Mohon tunggu...
Black Horse
Black Horse Mohon Tunggu... -

Black Horse; Nomaden, Single Fighter Defence.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Jangan Anggap Remeh Aksi Sondang Hutagalung

12 Desember 2011   22:05 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:25 2116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

[caption id="attachment_149155" align="alignleft" width="340" caption="Sondang Hutagalung"][/caption] Hari-hari ini, orang-orang di lingkaran dekat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono masih percaya – dan ingin orang banyak percaya – kalau Indonesia kebal dari revolusi ala Timur Tengah. Tak ada alasan untuk cemas, tak ada dalil untuk gelisah. Karenya, orang-orang penting itu selalu sibuk berkampanye kalau rejim Susilo Bambang Yudhoyono telah berhasil meningkatkan kesejahteraan rakyat, memangkas angka-angka kemiskinan meskipun di sudut-sudut kolong jembatan yang pengap, banyak anak-anak sebangsa telah mati karena kelaparan dan ratusan bahkan ribuan terbaring lemas berbalut kulit. Merujuk pada kondisi politik terakhir pasca aksi Sondang Hutagalung, Sekretaris Kabinet (Seskab) Dipo Alam menyesalkan aksi mahasiswa Universitas Bung Karno yang olehnya dianggap keliru. "Pemuda berjuang harus berani hidup, bukan berani mati," kata Dipo. Kompas. Tak kalah dari Seskab, Juru Bicara Presiden Julian Aldrin Pasha juga cukup latah mengatakan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono turut bersedih. Dipo tak cukup dalil untuk menyesalkan aksi Sondang, sebab sebagaimana yang diakuinya sendiri, ia belum mengetahui motivasi apa dan mengapa Sondang Hutagalung nekat menjadi "martir". Pun Presiden tak cukup alasan sekedar bersedih,  sebab selama ini pemerintah terlalu buta tuli untuk menampung kedalaman dan kelembutan jiwa dan aspirasi orang sebangsa. Barangkali orang-orang di lingkaran dekat presiden mungkin juga lupa, atau pura-pura lupa, kalau revolusi Timur Tengah punya semua yang dibanggakan Jakarta selama ini– jika tak lebih baik. Bukankah negara-negara Timur Tengah adalah pasar gedung-gedung pencakar langit, orang-orang pintar, cantik, berdasi dan super kaya? Bukankah di sana ada kota-kota yang eksotik, sungai-sungai dan gurun yang menghanyutkan, bursa saham yang angkanya melonjak-lonjak, ada pembangunan dan investasi, dan aneka statistik kemajuan yang selalu sedap di telinga? Tidakkah pula stabilitas politik dan kemapanan ekonomi dan politik sokongan Amerika dan Barat disana menjelma sebelum berganti dengan ledakan kemarahan dan frustasi orang banyak? Sebuah revolusi yang kedatangannya menertawakan kepandaian semua lembaga intelejen dunia, dari CIA hingga Mossad!? Dalam beberapa bulan terakhir, koran, teve dan majalah di Jakarta – dan media-media Barat tempat media Jakarta berkiblat – umumnya mewartakan Revolusi Timur Tengah dengan sudut pandang yang murah dan mudah ditebak. Rakyat disana marah karena lapar dan banyak pengangguran, polisi main tembak, terjadi kerusuhan, penjarahan, dan pembunuhan. Mereka bilang revolusi bikin ekonomi jungkir balik, hidup susah dan kecemasan di mana-mana. Tapi Revolusi Timur Tengah bukan kulit ari yang mudah dicubit lalu dikelupas. Ia melibatkan berjuta jiwa manusia dan sebab itu terlalu tinggi, kompleks dan mulia untuk terjaring hitung-hitungan rendah duniawi para penguasa dan media pro penguasa. Ia spontan dan murni, tanpa tokoh di depan, tanpa partai yang menjaring, tanpa aba-aba dan perintah yang nyaring. Ia menggelinding begitu saja di jalan-jalan, bersama jutaan orang yang hangus hatinya pada penguasa didikan Amerika dan Barat, pada jenderal dan ekonom-ekonomnya, dan pada Amerika dan Eropa dan Israel yang berpuluh-puluh tahun menyanggah pilar-pilar kediktatoran pemimpin kaum berigal. Ia juga membawa kesejukan demokrasi, tanpa teror dan pembunuhan massal, tanpa bom dan jet tempur layaknya demokrasi yang dipaksakan Amerika via invasi dan pendudukan atas Irak dan Afghanistan dalam satu dekade terakhir. Ia kebal dari bayang-bayang seram mesin-mesin pembunuh rezim penguasa, dari polisi rahasia hingga gas air mata mematikan bantuan Amerika dan Eropah. Ia juga dewasa sebab tak lagi memberi tempat pada jargon-jargon sumbang “demokrasi”, “stabilitas”, “dialog”, "HAM", dan “reformasi” yang didengung-dengungkan duo Barack Obama dan Hillary Clinton dan dipancarluaskan oleh CNN, Fox News dan teve-teve pro Pentagon sebangsanya. Kini, hari-hari ini di Jakarta, ada jutaan orang yang ingin melihat kursi kekuasaan presiden segera terjungkal. Jika dulunya mahasiswa yang mendominasi demonstrasi anti-Soeharto, sekarang pasca aksi  Sondang Hutagalung, nampak semua lapisan masyarakat akan hadir dan saling menjaga dan meruwat. Revolusi Timur Tengah adalah mimpi buruk setiap rezim yang tak populer di seluruh penjuru dunia. Disana, mereka telah menunjukkan kalau Islam dan Kristen bisa bergandengan tangan, petani dari dusun-dusun yang jauh bisa berbaur, berbanjar dan berpolitik bersama barisan dokter, perawat dan jaksa, buruh bangunan, tukang ledeng, pandai besi, pedagang, mahasiswa dan pelajar. Bahkan bocah-bocah SD. Kini, di Jakarta, rakyat akan membawa bukti kasat mata kalau orang kecil bisa melawan, menuntut hak. Kalau raksasa, bahkan yang kaki-kakinya dikuatkan Amerika dan Israel sekalipun, bisa terguncang dan limbung. Mereka hanyalah rakyat yang kebutuhannya kecil dan sepele, yang bakal diam jika perutnya kenyang, jika bisa mengkredit motor, mobil dan rumah, jika anaknya bisa sekolah dan berobat gratis. Mereka adalah orang-orang kecil yang seluruh hidupnya, bahkan tujuh turunannya, bisa dipadatkan dalam satu dua digit statistik inflasi, nilai tukar, pertumbuhan ekonomi dan sesukunya. Mereka adalah orang-orang yang keinginannya selalu bisa ditawar murah. Namun harga dirinya tak bisa bisa dikail dan ditenggelamkan dengan senjata dan gas air mata. Sejarah bakal mencatat kalau rejim sekarang ini adalah bukti kesekian kebangkrutan pandangan dunia materialistik dan jumawa kaum penguasa; pandangan yang selalu gagal memotret dan memahami kalau di setiap jiwa manusia, ada fitrah suci karunia Tuhan Yang Tinggi. Fitrah yang dengannya setiap orang, tak peduli dia Jawa atau China, dia Papua atau Bugis, Dayak atau Batak cenderung dan selalu mendambakan kebaikan, pada pengorbanan, pada keberanian, kemajuan, kemakmuran, kehormatan diri, pada seluruh sifat baik dan mulia. Fitrah yang dengannya setiap orang juga otomatis tak pernah sudi menanggung kehinaan, penindasan, teror dan eksploitasi, apapun bentuknya. Hai Jakarta! Ini jiwa manusia Bung!. Bukan angka-angka yang bisa dinolkan begitu saja. [] Sumber gambar Bonus link; - http://nasional.kompas.com/read/2011/12/11/15080599/Pemerintah.Harus.Berkaca.pada.Kasus.Sondang - http://nasional.kompas.com/read/2011/12/11/15302758/Sondang.Berpesan.Lanjutkan.Perjuangan - http://nasional.kompas.com/read/2011/12/11/17332748/Mahasiswa.Bersatu.Lanjutkan.Semangat.Sondang - http://www.rakyatmerdekaonline.com/read/2011/12/12/48665/Kibarkan-Merah-Putih-Setengah-Tiang-- Hingga-Rezim-SBY-Jatuh!- - http://www.rakyatmerdekaonline.com/read/2011/12/11/48637/Yahya-Habib:-Kematian-Sondang-Momen-Kebangkitan-Melawan-Kezaliman-

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun