasional Tanjung Puting di Kalimantan adalah satu-satunya lokasi lain di mana orangutan masih hidup di alamnya. Satu lagi PR untuk pemerintah dan masyarakat untuk melestarikan hewan asli Indonesia ini.
Bukit Lawang merupakan penutup jelajah Sumatera Utara kami. Sebuah wilayah yang sangat luas, dengan kekayaan alam tak terhingga. Keindahannya pun tidak dapat disangkal. Pariwisata Sumatera Utara akan jauh lebih baik dengan perbaikan infrastruktur terutama transportasi, pelestarian lingkungan, serta pembangunan pariwisata yang berkelanjutan.
Suatu saat saya akan kembali untuk menunjukkan keindahan Tanah Karo pada anak-anak saya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H