Sebaliknya juga demikian, ketika ada rasa empati kepada mereka yang tertindas, konsekwensinya adalah membenci sang penindas. BUKAN SEBALIKNYA! . . . Sebab tidak mungkin antara benci dan empati disatukan, begitulah kebijakan yang ada dalam diri manusia, benci dan empati adalah proposisi yang mustahil menyatu.
Saudaraku Charles Tobing, terima kasih atas tanggapannya. Supaya runut, lengkap dan jelas konteks permasalahannya, mula-mula silahkan baca artikelBu Dina disini beserta diskusi didalamnya. Kemudian silahkan baca artikel Saudara saya, Charles Tobing disini.
Berikut ini jawaban saya. . . . yang saya tandai "[]" adalah tanggapan dari Bung Charles, dan tanda "---" tanggapan saya.
[Untuk Black Horse saudaraku, tentu penulis mengakui dan menghargai kesimpulan akademis, apalagi yang sudah diuji secara akademis juga. Hanya saja penggunaannya sebagai referensi untuk opini pribadi yang mungkin mempengaruhi perilaku atau tindakan orang lain perlu dilakukan secara bijaksana.]
---Oke saya setuju itu, karena kebijaksanaan adalah standard berfikir dan bertindak. Hanya dengan kebijakasanaan lah seseorang bisa meletakkan kebenaran pada tempatnya. Banyak kebenaran menjadi kabur realitasnya ketika digunakan dengan tidak bijak, dan banyak ditemukan keburukan dan kejahatan menjadi 'panutan' dan digunakan sebagai standar “bijak” karena mengabaikan kebijaksanaan.
[Perihal buku ”America’s War on Terrorism” karangan Prof. Michel Chossudovsky, tentu saja bisa dilihat menjadi suatu output dari kegiatan akademik. Seberapa besar obyektivitasnya tentu masih dapat diuji atau didebat secara akademik juga. Intinya bukan itu.
Mengacu analogi saudara tentang pandangan dokter, bahkan dokter sekalipun berusaha menyembuhkan atau mencegah penyakit berdasarkan gejala-gejala yang kelihatan. Kemudian gejala-gejala tersebut disimpulkan menjadi diagnosa yang diikuti rekomendasi tindakan berdasarkan pengalaman empiris yang pernah dilakukan untuk mengatasi keluhan pasien. Hasil dari penerapan rekomendasi tersebut divaluasi dalam kurun waktu tertentu. Jika (cenderung) efektif, maka pengobatan dilanjutkan sampai tuntas. Jika tidak, dilakukan kegiatan lain untuk mengetahui sumber penyakitnya.
Intinya adalah bahkan ilmu kedokteran sendiripun- yang kesimpulan-kesimpulannya relatif lebih permanen atau konsiten dibandingkan ilmu-ilmu sosial - masih memiliki kadar ketidakpastian. Karena itu hasil investigasi dan/atau kajian akademis maupun perenungan terhadap sesuatu subyek atau obyek apalagi di bidang sosial adalah sesuatu yang masih dapat diperdebatkan.]
---Permasalahannya bukan pada poin itu, tapi dokter sebagai ahli, memiliki tanggungjawab besar atas keilmuan dan keahlian yang dimilikinya, dan dokter bertanggungjawab penuh atas hasil analisa yang dia lakukan terhadap gejala penyakit plus pencegahan ataupun pengobatannya. Karena itu orang awam dapat mengikuti petunjukanya dengan berpegangan bahwa dokter memiliki tanggungjawab secara ilmiah dihadapan masyarakat.
[Karena itu, dalam konteks ini seharusnya buku itu jangan digunakan sebagai referensi atau menjadi bagian dari kampanye mengenai sebuah dugaan atau hypothesis tentang adanya konspirasi jahat oleh suatu bangsa terhadap bangsa lain yang dilakukan dengan memberikan pendidikan yang salah mengenai sebuah konsep yang ada dalam agama terhadap sekelompok umat pemeluk agama tersebut dan akhirnya menggerakkan kelompok tersebut untuk melakukan tindakan yang menciptakan persepsi yang salah terhadap agama itu sendiri. Sekali lagi, karena kebenaran dugaan tersebut masih sangat di perdebatkan.]
---Malah sebaliknya, buku tersebut dapat menjadi referensi, karena ditulis oleh seorang ahli, yang tentunya penulis buku tersebut melalui referensi-referansi yang dapat dipertanggungjawabkan, dan begitu juga dengan analisa serta ketetapan yang dibuatnya.
Jadi nilai buku yang berupa analisa berbeda dengan novel atau fiksi, yang 'kadang' tidak menyertakan nilai otentik ilmiah dan tidak berdasarkan pada landasan referensi ilmiah.
Pada buku-buku yang berupa analisa, bisa saja muatan ilmiahnya didebatkan, tapi bukan berarti akan menghilangkan makna ilmiah yang dikandungnya. Nilai ilmiah itu akan berkurang jika didapati ada pandangan baru yang berbeda dari pandangan ahli sebelumnya. Perbedaannya pun bukan berarti menghilangkan kredibelitas ilmiah yang dikandung sebelumnya. Jadi permasalahannya adalah, konteks referensi aktual dan faktual terhadap tulisannya tetap bisa terjaga. Seandainya pun, didapati seorang ilmuan yang membawakan tulisan dengan dasar fakta aktual, maka keduanya akan memiliki dasar ilmiah yang mencukupi untuk diikuti. Sekalipun ada yang menentangnya. Dan setiap orang dapat mengikuti pandangan siapa saja yang menurut dia lebih mendasar dan baik secara argumentative.
[Bayangkan kalau artikel ibu Dina diartikan salah oleh pembaca yang ekstrim dalam beragama. Ini akan menjadi seperti bensin yang disiramkan kedalam api yang meningkatkan kebencian kepada AS dan dapat direalisasikan menjadi tindakan-tindakan teror. Pada akhirnya warga sipil juga yang jadi korban. Lebih parahnya lagi korbannya bukan hanya warga dan /atau aset AS saja tapi juga yang lain. Mohon dicatat, bukan berarti kalau korbannya hanya warga/aset AS lantas “kadar” kejahatannya berkurang.]
---Semustinya kita perlu menyadari dan berfikir sejenak, apakah tindakan arogansi AS didunia sekarang ini tidak akan membawa masyarakat untuk 'lebih' membencinya atau tidak. Ini yang harus difikirkan oleh AS. Misalnya dengan invasi berdarah-darah ke Iraq dan Afghanistan dengan ornamen demokrasi, HAM dan segala pentungannya dapat dipertanggungjawabankan dihadapan masyarakat manusia atau tidak. Kalau tindakan itu sudah hilang dari kadar kebijakan manusia, maka jangan salahkan jika akan muncul ekstrimisme dan kebencian yang lebih terhadap AS, karena tindakan itu pasti menimbulkan reaksi yang natural.
Lihatlah, para peneliti internasional menyatakan bahwa dari 1 orang Taliban yang terbunuh, disana terdapat 10 orang warga sipil. Ini kita bisa saksikan dengan mata telanjang adegan paling beradap pasukan AS di Pakistan dan Afghanistan yang menggunakan pesawat drone akhir-akhir ini. Rakyat Pakistan merasakan itu, masyarakat dunia melihat adegan itu, dan tidak ada dalil kuat bagi AS untuk melakukan hal tersebut di teritorial Pakistan dan Afghanistan, dua negara berdaulat!. Kemudian ketika tiba-tiba rakyat Pakistan bangkit melawan dan menjadi beringas, apakah mereka jadi salah? Dan siapa yang patut disalahkan dalam kasus demiian?!
[Untuk Ibu Dina yang penulis hormati, penulis menjelaskan sebagai berikut.
Penulis tidak lantas menyimpulkan bahwa dugaan adanya konspirasi itu salah. Penulis terlalu sombong kalau begitu. Investigasi secara konektivitas dan independen masih diperlukan untuk membuktikan dugaan itu. Tentu saja kemungkinan terhadap adanya investigasi seperti ini adalah sangat kecil. Teori konspirasi akan tetap menjadi teori yang takkan teruji.]
---Tentu saja kemungkinan adanya investigasi seperti ini adalah sangat kecil. Teori konspirasi akan tetap menjadi teori yang takkan teruji, tapi pandangan dari teori ini yang perlu diuji, karena kebetulan di regional sana terdapat wartawan investigative dan juga banyaknya LSM-LSM internasinal yang dapat dipertanggugnjawabkan kredibiltasnya, selain laporan dari NATO dan atau cerita pasukan yang hadir disana. Kelihatannya teori yang ada, hanya sekedar dibuat untuk menutupi kenyataan aktual dan factual dilapangan . . .
[Sekarang apakah teori seperti itu dapat digunakan sebagai referensi untuk menyelesaikan masalah? Penulis yakin tidak. Seperti yang sudah penulis sampaikan di atas, malah akan menjadi seperti bensin yang disiramkan ke api.]
---Sejauh yang saya fahami, tulisan yang dibuat adalah bersifat informative terhadap perbuatan negara yang katanya menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi, tapi menjadi “api”. Kemudian ada orang yang khawatir akan ada “bensin” yang disiramkan. Kenapa khawatir? . . . kekhawatiran seorang yang bijak adalah pada “api” yang dikobarkannya, bukan akibat api yang akan berkobar lebih besar . . . apalagi ketika “api” dikobarkan dengan sekian banyak tipuan dan kebohongan untuk menutupinya, jangan salahkan orang lain ketika mengambil kebijakan untuk bangkit melawan api dan berusaha sekuat tenaga untuk “memadamkannya” . . .
[Dalam konteks yang menyangkut permasalahan antara AS dan Islam, penulis melihat bahwa sebenarnya tidak ada kaitan Islam dalam permasalahan yang ada. Bahkan tidak ada permasalahan AS dengan Islam. Memasukkan atribut agama dalam permasalahan maupun penyelesaiannya telah dan hanya akan menambah kompleksitas permasalahannya saja.]
---Kalau boleh saya katakan, pendapat : [Dalam konteks yang menyangkut permasalahan antara AS dan Islam, penulis melihat bahwa sebenarnya tidak ada kaitan Islam dalam permasalahan yang ada.] sangat bertentangan dengan referensi yang ada . . .coba baca lagi tentang terbentuknya Taliban atau al Qaida, misalnya. Siapa yang membuat? Melatih dan menggerakkannya? Kalau Hillary Clinton mengakui bahwa AS ada dibelakang pembentukan Taliban, kenapa Anda menolaknya? Padahal kalau saja Anda mengetahui mulai dari kata Taliban, dan idiologi yang diusung dan personal yang aktif dan diaktifkan oleh AS disana, semuanya menyangkut dengan Islam . . .?! Bagaimana Anda akan mencoba menutupi ini semua???
[Masalah yang terjadi di dunia sekarang ini sebenarnya adalah akibat dorongan alami yang sejak jaman purba telah ada pada manusia yaitu kompetisi untuk mempertahankan hidup dan melanjutkan keberadaan spesies dan kelompoknya. Dalam persaingan itu kemudian muncul seseorang atau satu kelompok yang lebih dominan yang utamanya didapatkan dari keunggulan fisik, pengetahuan dan teknologi.]
---Sekali lagi, apakah Anda akan mengatakan bahwa AS sudah menjadi kekuatan hegemoni dengan mentalitas masyarakat purba yang hendak menguasai manusia yang lain?.
[Individu atau kelompok yang lebih lemah kemudian berusaha meningkatkan daya saingnya dengan mengajak individu atau kelompok lain untuk membuat kelompok yang setara atau lebih kuat dari kompetitornya. Dalam rangka membujuk orang atau kelompok lain untuk memberikan dukungan maka dilekatkanlah berbagai macam atribut pada kelompok tersebut termasuk ras dan agama sebagai unsur pengait.]
---Analisa saya, Anda sedang menulis dengan bahasa terbalik, dimana kekuatan hegemoni sebagai kekuatan dominan yang berkuasa dan hendak menutupi kekuasaanya dengan atas nama kebijakan kemudian memaksa semua orang dan kelompok lain supaya mengikuti semua jejak dan ketetapannya, dan kalau ada yang keluar dari garis yang ditetapkan oleh AS, maka mereka akan disebut sebagai ekstrimis atau teroris . . Bukan begitu bung Charles?!
[Tidak ada satu orang atau kelompok, termasuk penulis, yang menyukai dominasi atau orang atau kelompok lain. Fakta dalam kehidupan tidak begitu. Dominasi pasti terjadi, entah dalam bentuk fisik, pengetahuan dan ekonomi. Akan selalu ada kesenjangan. Untuk mengurangi tingkat kesenjangan itu cara satu-satunya adalah melalui memperkuat diri dalam bidang-bidang yang tidak atau kurang bersaing.]
---Kalau begitu, maka seharusnya tidak ada umat yang menyukai AS yang secara terus menerus berusaha menegakkan dominsi “ke-super-an”nya dan selalu mendesak negara-negara lemah atau yang sudah dilemahkan. Maka tidak mengherankan jika banyak orang menjadi pion mendukung buta atas semua kebijakan AS, tapi Anda jangan salah, memang ada sebagaian yang hanya memilih untuk diam, dan sebagaian berusaha untuk melawan . . . dengan cara apapun termasuk PERLAWANAN dengan cara menulis!.
[Empati terhadap seseorang atau lebih seharusnya dilakukan tanpa melihat atribut yang melekat pada orang tersebut. Penulis berempati terhadap korban perang di Palestina. Penulis berempati terhadap semua korban perang di Libya baik yang pro maupun anti Gadaffy. Penulis berempati terhadap anak-anak yang kelaparan di Somalia. Empati tersebut tanpa memperdulikan apa ras dan agamanya.]
---Sebaliknya juga demikian, ketika ada rasa empati kepada mereka yang tertindas, konsekwensinya adalah membenci sang penindas. BUKAN SEBALIKNYA! . . . Sebab tidak mungkin antara benci dan empati disatukan, begitulah kebijakan yang ada dalam diri manusia, benci dan empati adalah proposisi yang mustahil menyatu.
[Contoh lain, mari kita dukung kemerdekaan Palestina. Dukungan itu bukan karena mereka mayoritas Islam, tetapi karena eksistensi dan kemerdekaan adalah hak semua bangsa.
Ibu Dina yang baik , penulis terdorong menanggapi tulisan ibu karena tidak ingin tulisan ibu ini untuk secara langsung atau tidak langsung menjadi pendorong bagi orang-orang yang salah memahaminya terhadap melakukan aksi-aksi yang ibu sebut jihad ala Amerika.]
---Sayang sekali, jika Anda harus mengkhawatirkan tulisan Bu Dina. Sebab semustinya statmen Anda itu diperjelas, siapa yang harus disalahkan atas kesalahan objektif ilmiah yang membuat permasalahan, sehingga kesalahan objek kebencian tidak jatuh pada titik yang salah. Hukum yang benar adalah sebuah ketetapan yang harus dijadikan landasan penegakan hukum, dan tidak serta merta menghukumi orang dengan UJUG-UJUG salah. Dan semustinya pula, tulisan bu Dina didukung untuk membawa masyarakat melihat konteks masalah secara benar, apa adanya dan ala kadarnya demi penghukuman secara objektif.
[Sebagai ilustrasi, di satu sisi : “Saya atau kami adalah orang Arab, maka bangsa Arab dukunglah kami”. “Dia atau mereka adalah Islam, mari kita dukung mereka”. ” Semuanya adalah konspirasi jahat AS” “Mari berangkat ke medan perang” . “Mari kita ciptakan perang terhadap Amerika dan sekutunya” .. “Mari berjihad”. Maka terjadilah peristiwa 911, pemboman di Bali, bom bunuh diri disana sini.
Di sisi lain : ”Islam memerangi AS dan sekutunya”. “Mereka adalah Kristen, karena itu harus dibela”. “Islam harus diperangi”. “Islamisasi harus dicegah”. ”Pemerintah bertanggung jawab”. Maka terjadilah peristiwa Norwegia.]
---Disinilah Anda mencampuradukkan proposisi benar dan salah. Antara tidak rasional dan tidak ilmiah. Sekali lagi, mustinya tulisan bu Dina tidak dipandang demikian. Apa yang dilakukan oleh Amerika di negara-negara yang rakyatnya beragama Islam?!
Apakah hal tersebut diatas dilakukan untuk kepentingan rakyat negara yang di “ziarahi” oleh AS atau untuk kepentingan AS? Adakah itu untuk kepentingan Islam atau untuk kepentingan manusia, atau kepentingan siapa?.
Kenapa banyak muslimin terbunuh, misalnya di Iran sejak invasi AS di Iraq, kenapa banyak warga sipil menjadi korban di Afghanistan, kenapa warga sipil muslimin yang lebih banyak menjadi korban atas serangan ilkegal AS di Pakistan? Dan ini yang masih hangat, kenapa banyak penduduk sipil muslimin terbunuh di Libya?
Apa orang muslimin tidak memiliki keyakinan bahwa antar muslimin dengan muslimin lain adalah bersaudara? Apakah Anda fikir mereka tidak pernah memikirkan siapa yang salah dan siapa yang benar?!
Siapa yang menyuruh AS melakukan invasi dan serangan ke negara-negara Arab (Iraq, Yaman, Bahrain, Kuwait, Saudi) dan Non Arab (Afghanistan dan Pakistan)?!.
Kenapa ketika seorang atau kelompok muslimin menjadi korban lalu orang mengambil kesimpulan bahwa AS datang untuk kepentingan mereka sendiri dan bukan kepentingan rakyat dan agama rakyat regional, selalu disalahkan dan di kambinghitamkan? Kenapa ketika muslimin menggalang solidaritas muslimin untuk menghadapi invasi AS di Negara Arab dan non Arab perlu dihentikan dan dihancurkan? Kenapa tidak bersama-sama menghentikan invasi AS di negara-negara muslimin dan negara lain?.
[Akhirnya masalahnya malah semakin rumit. Entah berapa banyak lagi darah harus tertumpah hanya karena atribut? Apakah kita akan menambah kerumitan seperti itu? Saya yakin tidak.]
---Saudaraku, permasalahan cukup simple, “padamkan api sehingga tidak ada yang terbakar”, hentikan invasi AS, maka muslimin akan diam, hentikan pembunuhan rakyat sipil termasuk anak-anak dan wanita, sehingga dunia tidak bergejolak. Hentikan langkah pongah AS untuk masuk ke negara lain . . . Jadi bukan dengan alasan dan atribut teroris yang ditegakkan, ingat yang mengarahkan telunjuknya ke yang lain sebagai teroris, sebenarnya dia lah yang teroris . . .
Salam damai
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H