Jadi nilai buku yang berupa analisa berbeda dengan novel atau fiksi, yang 'kadang' tidak menyertakan nilai otentik ilmiah dan tidak berdasarkan pada landasan referensi ilmiah.
Pada buku-buku yang berupa analisa, bisa saja muatan ilmiahnya didebatkan, tapi bukan berarti akan menghilangkan makna ilmiah yang dikandungnya. Nilai ilmiah itu akan berkurang jika didapati ada pandangan baru yang berbeda dari pandangan ahli sebelumnya. Perbedaannya pun bukan berarti menghilangkan kredibelitas ilmiah yang dikandung sebelumnya. Jadi permasalahannya adalah, konteks referensi aktual dan faktual terhadap tulisannya tetap bisa terjaga. Seandainya pun, didapati seorang ilmuan yang membawakan tulisan dengan dasar fakta aktual, maka keduanya akan memiliki dasar ilmiah yang mencukupi untuk diikuti. Sekalipun ada yang menentangnya. Dan setiap orang dapat mengikuti pandangan siapa saja yang menurut dia lebih mendasar dan baik secara argumentative.
[Bayangkan kalau artikel ibu Dina diartikan salah oleh pembaca yang ekstrim dalam beragama. Ini akan menjadi seperti bensin yang disiramkan kedalam api yang meningkatkan kebencian kepada AS dan dapat direalisasikan menjadi tindakan-tindakan teror. Pada akhirnya warga sipil juga yang jadi korban. Lebih parahnya lagi korbannya bukan hanya warga dan /atau aset AS saja tapi juga yang lain. Mohon dicatat, bukan berarti kalau korbannya hanya warga/aset AS lantas “kadar” kejahatannya berkurang.]
---Semustinya kita perlu menyadari dan berfikir sejenak, apakah tindakan arogansi AS didunia sekarang ini tidak akan membawa masyarakat untuk 'lebih' membencinya atau tidak. Ini yang harus difikirkan oleh AS. Misalnya dengan invasi berdarah-darah ke Iraq dan Afghanistan dengan ornamen demokrasi, HAM dan segala pentungannya dapat dipertanggungjawabankan dihadapan masyarakat manusia atau tidak. Kalau tindakan itu sudah hilang dari kadar kebijakan manusia, maka jangan salahkan jika akan muncul ekstrimisme dan kebencian yang lebih terhadap AS, karena tindakan itu pasti menimbulkan reaksi yang natural.
Lihatlah, para peneliti internasional menyatakan bahwa dari 1 orang Taliban yang terbunuh, disana terdapat 10 orang warga sipil. Ini kita bisa saksikan dengan mata telanjang adegan paling beradap pasukan AS di Pakistan dan Afghanistan yang menggunakan pesawat drone akhir-akhir ini. Rakyat Pakistan merasakan itu, masyarakat dunia melihat adegan itu, dan tidak ada dalil kuat bagi AS untuk melakukan hal tersebut di teritorial Pakistan dan Afghanistan, dua negara berdaulat!. Kemudian ketika tiba-tiba rakyat Pakistan bangkit melawan dan menjadi beringas, apakah mereka jadi salah? Dan siapa yang patut disalahkan dalam kasus demiian?!
[Untuk Ibu Dina yang penulis hormati, penulis menjelaskan sebagai berikut.
Penulis tidak lantas menyimpulkan bahwa dugaan adanya konspirasi itu salah. Penulis terlalu sombong kalau begitu. Investigasi secara konektivitas dan independen masih diperlukan untuk membuktikan dugaan itu. Tentu saja kemungkinan terhadap adanya investigasi seperti ini adalah sangat kecil. Teori konspirasi akan tetap menjadi teori yang takkan teruji.]
---Tentu saja kemungkinan adanya investigasi seperti ini adalah sangat kecil. Teori konspirasi akan tetap menjadi teori yang takkan teruji, tapi pandangan dari teori ini yang perlu diuji, karena kebetulan di regional sana terdapat wartawan investigative dan juga banyaknya LSM-LSM internasinal yang dapat dipertanggugnjawabkan kredibiltasnya, selain laporan dari NATO dan atau cerita pasukan yang hadir disana. Kelihatannya teori yang ada, hanya sekedar dibuat untuk menutupi kenyataan aktual dan factual dilapangan . . .
[Sekarang apakah teori seperti itu dapat digunakan sebagai referensi untuk menyelesaikan masalah? Penulis yakin tidak. Seperti yang sudah penulis sampaikan di atas, malah akan menjadi seperti bensin yang disiramkan ke api.]
---Sejauh yang saya fahami, tulisan yang dibuat adalah bersifat informative terhadap perbuatan negara yang katanya menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi, tapi menjadi “api”. Kemudian ada orang yang khawatir akan ada “bensin” yang disiramkan. Kenapa khawatir? . . . kekhawatiran seorang yang bijak adalah pada “api” yang dikobarkannya, bukan akibat api yang akan berkobar lebih besar . . . apalagi ketika “api” dikobarkan dengan sekian banyak tipuan dan kebohongan untuk menutupinya, jangan salahkan orang lain ketika mengambil kebijakan untuk bangkit melawan api dan berusaha sekuat tenaga untuk “memadamkannya” . . .
[Dalam konteks yang menyangkut permasalahan antara AS dan Islam, penulis melihat bahwa sebenarnya tidak ada kaitan Islam dalam permasalahan yang ada. Bahkan tidak ada permasalahan AS dengan Islam. Memasukkan atribut agama dalam permasalahan maupun penyelesaiannya telah dan hanya akan menambah kompleksitas permasalahannya saja.]