Pengantar Redaksi: Ini tulisan ketiga sekaligus yang terakhir dari Islam Times sekaitan kawat diplomat Amerika Serikat yang jatuh ke tangan pengelola website WikiLeaks. Bahannya merujuk pada 3.000 lebih telegram yang bersumber dari Kedutaan Amerika di Jakarta – muncul tanpa sensor pertama kali di WikiLeaks pada awal September dan hingga kini, secara misterius, tak tersentuh oleh hampir semua media di Jakarta. Inilah kisah yang tak ingin didengar kalangan diplomat Amerika dan semua informan mereka. Sebuah cerita tentang tusukan infiltrasi yang sistematis dan perihnya nasib republik yang takluk di kaki Kedutaan Amerika.
Islam Times- PADA 5 September 2011, koran berbahasa Inggris, The Jakarta Globe, menurunkan komentar seorang juru bicara presiden atas bocoran telegram diplomat Amerika di situs WikiLeaks. Pemerintah “tak akan memberi tanggapan apapun”, kata Julian Aldrin Pasha, menyampaikan sikap resmi pemerintah. Katanya: informasi yang tertera di WikiLeaks “jauh dari kredibel” sebab berasal dari “sumber-sumber sekunder”.
Tapi dari pemeriksaan sepekan lebih atas gulungan kawat kontroversial di WikiLeaks, Islam Times mendapati kalau Julian cenderung menutup fakta dan hanya mengungkap apa yang dia ingin publik dengarkan. Dari penelisikan, khususnya atas 3.059 kawat diplomatik yang bersumber dari Kedutaan Amerika di Jakarta, kami justru menemukan kalau porsi terbesar telegram diplomat Amerika datang dari ‘tangan pertama’ – dan sebab itu layak beli dan mendapat perhatian pemerintah, atau begitulah hemat kami. Kami telah mengungkap sebagian kecil isi telegram yang seperti itu dalam dua tulisan sebelumnya. Tapi sejatinya, masih banyak yang tak tersentuh dan hingga detik ini tetap jadi misteri bagi publik, utamanya di tengah kekompakan banyak media untuk menutup mata pada informasi sensitif, kontroversial dan menyangkut hajat hidup dan maruah bangsa di dalamnya. Ini misalnya termasuk sejumlah telegram yang merekam konsesi besar yang diberikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Kedutaan Amerika dan pilihan presiden untuk bermanis-manis dengan Israel – anak bejat Amerika di Timur Tengah yang hingga kini tak diakui keberadaannya oleh Undang-Undang Dasar 1945.
Ambil contoh telegram bertajuk “President's Chief Of Staff Ready To Make Potus Visit To Indonesia A Success”, dikawatkan oleh Duta Besar Amerika saat itu, Cameron R. Hume, pada 10 September 2009, menjelang rencana kunjungan Presiden Amerika Serikat, Barack Obama (yang kemudian batal dan baru terlaksana pada November 2010). Dalam subjudul “Embassy Land”, Hume menulis: “Rajasa mengkonfirmasi kalau Presiden Yudhoyono tak mengharuskan adanya persetujuan parlemen sebelum memberikan restu pada Kedutaan Amerika Serikat untuk membeli MMS3, petak lahan yang diperlukan untuk membangunan sebuah chancery (nampaknya ini istilah untuk gedung arsip, red. Islam Times). Dia menambahkan kalau Menteri Keuangan telah menyetujui pembelian itu, dan bahwa tak ada lagi hambatan bagi terbitnya surat presiden yang memungkinkan transaksi terlaksana.”
Rajasa dalam telegram merujuk pada sosok Hatta Rajasa, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian. Dari pemeriksaan arsip media Jakarta di Internet, kami gagal mendapati jejak kabar adanya transaksi penjualan tanah negara ke pihak Kedutaan Amerika dalam rentang lima tahun terakhir.
Pemeriksaan lanjutan atas empat telegram bermarka SECRET lainnya, menunjukkan kalau Kedutaan Amerika telah meniatkan perluasan bangunan kedutaan sejak akhir 2007. Yang mereka incar adalah dua petak lahan yang, dalam sejumlah telegram, mereka beri kode MMS3 dan MMS4. Satu lahan digambarkan sebagai lahan siap beli dan satunya lagi mereka niatkan kepemilikannya via transaksi tukar guling lahan. Tak ada informasi pasti soal lokasi persis kedua lahan. Tapi sejumlah detil dalam telegram memberi gambaran kalau dua petak tanah itu adalah milik negara dan dalam penguasaan Kementrian Keuangan, kala itu.
Telegram bilang lokasi kedua tanah itu “berdekatan” dengan Kantor Wakil Presiden. Informasi lain dalam telegram bilang kalau di kedua tanah itu, Kedutaan Amerika akan mendirikan gedung baru kedutaan yang “lebih tinggi” dari kantor Wakil Presiden, dengan total dana proyek US$ 300 juta (setara Rp 3 triliun dengan kurs 1US$=Rp 10.000). Kalangan diplomat Amerika juga terekam bilang kalau soal “ketinggian bangunan” dan “keamanan” rancang gedung baru Kedutaan Amerika “sudah selesai”. Mereka telah meminta restu pada Jusuf Kalla (wakil presiden saat itu) dan juga pemerintah kota Jakarta. Mereka juga telah meminta Kalla untuk membantu pengurusan pembelian tanah ke Kementrian Keuangan.
Sementara itu, dalam sebuah telegram lainnya, Duta Besar Amerika, Cameron Hume, terekam menekan Sri Mulyani (Menteri Keuangan saat itu) untuk merespon pertanyaan kedutaan terkait harga MMS3 dan nilai tukar guling MMS4. Hume bilang kalau Sri Mulyani menerima “sudut pandang kedutaan” kalau Undang-Undang Perbendaharaan Negara No. 1 Tahun 2004 “nampaknya memberi pengecualian pada tanah yang digunakan untuk kantor-kantor kedutaan asing”. (Catatan Islam Times: Pasal 45 dan 46 Undang-Undang Perbendaraan Negara memestikan adanya persetujuan DPR/DPRD dalam setiap transaksi “pemindahtanganan barang milik negara/daerah dilakukan dengan cara dijual, dipertukarkan,dihibahkan, atau disertakan sebagai modal Pemerintah”. Kekecualian, seperti disebutkan dalam pasal 46, hanya berlaku pada tanah yang (1) sudah tidak sesuai dengan tata ruang wilayah atau penataan kota; (2) harus dihapuskan karena anggaran untuk bangunan pengganti sudah disediakan dalam dokumen pelaksanaan anggaran; (3) diperuntukkan bagi pegawai negeri; (4) diperuntukkan bagi kepentingan umum; (5) dikuasai negara berdasarkan keputusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap dan/atau berdasarkan ketentuan perundang-undangan, yang jika status kepemilikannya dipertahankan tidak layak secara ekonomis.)
Telegram juga bilang kalau Sri “percaya tak ada hambatan legal untuk tukar guling properti” dengan pihak Kedutaan Amerika.
Di arsip WikiLeaks sejauh ini, tak ada telegram yang memuat informasi seputar detil transaksi, khususnya waktu pelaksanan, nilai transaksi, dan siapa-siapa saja yang terlibat. Tapi bila fakta di lapangan jadi rujukan, transaksi yang digambarkan dalam telegram nampaknya telah terlaksana.
Dalam satu dua tahun terakhir, Islam Times mendapati tanah kosong (bekas markas Polisi Militer) yang bersisian dengan sisi selatan tembok Kedutaan Amerika, telah dipagari dan dipasangi plang bertuliskan bertuliskan: “Tanah Ini Milik Perusahaan Swasta ... .” Meski diklaim sebagai “milik swasta”, sejumlah reporter kami melaporkan kalau petugas keamanan Kedutaan Amerika kerap keluar masuk lahan “milik swasta” itu. Petak tanah itu bersebelahan dengan sebuah petak tanah lain yang tak berpenghuni, bersisian dengan kantor milik PT Telkom. Jika Kedutaan Amerika Serikat benar telah menjadi pemilih sah kedua lahan itu, ini nampaknya sebuah ironi yang lain. Di Stasiun Gondangdia, hanya selemparan batu dari lokasi bakal bangunan baru Kedutaan Amerika, ada ratusan tunawisma yang setiap malam tidur di emper stasiun hanya beralaskan selembar koran.
Tapi soal transaksi penjualan tanah negara itu mungkin belum serapa dibanding kontroversi yang bisa muncul dari telegram yang merekam langkah rahasia Presiden Susilo membangun komunikasi dengan Israel. Dalam telegram berjudul “Indonesia Seeking Higher Profile In Middle East?”, dikawatkan pada 31 Januari 2007 oleh perwira politik kedutaan, Catherine E. Sweet, menulis: “SBY telah mengirim para penasihatnya untuk bertemu dengan pihak-pihak di Lebanon, Palestina dan, secara rahasia, Israel.” Catherine bilang semua itu dilatari keinginan presiden “memainkan peran di Timur Tengah”. Detail dari kisah ini berlimpah dalam tiga paragraf berikut (markas S di awal paragraf merujuk pada kode SECRET, rahasia):
“(S) Di belakang layar SBY sudah dua kali mengirim penasihat khususnya, T.B. Silalahi, ke Israel. Menurut Ilan Ben-Dov, Duta Besar Israel di Singapura, Silalahi bertemu dengan Perdana Menteri Olmert sebelum pengerahan pasukan UNIFIL (Tentara Indonesia masuk dalam formasi pasukan penjaga perdamaian UNIFIL di Lebanon, red. Islam Times). Meski Israel tak berharap bakal ada hubungan diplomati penuh atau kunjungan balasan dari seorang menteri kabinet, Ben-Dov bilang, mereka tertarik untuk membuka sebuah jalur dengan Indonesia dan sementara mencari jalan kemungkinan penyaluran bantuan.
(S) Mengingat sensitivitas politik, SBY menjadikan perjalanan Silalahi sangat tertutup, bahkan bagi kalangan orang-orang pemerintahan. Ben-Dov melaporkan kalau saat dia mengungkap perjalanan Silalahi ke Israel pada juru bicara SBY, Dino Patti Djalal, yang terakhir mengisyaratkan kalau dia tak ingin terlibat, memilih Silalahi yang mengontrol penuh urusan. Sebagai seorang Kristen tanpa ambisi politik, kata Djalal, Silalahi “aman”. Saat pemerintah Israel mendekati Utusan Khusus SBY untuk Timur Tengah, Alwi Shihab, Ben-Dov bilang kalau Silalahi marah, bilang kalau SBY tak ingin Shihab terlibat ... .”
“(S) Pada 26 Januari, Silalahi membriefing kami sekaitan perjalanan keduanya ke Timur Tengah atas nama SBY, kali ini ke Israel dan Lebanon pada akhir November. Sekalipun dia tak secara khusus bercerita banyak seputar kunjungannya ke Israel, dia menyebut pertemuannya dengan Presiden Olmert “produktif”.”
Di paragraf terakhir, telegram mencantumkan “pandangan Silalahi kalau Indonesia tak ingin memainkan peran lebih aktif di Timur Tengah”. Usai berkunjung dan memberikan rekomendasi sekaitan Timur Tengah, kata Silalahi dalam telegram, Presiden SBY bilang Indonesia “masih perlu fokus pada urusan dalam negeri”. Kata Silalahi, pernyataan itu adalah “gaya Jawa SBY untuk bilang kalau dia tak ingin meneruskan urusan ini lebih jauh lagi”.
* * *
Di luar telegram yang bercerita soal rahasia gelap Presiden Susilo, Islam Times juga menelisik hampir 200 telegram bermarka “SECRET”, “SECRET/NOFORN” dan “CLASSIFIED” yang tak terjamah dalam dua tulisan kami sebelumnya. Pemeriksaan membawa kami pada sebuah gambaran besar tentang laku dan kegiatan ‘ekstra kulikuler’ kalangan diplomat Amerika di Jakarta dalam rentang 10 tahun terakhir; sebuah potret otentik yang bisa menuntun orang banyak membaca sendiri siapa kawan dan siapa lawan Kedutaan Amerika di Jakarta, mana kecap yang kerap mereka jual ke publik nasional, mana racun yang mereka simpan di kolong meja dan mana sangkur yang mereka siapkan untuk orang-orang yang mereka anggap musuh:
Kedutaan Amerika Mewakili Kepentingan Israel di Indonesia
Banyak orang menganggap demonstrasi anti-Israelyang kerap terjadi di depan Kedutaan Amerika di Jakarta dalam beberapa tahun terakhir, lebih dilatari karena tiadanya kedutaan Israel di Jakarta dan juga karena kalangan demonstran meyakini pembelaan Amerika pada Israel lah yang menyebabkan penjajahan Palestina tetap langgeng hingga hari ini.
Tapi sejumlah telegram di WikiLeaks menunjukkan kalau Kedutaan Amerika di Jakarta secara diam-diam aktif memposisikan diri sebagai wakil Israel di Indonesia – dan ini atas sepengetahuan orang-orang di lingkaran dalam Istana Negara:
1. Dalam telegram bertajuk “More Activity In Indonesia On Middle East Issues”, dikawatkan pada 15 Februari 2007, seorang diplomat Amerika menulis: “Seorang informan di kantor Presiden Yudhoyono bilang ke kami kalau sebuah delegasi yang tiga kementrian di Israel, Direktur Kementrian Luar Negeri Aharon Ambramovitch, Direktur Biro Kementrian Luar Negeri Israel di Asia Tenggara, Giora Becher, dan Duta Besar Israel di Singapura, Ilan Ben-Dov, bakal berkunjung ke Jakarta pada 21-22 Februari. Pejabat Israel itu berencana bertemu dengan tiga orang: Juru bicara Presiden, Dino Patti Djalal, Menteri Kelautan Freddy Numberi dan Menteri Negara Pembangunan Daerah Tertinggal, Syaifullah Yusuf. (Catatan. Dalam sebuah pertemuan pada November 2006, Duta Besar Ben Dov meminta pandangan soal bidang-bidang dimana Israel bisa memfokuskan bantuan. Duta besar Pascoe menyarankan Israel mungkin bisa mulai dengan sejumlah program di kawasan pulau-pulau terpencil dimana populasinya mayoritas Kristen. Dia menyarakan Israel membagi keahliannya dalam pengelolaan kawasan kering, yang bisa berguna bagi pulau-pulau seperti Flores. Pertemuan dengan Menteri Perikanan dan Pembangunan Daerah Tertinggal menjadi masuk akal dalam soal ini. Akhir catatan.) Penasihat khusus SBY, T.B. Silalahi, mengatur seluruh urusan kedatangan, yang sangat tertutup rapat (menurut seorang asisten Silalahi, hanya SBY, Silalahi, Dirjen Kementrian Luar Negeri, Cotan – yang mengeluarkan visa untuk pejabat Israel itu – yang tahu soal perjalanan ini). Saat kami tanya apakah SBY mendukung konsep kunjungan itu, asisten Silalahi bilang kalau SBY hanya “tahu soal itu”. Perempuan asisten itu memperkuat dan bilang kalau SBY akan menjaga jarak dengan detail kunjungan itu agar ada selimut politik sekiranya kunjungan itu bocor ke media.”
2. Telegram berjudul “World Ocean Conference -- Raising Israeli Participation”, dikawatkan pada 1 April 2009, menyebutkan: “Kedutaan telah mengetahui kalau Indonesia tak berniat mengundang perwakilan Israel dalam World Ocean Conference (WOC) yang bakal mereka selenggarakan, 11-15 Mei. Kami telah menyatakan kalau kegagalan mengundang perwakilan Israel bisa menggerus klaim WOC sebagai konferensi dunia. Dengan pertimbangan itu, orang-orang Indonesia yang bertindak sebagai penghubung kami, menyarankan kalau kehadiran pihak LSM Israel mungkin bisa. Poloff (political officer, red. Islam Times) juga membahas soal ini dengan Yahya Asagaf, seorang penasihat urusan Timur Tengah untuk Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Syamsir Siregar. (Catatan: BIN tetap menjadi kanal utama bagi Pemerintah Indonesia untuk kontak dengan pejabat Israel.) ... .”
3. Telegram bertajuk “Discouraging Tni From Taking Manpads To Unifil Mission”, dikawatkan dari Jakarta pada 3 Oktober 2006 merekam pernyataan Charge d'Affaires Kedutaan Amerika, John A. Heffern, dengan kalangan birokrat di Jakarta sekaitan masuknya senjata MANPADS (man-portable air-defense systems) dalam daftar persenjataan yang bakal dibawa oleh pasukan Tentara Nasional Indonesia yang ikut dalam misi pasukan penjaga perdamaian PBB (UNIFIL) di Lebanon.
Heffern bilang kalau dia mengangkat soal ini saat bertemu Penasihat Luar Negeri Presiden Indonesia , Dino Patti Djalal (saat ini Duta Besar Indonesia di Washington) pada 2 Oktober. Heffern bilang kalau pasukan Indonesia bisa menciptakan “persoalan besar” jika memutuskan membawa senjata MANPADS ke Lebanon dan meminta pemerintah Indonesia “mempertimbangkan” kembali niat itu. Heffern juga menyarankan agar perwakilan Amerika Serikat di markas PBB di New York untuk membujuk Departemen Operasi Penjaga Perdamaian PBB (DPKO) agar bersedia berbicara ke Djalal dan penasihat presiden, TB Silalahi, saat keduanya berkunjung ke New York. Heffern, kata telegram, berharap DPKO mau membujuk Djalal dan Silalahi agar bersedia menafsirkan kalau ROE (rules of engagement, aturan penugasan) pasukan PBB di Lebanon tak memestikan perlunya persenjataan anti pertahanan udara dan meminta mereka menghapus MANPADS dari daftar persenjataan pasukan Indonesia.
Telegram juga bilang kalau atase militer Kedutaan Amerika juga telah membicarakan soal ini ke Asisten Operasi Mabes TNI, Brigadir Jenderal Bambang Darmono dan Wakil Asisten Intelijen, Brigadir Jenderal Eddi Budianto, pada 2 Oktober. Dari pertemuan, atase militer kemudian dapat gambaran soal jumlah pasukan yang bakal diterjunkan, jenis peralatan dan mulai penugasan. Kata telegram, Darmono bilang Indonesia bakal membawa 12 unit misil pertahanan udara QW-1. Kata Darmono lagi, dia percaya PBB telah memberi lampu hijau atas daftar persenjataan tentara Indonesia, termasuk MANPADS, dan bilang kalau “bakal jadi persoalan” jika TNI diminta tak membawa misil itu.
(Catatan Islam Times: tak ada informasi lanjutan dalam telegram lainnya sekaitan jadi tidaknya TNI membawa MANPADS ke Lebanon Selatan. Sebagai pelontar misil yang gahar, MANPADS bisa ‘mengerem’ keberingasan pasukan Israel di perbatasan Lebanon – dan sebab itu lah Kedutaan Amerika di sini sejak awal ingin memastikan senjata itu tak masuk dalam daftar persenjataan TNI di Lebanon.)
Terorisme: Pintu Masuk Infiltrasi Kedutaan dan Militer Amerika di Kepolisian, Kejaksaan & Kementrian Luar Negeri Indonesia
Ada belasan telegram yang merekam proyek kontra terorisme Kedutaan Amerika di Jakarta. Detil yang tertara di dalamnya memunculkan persepsi kalau Kedutaan Amerika di Jakarta adalah pihak yang paling diuntungkan dari setiap teror bom yang terjadi di Indonesia dalam satu dekade terakhir. Teror bom, seperti terekam dalam telegram, melapangkan jalan bagi Kedutaan untuk membangun jalan tol kemesraan dengan pihak polisi, kejaksaan, kementrian luar negeri, kementrian kehakiman dan hak asasi, KPK, BPK, Kementrian Keuangan, PPATIK dan masih banyak lagi. Dalam soal dukungan mereka pada Datasemen Khusus 88, telegram bahkan seolah bercerita kalau via kerjasama kontraterorisme, Kedutaan Amerika – dan bahkan Komando Militer Amerika Serikat di Pasifik – bisa punya pasukan sendiri dalam tubuh kepolisian Indonesia; pasukan yang mereka bentuk, mereka latih, mereka biayai dan mereka perhatian setiap langkah dan kebutuhannya. Telegram juga merekam kalau terorisme membuka jalan bagi Kedutaan Amerika untuk membangun semacam pangkalan di pusat pendidikan dan pelatihan polisi di Megamendung, Bogor, Jawa Barat. Dan dalam soal ini, Australia, New Zealand, Canada dan Singapura ikut menancapkan kukunya:
1. Telegram berjudul “Prosecutors Unfazed By Amrozi's Testimony For Ba'asyir”, dikawatkan pada 20 April 2006, antara lain mengungkap ‘pembicaraan akrab’ antara seorang Jaksa Penuntut Umum di Pengadilan Jakarta Pusat, Salman Maryadi – juga disebutkan sebagai bekas jaksa penuntut utama dalam kasus Ba’asyir – dengan kalangan diplomat Amerika di Jakarta. Kata telegram: “Maryadi bilang ke kami (diplomat Amerika, red. Islam Times) kalau urusan Peninjauan Kembali (oleh kubu pengacara Baasyir) tak boleh jatuh ke tangan pejabat di Kantor Kejaksaan Tinggi hanya karena jabatannya, tapi harus tetap di tangan jaksa yang dia percaya dan berpengalaman dalam kasus Baasyir. Dia juga bilang kalau dia telah memilih sendiri jaksa-jaksa dari Jakarta untuk pergi ke Cilacap dan mengamati sesi dengan Amrozi. Kejaksaan mengirim Kuntadi (peserta International Visitors Program 2005), Narendra Jatna (peserta Paris Program 2005), Nanang Sigit (parserta Program IV 2006). (Catatan: Maryadi belum pernah ke Amerika meski telah mengungkapkan keinginannya untuk bisa dalam beberapa kali pertemuan. Akhir catatan.)”
(Catatan Islam Times: Telegram lain menggambarkan Gugus Kerja Terorisme dan Kejahatan Transnasional di Kejaksaan Agung sebagai ‘kelompok elit dukungan Amerika’ yang berhasil memenangkan perkara atas 13 tersangka Jamaah Islamiyah pada 2007.Kami juga menemukan sebuah telegram yang merekam pengiriman sekitar 100 orang birokrat, dari kejaksaan, kepolisian, kehakiman, PPATK, BPK, KPK, Kementrian Keuangan, dalam proyek “peningkatan kapasitas” sekaitan “ perang melawan kejahatan keuangan, termasuk kontra keuangan terorisme” diSeattle, New York, Washington, Bangkok dan Singapura. Telegram bilang pendanaan proyek ini bersumber dari USAID, FBI, Kejaksaan Amerika, dan Kementraian Keuangan Amerika dan terlaksana via “kanal bilateral”.)
2. Sebuah telegram bertajuk “Ct Rewards Program Update”, dikawatkan dari Jakarta pada 27 Juni 2007, merekam penyerahan hadiah uang tunai untuk empat orang informan polisi Indonesia yang membantu mengungkap sebuah kasus terorisme. Telegram bilang uang hadiah itu bersumber dari program hadiah Departemen Pertahanan Amerika dalam anggaran U.S. Pacific Command, komando militer Amerika Serikat di Pasifik, yang kemudian diserahkan oleh Kedutaan Amerika ke polisi Indonesia: “Pada 20 Juni, investigator senior polisi di Yogyakarta menyerahkan hadiah uang tunai dalam rupiah pada keempat kandidat. Mereka adalah yang pertama yang menerima hadiah kontraterorisme dalam upaya di balik layar untuk membantu polisi Indonesia mengembangkan program hadiah dengan fokus pada kontraterorisme. Keempat kandidat telah membantu polisi menemukan jejak Azahari, Jabir dan Abdul Hadi.”
Telegram juga bilang kalau penyerahan uang hadiah berlangsung pada 20 Juni di Yogyakarta, di sebuah tempat yang dipilih oleh Polisi Indonesia dan disetujui oleh Rewards Working Group, gugus kerja pembagian hadiah di Kedutaan Amerika. Kata telegram, dua orang pejabat kedutaan dan dua perwakilan PACOM (Komando Militer Amerika di Pasifik) di Kedutaan datang ke Yogyakarta dan menyaksikan penyerahan hadiah dari sebuah ruang yang bersebelahan dengan tempat acara, via kamera CCTV. Inspektur Gories Mere, kata telegram, memberikan pengantar singkat saat acara dan menyampaikan ucapan terima kasih dari bos besar Polisi Indonesia, Sutanto. Pejabat lainnya yang hadir adalah Brigadir Jenderal Surya Dharma (Komandang Gugus Kerja Kontraterorisme), Petrus Golose dan Rycko Amelza.”
Lepas penyerahan, telegram bilang kalau RWG bertemu lagi (dengan pihak polisi Indonesia) pada 25 Juni. Bersama-sama, katanya, mereka mengevaluasi penyerahan hadiah pekan sebelumnya. “Baik Kedutaan dan Polisi Indonesia tetap setuju kalau bantuan Amerika dan program hadiah harus tetap dirahasiakan dan tak diketahui publik. Baik upaya penyerahannya dan informannya tak bakal diungkap ke publik,” kata telegram.
Di bagian akhir, telegram menyebut kalau ada anggaran US$ 800.000 (sekitar Rp 8 miliar) dari U.S. Special Operations Command ( Komando Operasi Khusus Militer Amerika, USSOCOM) untuk pengembangan, produksi dan diseminasi produk TV, radio, cetak, dan material promo yang mendukung Program Anti Kekerasan di Indonesia. Sebagian dana itu, kata telegram, juga bakal digunakan untuk penyiapan perangkat nomer telpon pengaduan setiap aktivitas kriminal/terorisme di Indonesia.
(Catatan Islam Times: telegram ini nampaknya bisa menjelaskan kemunculan mural dan pamflet yang mengutuk terorisme di sudut-sudut Jakarta sejak beberapa tahun silam – sebagiannya hingga kini masih bisa disaksikan. Ia juga nampaknya bisa menjelaskan sumber pendanaan acara di sejumlah tv nasional yang formatnya mirip acara perburuan buronan di tv Amerika.)
3. Pada 7 September 2007, dalam sebuah telegram bertajuk “Request For Dod Rewards Program Assistance For Indonesian Police”, kedutaan melaporkan kalau mereka telah mengkaji peristiwa penangkapan Abu Dujana dan percaya kalau kerja polisi patut mendapat hadiah. Dalam kaitan itu, mereka meminta agar unit polisi di Jawa Tengah “dipertimbangkan untuk mendapat hadiah” dari anggaran USPACOM.
4. Pada 12 Juni 2008, dalam sebuah telegram bertajuk “Dod Rewards -- Indonesian Police Pay 13 Informants For Abu Dujana Arrest”, kedutaan melaporkan kalau polisi – dengan dana dari USPACOM -- telah menyerahkan masing-masing US$ 3.000 ke 13 orang yang membantu polisi menangkap Abu Dujana setahun sebelumnya. Telegram bilang ini adalah pemberian hadiah yang kedua untuk informan polisi. “Kemampuan polisi untuk memberi hadiah pada warga yang membantu mereka menangkap teroris adalah penting pada upaya kontraterorisme polisi. Jumlah yang diberikan ke setiap informan (US$ 3.000) adalah realistis, jika tak berlebih, mengingat standar hidup indonesia dan memberi kredibilitas pada presentasi program yang disebutkan diatur dan didanai oleh polisi. Polisi mengapresiasi bantuan Amerika, dengan dasar polisi Indonesia sejauh ini telah menyerahkan hadiah uang tunai yang totalnya mencapai US$ 187.000 untuk 17 informan.”
(Catatan Islam Times: Sebuah telegram bertajuk “Indonesia's Top Three Wanted Terrorists And A Promising New Lead”, dikawatkan pada 18 Desember 2006, mengungkap kalau polisi Indonesia sudah lama mengetahui keberadaan Abu Dujana, memantau pergerakannya setiap saat dan baru memutuskan melakukan penangkapan pada 9 Juni 2007: “Laporan seorang Polisi Federal Australia (AFP) yang dibagi ke kami belum lama ini mengkonfirmasi kalau polisi Indonesia telah mengetahui keberadaan Dujanah dan saat ini telah menempatkan dia dalam penyelidikan di Jawa Tengah. Tim pengintaian polisi telah mengamati pertemuan Dujanah dengan anaknya, Yusuf. Laporan AFP selanjutnya mengkonfirmasi niat polisi menggelar pemantauan guna mencari tahu adakah dari situ bisa terbaca kaitan dia dengan Noordin Top.”
(Catatan Islam Times: Telegram bilang Ainul Bahri alias Abu Dujana adalah veteran Perang Afghanistan, fasih berbahasa Arab dan pernah menajdi sekretaris pribadi Abu Bakar Baasyir.)
5. Sebuah telegram bertajuk “Jakarta - Ds/ata And Special Detachment 88”, dikawatkan pada 15 November 2007, memberi gambaran hubungan mesra antara Kedutaan Amerika Serikat, Kementrian Luar Negeri Amerika Serikat dan polisi Indonesia via Diplomatic Security Anti-terrorism Assitance Program (DS/ATA).Telegram antara lain bilang kalau ada Memorandum of Intent (nota kesepahaman) antara Kedutaan Amerika dan Polisi Indonesia dalam soal kontraterorisme. Memorandum ini antara lain membuka jalan DS/ATA untuk mendukung program kontraterorisme Datasemen Khusus 88. Kata diplomat Amerika, mereka sempat terpikir menggunakan personel militer Amerika untuk melatih polisi Indonesia, tapi kecemasan kalau TNI mengetahui soal ini dan lalu marah, membuat pilihan mereka jatuhkan pada “sipil dengan pengalaman SWAT”. Telegram juga bilang kalau sebuah tim penasihat teknis DS/ATA bakal merancang evaluasi kemampuan Datasemen 88 dan pengembangannya, dan menerapkan sebuah program training yang “bisa membawa Datasemen 88 ke level berikutnya”.
Telegram bilang, Datasemen masih perlu latihan beragam jenis operasi taktis – kota ataupun desa. Personel Datasemen 88 juga perlu mengembangkan kemampuan pengintaian dan investigasi, kemampuan intelijen teknis, dan tekni “room entry”. Telegram juga bilang kalau penting bagi DS/ATA untuk tetap low profile dan berada “di balik layar” dan di luar jangkauan media dan memberi kredit “ke pihak seharusnya”, yakni polisi Indonesia. Telegram juga bilang, guna menjadikan Datasemen 88 lebih efektif dan unit yang kohesif, DS/ATA sedang dalam proses membangun sebuah pusat pelatihan khusus untuk SD-88 di pusat pelatihan kontra terorisme Polisi Indonesia. Fasilitas berlokasi di Cikeas yang nantinya berisi pusat komando dan briefing room. Pembangunan diperkirakan kelar pada Mei 2008.
Telegram juga mencantumkan nama dan nomer telpon Regional Security Officer (RSO) Kedutaan Amerika di Jakarta: Jeff Lischke, 62-21-3435-9013.
6. Telegram berjudul “Indonesian Counterterrorism And Deradicalization Initiatives”, dikawatkan pada 6 Februari 2008, merekam pertemuan pejabat senior Kedutaan Amerika dengan koordinator desk kontraterorisme Indonesia, Inspektur Jenderal Ansyaad Mbai, pada 30 Januari. Mbai, digambarkan dalam telegram sebagai “pensiunan polisi”, “koordinator kontra terorisme di Kantor Kementrian Politik dan Keamanan”. Telegram bilang Mbai telah menjabat sejak Bom Bali I pada 2002, saat Presiden Susilo masih menjabat sebagai Menteri Koordinator di era Megawati. “Mbai ditemani oleh bekas duta besar Rousdy Soeriaatmadja, kontak langsung Kedutaan dalam program bantuan kontraterorisme”.
Telegram bilang Mbai mengungkapkan terima kasih pada Kedutaan yang ikut menangkal “rekrutmen teroris” lewat kampanye via media tradional, seperti pagelaran wayang, klinik sepak bola dan workshop kontraterorisme. Kata telegram, Mbai “menekankan dampak negatif jika publik luas mengetahui Amerika mensponsori program-program itu” dan meminta agar kerjasama di antara mereka tetap tidak didiskusikan ke publik”.
7. Sebuah telegram berjudul “Counterterrorism -- Indonesian Developments”, dikawatkan dari Jakarta pada 19 Maret 2009, mengungkap sosok "Team Bomb". Isi telegram bilang kalau inilah gugus kerja ad hoc kontraterorisme di kepolisian Indonesia, yang memainkan peran utama, kadang lebih berpengaruh dari Datasemen 88, dalam melacak orang-orang Jamaah Islamiyah dan kelompok-kelompok militant lainnya. Kode “protect” di belakang penyebutan nama “Team Bomb” dalam telegram, mengisyaratkan kalau polisi yang bergabung dalam tim ini rutin memasok informasi rahasia ke Kedutaan Amerika. Telegram juga bilang kalau “... Team Bomb (protect), yang mengorganisir pembayaran hadiah untuk informan polisi dan bekerja dengan pejabat Kementrian Pertahanan dan Kementrian Luar Negeri Amerika “agar uang bisa sampai ke markas polisi di Jakarta”.)
Telegram juga bilang kalau “Team Bomb dan Datasemen Khusus 88 (SD-88) punya target dan misi kontraterorisme yang saling mendukung. Operasi Team Bomb pada dasarnya bagian dari SD-88 dan unit kepolisian lainnya karena alasan keamanan dan konterintelijen, dan pemisahan unit kerja ini “berkontribusi pada kesuksesan Team Bomb”. Team Bomb disebutkan juga sebagai “gugus kerja kontra terorisme yang “pre-eminent”, paling mantap. Telegram lain bilang: sementara SD-88, digambarkan sebagai tim respon kontraterorisme, yang banyak menerima kredit publik atas penangkapan tokoh-tokoh JI, khususnya Zarkasih dan Abu Dujani pada Juni 2007, Team Bomb lah yang sebenarnya mengumpulkan informasi sekaitan sejumlah teroris, mengeksekusi serangan ke rumah-rumah persembunyian, dan melakukan penangkapan. Telegram juga bilang dengan satunya pimpinan Team Bomb dan Densus 88, yakni di bawah komando Surya Dharma, kedutaan berharap koordinasi upaya kontra terorisme menjadi lebih baik.
8. Sebuah telegram berjudul “Counterterrorism -- Goi Deradicalization Efforts Show Promise”, dikawatkan pada 24 Maret 2009, menyebutkan “... “Bersama Team Bomb, gugus kerja polisi ad hoc dalam urusan kontra terorisme, pejabat SD-88 mengindentifikasi tersangka dan terpidana terorisme di penjara yang cenderung pada ide –ide moderat dan membina hubungan dengan mereka. Pejabat ini, yang semua muslim, menyediakan bagi keluarga radikal yang ditahan bantuan uang dan membuka peluang para teroris untuk berhubungan dengan keluarga dan masyarakat selama masa penahahan. Dengan shalat dan makan bersama tersangka teroris, pejabat memperlihatkan alternatif dalam berislam. Individual ini terus mendampingi terpidana selama masa persidangan, pemenjaran dan pelepasan dari tahanan.
(Catatan Islam Times: sebuah telegram lain mengungkap kalau Mbai pernah bilang ke diplomat Amerika di Jakarta kalau Brigadir Jenderal Surya Dharma punya daftar 100 orang terpidana teroris yang berpotensi untuk dijinakkan, dijadikan berpandangan moderat sekaligus informan polisi. Mereka, katanya, umumnya miskin dan bakal senang jika ada yang membantu pendanaan lepas dari penjara).
9. Telegram bertajuk “Jakarta Resolute In Aftermath Of Bomb Blasts”, dikawatkan pada 21 Juli 2009, merekam kerjasama polisi Indonesia dan Biro Penyidik Federal Amerika Serikat, FBI, dalam penyelidikan Tragedi Bom Marriott dan Ritz Carlton. Telegram bilang: “Sekalipun Pemerintah Indonesia di muka umum bilang kalau mereka tak memerlukan bantuan dalam penyelidikan dan tak secara formal menerima bantuan, Polisi Nasional Indonesia diam-diam telah meminta bantuan FBI untuk meningkatkan kualitas footage video pengamatan di kedua hotel. Agen-agen FBI, yang akan membantu permintaan ini, akan tiba di Jakarta pada 25 Juli ... (Catatan: sekaitan peristiwa 17 Juli, pertukaran informasi kontraterorisme menjadi kian penting. Publikasi adanya bantuan FBI akan ... menjadikannya tak efektif dan membahayakan kepercayaan yang telah kami bangun dengan penegak hukum Indonesia. Akhir Catatan.)”
(Catatan Islam Times: di bagian lain dokumen ada tertulis kalau Herry Nurdi, digambarkan sebagai Editor-In-Chief Majalah Sabili, “majalah paling populer yang menawarkan pandangan anti Barat dan anti Semit paling keras, bilang ke kami kalau majalahnya akan mengeluarkan sebuah edisi yang berisi kututkan atas serangan”.)
10. Telegram bertajuk “Counterterrorism -- Proposal For Additional Usg Involvement In Key Law Enforcement Training Center”, dikawatkan pada 14 September 2009, antara lain menyebutkan:“Pemerintah Amerika Serikat berhasil menggelar kelas dan konferensi anti-terorisme di JCLEC (Jakarta Center for Law Enforcement Cooperation, pusat pendidikan kontra terorisme kerjasama polisi Indonesia dan Australia) di masa lalu, tapi pengajaran yang reguler di JCLEC kerap jadi persoalan karena jadwal yang tak pas. Sejak 2006, Kedutaan Amerika telah mendukung pelatihan tahunan kontra terorisme di JCLEC ... Program Diplomatic Security's Anti-Terrorism Assistance telah menggelar pelatihan di JCLEC di masa lalu (sebagai tambahan atas pelatihan yang dilaksanakan di pusat pelatihan milik DS/ATA sendiri di Megamendung, Jawa Barat).”
(Catatan Islam Times: pusat pelatihan DS/ATA berada dalam kompleks pendidikan polisi di Megamendung, Bogor. Kabarnya, Kedutaan Amerika ‘menyewa’ sebuah ruangan di situ selama berlangsungnya pelatihan kontra terorisme.)
11. Telegram bertajuk “Jayapura - Special Detachment 88”, tertanggal 9 November 2007, merekam perjalanan ‘nyaman’ Duta Besar Amerika berkeliling kawasan Freeport – dengan penjagaan lengkap pasukan Densus 88. Telegram dikawatkan oleh Regional Security Officer Kedutaan Amerika di Jakarta, Jeff Lischke. Jeff menulis: “1. (U) RSO belum lama ini menemani Duta Besar ke Jayapura di Papua. Alasan utama kunjungan ini adalah bertemu pejabat Indonesia dan berkunjung ke kawasan tambang Freeport McMoRan di Timika dan BP di Babo. Selama kunjungan, RSO bertanya soal Datasemen 88 untuk mencari tahu adalah personel awal unit ini, yang mendapat pelatihan di fasilitas pelatihan DS/ATA pada Februari 2007, masih utuh. 2. (C) Kami bertemu Komandan Datasemen Khusus 88, Kolonel S.H. Fachruddin, dan bertanya padanya tentang Datasemen Khusus 88. Dia bilang kalau bawahannya adalah petugas pengamanan polisi Indonesia selama Duta Besar berada di Jayapura. Dia bilang kalau kantornya tak jauh dari komplek Gubernur, Kapolda dan Panglima Daerah Militer. Sekalipun kami tak sempat mengunjungi kantor mereka dan menginspeksi peralatan mereka, sang Kolonel bilang kalau semua peralatan dan kendaraan yang diberikan DS/ATA masih ada dan dalam kondisi bagus. (Harap dicatat kalau salah satu kendaraan yang digunakan dalam iring-iringan kendaraan Duta Besar adalah mobil Datasemen Khusus 88 dan mobil itu dalam kondisi sempurna). ... .”
Standar Ganda Kedutaan dalam soal Kasus Pembunuhan Munir
Setidaknya ada 94 telegram yang memuat nama Munir dalam kawat diplomatik yang bersumber dari Kedutaan Amerika di Jakarta. Jumlah itu menggambarkan ‘kegigihan’ Kedutaan Amerika untuk menggunakan kasus pembunuhan Munir sebagai pintu masuk untuk mempererat hubungan dengan sejumlah institusi negara – senyampang mengarahkan tombak mematikan ke tubuh Badan Intelijen Negara, pihak yang mereka sebut patut diduga berada di balik pembunuhan Munir.
Dalam sebuah telegram bertajuk “Munir Case: Ambassador Signals Continued U.s. Focus On Justice; Widow Plans Second Visit To Dc”, dikawatkan pada 13 April 2006, tertulis kalau Duta Besar Hume mengundang Suciwati ke kedutaan pada 11 April “untuk mendiskusikan nasib ... almarhum Munir, yang mati diracun pada September 2004”. Suciwati, kata telegram, datang ditemani empat aktivis hak asasi: Usman Hamid (Kontras); Rachland Nashidik (Imparsial); Rafendi Djamin (Koalisi HAM); Binny Buchori (Infid). Telegram bilang ini adalah pertemuan kedua Hume dan Suciwati, lepas yang pertama pada November 2004. Hume, kata telegam, mempertegas sokongan Amerika agar Suciwati dapat keadilan, termasuk usahanya mengeluarkan “pertanyaan keras” lepas Pollycarpus dinyatakan bersalah pada Desember 2005. Hume, kata telegram lagi, juga bilang kalau dia telah mengungkapkan keprihatinannya sekaitan kasus Munir ke Presiden Yudhoyono dan bos polisi, Jenderal Sutanto.
Telegram selanjutnya menyebut rencana Suciwati berkunjung ke Amerika pada sekitar 23 April untuk “mempertahankan perhatian masyarakat internasional pada kasus” Munir sekaligus untuk bertemu dengan anggota dan staf di KongresAmerika. Telegram bilang, Suciwat ingin bertanya ke Kongres “adakah mereka telah mendapatkan respon dari Presiden Yudhoyono atas surat mereka (terkait kematian Munir, red. Islam Times) di awal tahun.
“Meski masih menimbang pendekatan yang bakal dia pilih,” kata Hume dalam telegram, “Suciwati berpikiran kalau Amerika Serikat bisa memberi tekanan “dengan meninjau ulang bantuan pada polisi dan militer Indonesia”. Lepas itu, tertera respon Hume yang “menasehati Suci untuk menarik diri dari meminta pembatasan bantuan Amerika (atas polisi dan militer Indonesia, red. Islam Times) dan tetap fokus pada tujuan mendapatkan keadilan untuk suaminya yang terbunuh.
(Catatan Islam Times: Agak aneh sebenarnya membaca ‘kepedulian’ Kedutaan Amerika pada kasus Munir. Ini bila mengingat Kedutaan pernah menolak visa perjalan almarhum Munir ke Amerika Serikat hanya karena dia pernah ikut berdemo membela Palestina dan mengecam Israel dan Amerika di depan Kedutaan Amerika di Jakarta. Di sisi lain, ada banyak telegram yang mengungkap keengganan Kedutaan untuk mengikutkan Kopassus dalam program kerjasama militer antarnegara dengan dalih Kopassus “pernah terlihat pelanggaran hak berat”. So, orang kini bisa melihat betapa Kedutaan menerapkan standar ganda. Densus 88 dan “Team Bomb”, dua tim kontraterorisme bentukan Amerika, kerap membunuh para tersangka kasus-kasus terorisme tanpa izin pengadilan; sebuah laku kontroversial yang belakangan bahkan mengundang kritik tajam langsung dari Kepala Badan Intelijen Strategis TNI. Tapi alih-alih menarik diri, menjauh dan menghentikan dukungan pada Densus 88, seperti halnya yang mereka lakukan pada Kopassus, Kedutaan Amerika justru ‘menasehati’ Suciwati untuk tak bicara apapun soal “penghentian bantuan ke polisi”.)
(Catatan Islam Times: masih dalam telegram yang sama yang merekam pertemuan Hume dan Suciwati, ada tertera informasi kalau kalau diplomat Amerika punya hubungan mesra dengan penyidik Anton Charilyan. Kode “protect” setelah penyebutan nama Anton dalam telegram nampaknya mengisyaratkan kalau dia kerap membagi informasi rahasia ke Kedutaan Amerika. Telegram bilang, pejabat kedutaan “bertemu Anton Charilyan (protect) pada 22 Maret lalu membangun komunikasi lagi pada 12 April. Anton merespon via sms, sebagai berikut: “Terhadap kasusnya (Munir), hingga saat ini kami masih menyelidiki secara intensif, tapi kami melakukan ini dengan sangat rahasia karena kami tidak berhadapan dengan (tersangka) orang biasa. Suci, di lain pihak, ingin kami mengumumkan setiap perkembangan. Jika ini dilakukan seperti dalam fase investigasi terakhir, hanya sebagai sarana untuk mengangkat popularitas individu tertentu, maka pada akhirnya ini bakal menyibak ke musuh-musuh kami setiap langkah penyelidikan polisi. Kami sudah mengungkap jalan cerita utama, tapi kami masih berupaya mendapatkan saksi-saksi pendukung dan bukti-bukti lain, masih minim hingga saat ini, agar nantinya kesimpulan kami bisa menjadi bukti legal yang kuat di pengadilan. Dan kerja-kerja ini, tentu saja, tak bisa diselesaikan dalam tempo yang singkat. Lebih jauh, jika ada tenggat waktu yang ditetapkan untuk investigasi ini, ini akan menciptakan kesulitan tersendiri bagi kami.” Telegram yang lain bilang kalau belakangan Kedutaan Amerika kehilangan kontak dengan Anton yang disebutkan resah di tengah banyak kabar informasi yang terbagi ke pihal lain.)
Birokrat Negara Tunduk pada Tekanan Kedutaan Amerika untuk Menekan Iran
Di forum-forum resmi internasional, Indonesia nyaris tak pernah menyetujui saksi apapun atas Iran. Pernyataan pejabat negara sekaitan program pembangkit nuklir Iran selalu bernada positif, mendukung hak Iran dalam pengembangan energi nuklir damai, dan cenderung jauh dari keinginan Amerika dan negara-negara sekutu yang gemar menhancurkan citra Iran dan menghukum Iran lewat aneka sanksi ekonomi. Tapi sejumlah telegram WikiLeaks menunjukkan kalau Jakarta bermuka dua dengan mendukung diam-diam sanski ilegal Amerika atas Iran di dalam negeri. Telegram juga memunculkan kesan kalau Amerika begitu paranoid pada setiap kabar yang berisi kemungkinan Iran bisa berinvestasi dan membangunan hubungan dengan kalangan sipil dan militer di Indonesia:
1. Telegram bertajuk “Demarche Delivered Regarding Preventing Establishment Of Iranian Joint Bank In Indonesia”, dikawatkan pada 10 September 2008, menyebutkan kalau:“orang-orang penghubung di pemerintah Indonesia telah mengkonfirmasi kalau Bank Melli telah menanyakan aturan bisnis bank asing di Indonesia, tapi belum melayangkan surat permohonan untuk membuka cabang, anak perusahaan atau bermitra dengan Bank Panin atau institusi keuangan Indonesia lainnya. Seorang pejabat di Kementrian Luar Negeri bilang kalau Deplu belum lama ini menggelar pertemuan antarlembaga dan sebuah pertemuan dengan kalangan bank dan komunitas bisnis dan membriefing mereka sekaitan implikasi saksi atas Iran dalam Resolusi Dewan Keamanan PBB (UNSCR) belakangan ini.”
(Catatan Islam Times: telegram lainnya mengungkap keleluasaan diplomat Amerika mencari tahu segala hal terkait bisnis perusahaan Iran di Indonesia, utamanya via Pusat Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), yang dalam telegram digambarkan sebagai “lembaga penerima bantuan USAID”. Telegram lain menyebut adanya permintaan bantuan dari Yunus Hussein, bos besar PPATK, ke DOJ/OPDAT (Departement of Justice/ Office of Overseas Prosecutorial Development, Assistance and Training) agar pemerintah Amerika “membantu perumusan draft Rancangan Undang-Undang Pendanaan Terorisme”. Yunus kini tercatat sebagai salah satu kandidat Pimpinan KPK.)
2. Dalam sebuah telegram bertajuk “Iran -- Indonesia To Urge For Release Of Detained Amcits”, dikawatkan pada 19 Februari 2010 dengan marka SECRET//NOFORN, Duta Besar Amerika, Cameron Hume, menulis: “Jurubicara presiden, Dino Djalal, bilang ke DCM pada 19 Februari kalau Indonesia akan meminta Iran melepas tiga warga Amerika yang ditahan di Iran dengan peritmbangan kemanusiaan. Bekas Sekretaris Jenderal D-8, Dipo Alam (kini Menteri Sekretaris Kabinet) akan bertandang ke Tehran pada 1 Maret sebagia bagian dari serangkaian kunjungan ke para pemimpin negara-negara D-8. Alam dijadwalkan bertemu Menteri Luar Negeri Manouchehr Mottaki dan kemungkinan Presiden Mahmoud Ahmadinejad. Djalal bilang ke kami kalau atas nama Pemerintah Indonesia (dan bukan Amerika Serikat), Alam akan meminta Iran melepas warga Amerika yang ditahan dengan pertimbangan kemanusiaan ... .”
(Catatan Islam Times: di telegram lain, ada terekam kalau Djalal menjadi ‘mata dan telinga’ Kedutaan Amerika dalam melaporkan pertemuan antara Presiden Yudhyono dan Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran, Sayyid Ali Khamenei.)
Kedutaan Amerika ‘Memberi Restu’ pada Rencana Jahat Eksekutif Newmont
Sebuah telegram bertajuk “Rick Ness Testifies In Newmont Case This Week”, dikawatkan dari Jakarta pada 24 Agustus 2006, merekam pengamatan diplomat Amerika atas persidangan Richard Ness, bos besar PT Newmont Minahasa Raya. Lepas memaparkan jalannya persidangan, telegram menyebutkan:“di sela-sela persidangan, kami mendengar sejumlah isyarat dari eksekutif NMR kalau mereka telah menyiapkan sebuah rencana darurat sekiranya Ness diputus bersalah. Dalam sebuah pertemuan sosial lepas persidangan di Manado, mereka memberi isyarat kalau Newmont telah mengontak sebuah perusahaan keamanan swasta untuk menyelundupkan Ness ke luar Indonesia sekiranya dia dinyatakan bersalah setelah semua peluang banding habis. Mengingat minimnya bukti-bukti adanya kejahatan, dan nada-nada politik yang jelas di balik keputusan masuknya kasus ini ke pengadilan, eksekutif Newmont memberi kesan pembenaran pada rencana mereka melarikan Ness ke luar negeri agar dia tak sehari pun menginap di terungku.”
(Catatan Islam Times: Dalam telegram, tak ada informasi apapun yang mengungkap adanya keberatan diplomat Amerika lepas mendengar rencana penyelundupan Ness oleh para pejabat senior Newmont. Pada 2007, pengadilan di Manado membebaskan Richard Ness dan PT Newmont Minahasa Raya dari semua tuduhan sekaitan gugatan pencemaran di Teluk Buyat.)
Kedutaan Amerika Ingin Menaklukkan Setiap Penentangan atas Hegemoni Amerika
Pada 12 November 2009, dalam sebuah telegram bertajuk “Indonesian Foreign Policy--realizing The Potential Of President Yudhoyono's Second Term”, Ted Osius, Charge d'Affaires menulis kebijakan yang patut diambil Washington seiring kembali terpilihnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di pemilu di bulan sebelumnya. Marka “CONFIDENTIAL” di awal telegram mengisyaratkan kalau semua yang dia kawatkan hari itu bisa ‘merusak’ keamanan nasional Amerika bila sampai terungkap ke publik.
Pemeriksaan Islam Times menunjukkan kalau dokumen ini memuat semacam grand desain kedutaan yang ingin memotong kaki perlawanan anak bangsa atas hegemoni Amerika – dan juga Israel yang diam-diam mereka wakilkan kepentingannya – atas Jakarta. Sebuah skenario besar berbungkus sarung tangan belundru “Kemitraan Komprehensif”, dengan Presiden Susilo sebagai partner utama mereka.
Di awal bagian awal dari telegram, Osius (masih aktif sebagai Wakil Duta Besar Amerika di Jakarta hingga saat ini) banyak bercerita tentang sosok Presiden Susilo. Osius bilang presiden ingin ‘tampil’ di forum internasional di luar Asia, (forum G20 mungkin venue yang tepat, katanya), ingin dilihat sebagai sosok yang bisa menjembatani perbedaan-perbedaan dunia. Dengan “pendekatan yang tepat”, kata Osius, besar kemungkinan Presiden Susilo berdiri di belakang Amerika dalam soal Afghanistan, Myanmar, Iran, Climate Change dan Palestina. Katanya, Misi Amerika di Jakarta “sedang mengekspolorasi kemungkinan melibatkan Indonesia dalam melatih polisi di Afghanistan”. Jika ini berhasil, Indonesia bisa berperan lebih besar di Afghanistan, katanya. Dia juga bilang kalau dalam periode kedua pemerintahan Presiden Yudhoyono, Indonesia ada kemungkinan menunjukkan “kelonggaran” atas Israel.
Osius lalu bercerita tentang orang-orang yang bisa membantu mewujudkan visi Presiden – dan sekaligus Amerika. Dia menyebut nama Menteri Marty Natalegawa, yang dia gambarkan sebagai sosok yang ‘berpikiran terbuka’, pragmatis dan menyukai ‘pendekatan inklusif dalam diplomasi’. Dia juga ada menyebut nama Kemal Stamboel, wakil Partai Keadilan Sejahtera di Komisi I DPR (bidang luar negeri, keamanan) yang, menurutnya, berpandangan positif dalam soal climate change, anti korupsi dan isu-isu lain ‘yang penting bagi Amerika’.
Di bagian berikutnya, dia menyebut pihak-pihak yang berpotensi mengganjal visi presiden. Yang paling pertama adalah yang dia identifikasi sebagai pejabat Kementrian Luar Negeri – “khususnya yang berada di level madya”, katanya – yang “masih penuh dengan pandangan dunia kabur Gerakan Non-Blok yang anti-Barat”. “Reaksi pertama mereka biasanya menentang inisiatif-inisiatif kita, khususnya dalam konteks multilateral. Mereka juga cenderung memberontak dalam sejumlah pesoalan semisal protokol, hak-hak istimewa dan imunitas, dan banyak urusan formal lainnya.”
Pihak kedua yang disebutkan bisa menggalkan langkah Presiden Yudhoyono – dan ini juga berarti inisiatif Amerika Serikat di Indonesia – adalah Dewan Perwakilan Rakyat. Kata telegram, suara-suara moderat (baca: pro Amerika) di DPR kerap dalam tekanan saat yang jadi urusan adalah hal-hal yang sensitif terhadap Muslim.
Telegram juga menyebut kalau Indonesia secara reguler masih mengekor pada sikap Negara-negara Non-Blok dan OKI dalam penentuan suara di PBB, seperti yang terkait Laporan Goldstone soal konflik Gaza. Ada juga keluhan soal “lambatnya kemajuan pendirian Indonesia-United States Center for Biomedical and Public Health Research akibat kecangnya serangan bermotif politik pada Menteri Kesehatan (Endang Sedyaningsih, red. Islam Times), yang telah dituduh terlalu dekat pada Amerika”.
“Hambatan serupa ini tak bakal hilang dalam semalam,” kata Ted.
Di bagian akhir, Ted menuliskan resep yang dia anggap manjur agar Amerika bisa keluar dari semua kemelut dan sampai pada tujuannya: “Sebuah visi strategis yang menjangkau jauh dan pelibatan kukuh pejabat senior pemerintahan Amerika dengan pihak Indonesia adalah sebuah kemestian demi mewujudkan potensi penuh peluang-peluang kerjasama.
Ted juga bilang kalau Amerika “perlu menaklukkan kebiasaan-kebiasaan yang ternanam dalam di birokrasi Kementrian Luar Negeri dan legislatif”. Katanya lagi: “Kita juga perlu memenangkan opini publik yang tak selalu simpati pada posisi Amerika. Pengembangan Kemitraan Komprehensif Indonesia-Amerika adalah mekanisme kunci untuk menjalankan semua itu. Seiring upaya kita mengembangkan Kemitraan, kita seharusnya bisa mencapai kesepakatan atas sejumlah prinsip-prinsip strategis bersama. Penting pula bagi kita untuk melembagakan forum-foum konsultasi bilateral yang rutin di tingkat kementrian dan level di bawahnya.” *** [Islam Times]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H