Sebagian orang mendefinisikan politik dengan arti kekuasaan kolektif bangsa yang bisa diaktifkan oleh segelintir orang. Karena kekuasaan, maka ia menjadi sangat penting. Untuk itu ada politik dan persaingan, bahkan kadang-kadang sengaja diciptakan perseteruan. Namun, jelas kita tidak menyukai yang terakhir. Karena, semua ingin senang, tenang. Tidak ada satu komponen bangsa yang meng-amini persaingan kaum elit, bahkan kaum elit itu sendiri. Apa yang mereka jalani, untuk kesenangan dan ketenangan. Jadi, berpolitik tanpa bersaing adalah ideal.
Banyak orang mengira, politik hanya didominasi oleh kalangan tertentu, anggota parpol, anggota DPR, pejabat dan anggota organisasi yang bermain dalam ruang lingkup kuasa dan kekuasaan. Karena politik berkonotasi kotor dan kejam, maka kegiatan-kegiatan yang mengarah kepada perpolitikan dilarang dilakukan di tempat-tempat suci, di masjid, gereja, wihara dll. Benarkah politik itu kotor dan kejam? Entah. . . .
Jika kekuasaan adalah substansi dari politik dan politik adalah kekuasaan itu sendiri, maka setiap isi kepala manusia, sedang berpolitik dan sedang bermain kuasa dan kekuasaan. Saat kita menjalin hubungan, atau mengadakan komunikasi dengan orang lain, kita sedang bersaing dan memainkan kekuasaan. Bahkan kuasa dan menguasai itu adalah fitrah, hajat manusia yang harus dipenuhi. Manusia selalu merindukan dan mencari kekuasaan. Fitrah itu menginginkan setiap omongan manusia didengar dan diperhatikan orang lain, saat itulah manusia sedang espansi kekuasan atas orang lain. Dan saat itu pula kita sedang berpolitik.
Ada beberapa kebutuhan sosial yang pokok dalam diri manusia; kebutuhan akan kasih sayang, kebutuhan disanjung dan tentu saja kebutuhan akan kuasa dan kekuasaan.
Bila tingkat kebutuhan akan kasih sayang dan sanjungan melebihi kadar kekuasaan dirinya, maka peluang menjadi politikus gila dan buta terbuka lebar. Dan jika kadar kebutuhan terhadap kekuasaan melebihi rasa kasih sayang dan sanjungan, maka pintu masuk menjadi tirani diktator dan rakus terbuka menganga.
Di Republik ini, banyak ditemui pelaku politik dan elit-elit politik berwatak seperti Nazaruddin, rakus dan cengeng. Sebegitu rakus, busuk dan cengengnya, semangat koar-koar mau membongkar borok-borok, tiba-tiba mengendur dan tak berdaya saat berhadapan dengan hukum. Nazaruddin ngeles berlagak blo’on dan bahlul. Nampak seperti bocah ingusan yang baru kehilangan permainan gasing.
Tapi, kisah Nazaruddin hanyalah ciri khas bagaimana manusia itu secara rakus memakan sesamanya saat dipucuk kejayaan dan kekuasaan. Dan puncak kebusukan itu ditunjukkan saat ledakan pemberitaan media massa tentang surat Nazaruddin untuk Presiden SBY. Semua tidak memperkirakan bahwa beberapa hari kemudian, ternyata Presiden SBY termakan provokasi Udin dan kemudian membalas surat ngeles Nazaruddin.
Jika dulu Udin merasa di’korban’kan dan akan dihabisi oleh pesaingnya, kini Udin dibiarkan hidup, didudukkan sambil menyaksikan sendiri batok kepalanya akan dikikir sebelum otaknya diiris dan digoreng para pesaing-pesaing itu yang tak kalah rakus dan beringas. Jika apa yang ditulis oleh Nazaruddin secara vulgar itu benar dan bisa dipercaya, maka teror nyawa dari politisi busuk menjadi karmanya saat melakukan hal yang sama dengan kebulusan dan kebusukan kepada orang lain.
Udin menangis cengeng, nampak baduwi yang rakus, elit pesakitan rakus. Tiba-tiba berdiri dihadapan rakyat tampil memuakkan dan sok alim. Begitu menjijikkan. Dengan berlagak blo'on, bahlul dan acuh tak acuh jelas Nazaruddin telah menghina rakyat yang haknya pernah dirampok.
Dalam politik dan kekuasaan, manusia harus pandai menyeimbangkan sebagian rasa kasih sayang dan sanjungan. Sebaliknya juga, mesti cerdas memperkecil kebutuhan dirinya akan kekuasaan dan menyeimbangkan keduanya. Keseimbangan, kasih sayang dan kekuasaan ibarat mizan dan etika dalam politik. Keseimbangan ini, jika dituntaskan oleh elit politik negeri ini, maka sosok Nazaruddin Nazaruddin tidak akan pernah ada.
Kisah Nazaruddin di atas, paling tidak, bisa mendistorsi psikologi publik, bahwa masyarakat sedemikian cemas atau pengecut menghadapi fenomena pergulatan elit politik di negeri ini sebagai titik kesempurnaan persaingan. Betul bahwa semua manusia ingin hidup tenang dan senang. Namun, ketika kehidupan dunia dijalani dengan keseimbangan akan kebutuhan, kekuasaan dan sanjungan, tentu hidup tenang di dalam alur perbedaan menjadi wajar, sewajar menerima resiko perbedaan yang muncul.