[caption id="attachment_194711" align="alignleft" width="400" caption="goodbye"][/caption] Hari ini, 17 July 2012 22:44 saya mendapatkan anugerah sepucuk surat cinta dari Admin Kompasiana. Surat cinta itu berjudul cukup manis namun dramatis, "Komentar Mempertentangkan SARA", berikut cuplikannya. "Untuk menjaga suasana kondusif, kami mempersilakan Anda berinteraksi dengan santun dengan menghindari pernyataan yang bersifat melecehkan, merendahkan, maupun menyerang pribadi dan/atau unsur-unsur SARA. Pemberitahuan ini berlaku sebagai peringatan sebelum sanksi pembekuan akun diberlakukan jika ditemukan laporan atau bukti lain atas pelanggaran serupa di kemudian hari." Kompasiana Well. . . . saya bukan tipe pengeluh, karena itu saya tidak akan menyalahkan Admin dan Admin pada posisi benar, sebab adalah tanggungjawabnya sebagai pengelola "negeri" ini untuk menjaga suasana kondusif, aman dan terkendali. Saya juga tidak akan menuduh siapa penduduk negeri ini salah, semua benar tak ada yang perlu disalahkan. Sebelum perpisahan terakhir dan sebelum akun @Black Horse ini benar-benar lenyap, ada unek-unek yang perlu disampaikan. Bahwa ada semacam semangat besar di negeri Kompasiana ini jika saja pencari kebenaran tidak hanya sekedar berdiskusi, berdialog dan berdebat, berbagi atau bertukar pikiran, tetapi siap berpukul-pukulan pandangan sekeras dan sealot mungkin. Bahkan tidak lagi membenturkan, kalau perlu bahkan juga menghantamkan. Namun pada saat yang sama suasana itu harusnya menjadi semen perekat yang tak terelakkan. Namun, sayangnya sebagian penduduk negeri ini terlalu cengeng, suka mengeluh dan pengecut. Benar bahwa dalam diskusi tajuk apapun, acapkali liar membabi buta, bak teror yang mengganggu jaminan keamanan intelektualitas dan merusak martabat pribadi serta kehormatan sosial seseorang. Alasan, bisa jadi karena dalam diskusi ada semcam kekuatan mengjungkirbalikkan kemapanan, kebulatan, kepuasan dan mengguncang keamanan emosionalitas. Andai saja dalam diskusi itu argumentasi dipandang sebagai amanat dan tanggung jawab kolektif, sungguh kita akan menemukan sebuah masyarakat kritis yang tanggap dan sadar, saling berbagi pikiran dan berbagi tugas. Sayangnya . . . . . Tapi, semua sadar, memang hanya segelintir orang di negeri ini yang punya nyali dan keberanian dalam memihak atau mengambil sikap berbeda, keberanian mempertahankan sikap, setebal keberanian merubah sikap untuk menjadi ragu atau menerima kesimpulan yang benar. Dus, akhirnya saya harus tahu diri dan undur diri. Saya sadar ke depan, saya tidak akan mampu memenuhi permintaan surat cinta dari Admin, penguasa negeri ini untuk menjadi anak manis dan bebal. Sebab kesadaran saya mengatakan saya harus melawan dan mempertahankan setiap pembusukan yang disematkan tepat di jidat saya. Mohon maaf kepada keluarga besar negeri ini. Wassalam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H