Bocoran telegram diplomat Amerika Serikat di situs WikiLeaks semestinya membuka mata siapa saja pada spionase, paranoia, gila urusan, standar ganda dan mulut ‘ember’ penulisnya – tentu saja kalangan diplomat Amerika, atau begitu lah keinginan awal para pendiri situs semisal Julian Assange. Tapi di Jakarta di awal Syawal ini, konteks besar itu ‘secara misterius’ hilang dalam liputan hampir semua media besar dan ini dampaknya membunuh: lambung pemerintah kita sobek di sana-sini akibat gossip ini itu dalam telegram sementara diplomat Amerika, alih-alih terpojok dan menanggung malu, justru terkesan sebagai pahlawan, penegak pilar demokrasi dan, bahkan, penjaga ‘kewarasan’ orang sebangsa. Ini khususnya tampak dalam pemberitaan pers Jakarta atas isi telegram yang mereka gadang-gadang sebagai ‘fakta percintaan gelap’ antara Front Pembela Islam dan kalangan petinggi polisi dan intelijen, seperti yang dilaporkan diplomat Amerika di Jakarta ke bos-bos mereka di Washington.
Dari pemeriksaan yang lebih dalam atas sejumlah telegram bersubjek Indonesia yang telah terpajang di WikiLeaks dalam dua pekan terakhir, dan membandingkannya dengan isi pers Jakarta, Islam Times juga mendapati adanya semacam ‘permakluman’ yang besar – jika tidak self-censorship – di kalangan redaksi media yang berujung pada keputusan mereka untuk, sejauh ini, tak menuliskan detil-detil ‘sensitif’ dalam telegram di berita mereka, sebuah isyarat adanya kemungkinan pengkhianatan besar pada janji profesi mereka untuk meletakkan kepentingan publik di atas segalanya.
Pemeriksaan lebih jauh dengan membandingkan naskah utuh sejumlah telegram yang terpajang di WikiLeaks dengan isi liputan The Age, koran Australia yang lebih dulu mendapatkan akses ‘eksklusif’ pada arsip WikiLeaks dan mempublikasikan laporannya pada 11 Maret 2011 -- The Age hingga kini tak pernah mempublikasikan naskah utuh telegram yang mereka klaim terima secara khusus dari WikiLeaks, Islam Times mendapati media Australia itu cenderung hanya memberitakan apa yang menurut mereka perlu publik ketahui dan bukan pada informasi utuh yang tertera dalam telegram. Bahkan, kamimendapati ada kesan media Australia itu dengan sengaja menyitir pemberitaan.
Kami juga mendapati adanya ‘keanehan besar’ dalam pemberitaan media-media besar Jakarta yang dalam beberapa hari terakhir ini seolah terobsesi menyoroti ‘koneksi’ FPI-Polisi-Intelijen meski faktanya, dalam telegram yang sama, ada banyak subjek lain yang penting, menarik dan patut diketahui publik.
Dalam ulasan bersambung berikut, telegram pertama yang menjadi subjek pemeriksaan kami adalah kawat diplomatik berjudul “Indonesian Biographical and Political Gossip”. Kode Q4 2005/Q1 2006 di kepala dokumen mengisyaratkan gossip politik dalam kawat ini adalah yang muncul di jagad politik nasional dalam rentang kuartal IV 2005 hingga kuartal pertama 2006. Temanya beragam dengan jumlah total dua lusin lebih:
1. Soal ‘Peran Informal’ Keluarga Presiden
Diplomat Amerika dalam subjek ini menyandarkan gosip yang mereka kirim ke Washington pada Roy Janis, bekas politisi PDI-Perjuangan. Kata telegram, dari Roy lah diplomat Amerika di Jakarta mendengar kalau keluarga besar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono punya peran yang lebih besar dalam penentuan kebijakan negara. (Roy dalam bagian ini digambarkan tetap bisa menjalin hubungan ‘tak langsung’ dengan Presiden Susilo via ‘keluarga presiden’, bahkan setelah dia keluar dari PDI-P pada 2005). Digambarkan sebagai ‘kelompok informal’, keluarga besar presiden disebutkan ‘rutin bertemu’ untuk mendiskusikan ‘urusan-urusan kebijakan’. Rapat, kata telegram, dihadiri oleh istri presiden, Kristiani Yudhoyono; Gatot Suwondo (ipar presiden yang sekaligus pejabat senior di Bank BNI); Brigadir Jenderal Pramono Edhi Wibowo (ipar lain presiden yang, kala telegram dikawatkan ke Washington, masih menjabat sebagai Komandan Kopassus). Roy, kata telegram, juga mengklaim kalau Hadi Utomo, juga ipar presiden, baru menjadi peserta tetap rapat keluarga itu setelah dia menjadi petinggi di Partai Demokrat, partai rintisan presiden.
(Catatan Islam Times: The Age sama sekali tak mencantumkan teks telegram bagian ini saat menurunkan laporannya bertajuk “Yudhoyono abused power”, 11 Maret 2011. Pihak Presiden Susilo juga telah melayangkan bantahan keras sejak The Age melansir berita yang di dalamnya menyebut-nyebut peran sentral Ibu Negara Kristiani Yudhoyono dalam pengambilan kebijakan pemerintahan).
2. Soal Hubungan Presiden dan Taufik Kiemas
Sumber gossip yang dalam tema ini dari T.B. Silalahi, penasihat presiden di tahun 2005. Kata telegram, Silalahi berbicara dengan diplomat Amerika di Jakarta pada Oktober 2005 dan membisikkan kalau Hendarman Supandji, seorang jaksa senior kala itu, yang kebetulan memimpin tim pemberantasan korupsi di kejaksaan usat, telah mengantongi cukup bukti untuk mengeluarkan surat penangkapan atas apa yang digambarkan dalam telegram sebagai ‘korupsi’ Taufik Keimas. Tapi, kata Silalahi, Presiden Susilo sendiri yang mengistruksikan ke Hendarman untuk menghentikan penyidikan atas diri Taufik.
(Catatan Islam Times: dalam telegram yang lain, T.B Silalahi digambarkan oleh diplomat Amerika di Jakarta sebagai “sepupu” Sudi Silalahi).
(Catatan Islam Times: The Age memuat utuh isi telegram bagian ini).
3. Soal Dana Kampanye Presiden Susilo
Gossip dalam subjek ini bersumber dari Silo Marbun, orang dekat Vence Rumengkang, politisi yang pernah menjabat sebagai Deputi Sekretaris Jenderal Partai Demokrat. Telegram bilang kalau usai Pemilu 2004, Presiden Susilo menawarkan jabatan ke Vence, plus cek Rp 5 miliar. Yang terakhir digambarkan sebagai imbalan atas kontribusi besar Vence pada Partai. (“Marbun menggambarkan Vence sebagai donatur utama Demokrat di tahun-tahun awal partai). Vence kabarnya menolak dua tawaran Presiden Susilo itu dan bilang dia hanya berharap berlanjutnya sokongan Presiden. Marbun juga bergosip dan bilang kalau Aburizal Bakrie menyumbang Rp 200 miliar untuk kampanye Presiden Susilo pada Pemilu 2004.
(Catatan Islam Times: The Age sama sekali tak menyebut bagian ini).
3. Soal ‘Pembangkangan’ Yusril Ihza Mahendra
Gossip dalam subjek ini bersumber dari Yahya Asagaf yang disebutkan sebagai “asisten Kepala Badan Intelijen Negara”, Syamsir Siregar. Yahya, kata telegram, bilang kalau Presiden Susilo pernah memanggil Syamsir dan minta yang terakhir mengirim spion untuk memata-matai gerak Sekretaris Kabinet, Yusril Ihza Mahendra. Presiden Yudhoyono, kata telegram, marah sebab Yusril berdalih minta izin cuti sepekan untuk kembali ke kampung halaman demi mengurus urusan keluarga tapi belakangan diketahui bepergian ke Singapura dan Vietnam. Kata Yahya, pejabat di Singapura belakangan mengetahui kalau Yusril datang untuk bertemu kalangan pebisnis China. Yahya, kabarnya berada di ruang yang sama saat Syamsir menerima telepon dari Presiden Susilo, bilang kalau ini sudah kali kedua Yusril melakukan perjalanan yang tak disetujui presiden.
(Catatan Islam Times: Laporan The Age dan pers Jakarta sejauh ini ‘menyembunyikan’ sosok Yahya, menggambarkannya ‘hanya’ sebagai “agen BIN”, dan seperti sengaja ‘menceraikannya’ dengan sosok Syamsir Siregar dalam telegram. Laporan The Age juga menyebutkan kalau pengutusan intel BIN untuk memata-matai gerak Yusril semata karena dia adalah musuh politik presiden dan bukan karena soal Yusril sudah dua kali mengajukan alasan izin palsu: ... “The cables say Dr Yudhoyono has personally intervened to influence prosecutors and judges to protect corrupt political figures and pressure his adversaries, while using the Indonesian intelligence service to spy on political rivals and, at least once, a senior minister in his own government.”)
4. Soal Dugaan ‘Simpati’ Seorang Menteri pada Ba’asyir
Sumber dalam gossip tema ini masih Yahya Asagaf. Yahya bergosip ke diplomat Amerika di Jakarta kalau Menteri Agama di tahun itu, Maftuh Basyuni, bersimpati pada Abu Bakar Ba’asyir, sosok kontroversial yang, dalam telegram, digambarkan sebagai bos besar ‘Jamaah Islamiyah’. Kata Yahya, usai mengikuti sebuah seminar di pesantren Ba’asyir, Maftuh kembali ke Jakarta dan bilang ke Yahya kalau orang-orang Ngruki “baik” dan “intelektual”. Yahya juga bilang kalau Mahfuh berencana mendukung pembangunan jalan baru menuju kawasan pesantren. Kata Yahya lagi, berdasarkan yang dia dengar dari Maftuh, bos besar BIN, Syamsir Siregar, pernah mengirim donasi untuk Ngruki. Di telegram, Yahya bilang kalau dia belum mengkonfirmasi soal yang terakhir ini ke Syamsir kendati dia bilang dia menduga ini benar adanya, mengingat Syamsir ingin mendukung kalangan ‘moderat’ di Ngruki.
(Catatan Islam Times: The Age sama sekali tak menyinggung tema ini)
5. Soal Tuduhan Menteri Sudi Terkait Rusuh di Ambon
Gossip dalam tema ini bersumber dari Roy Janis. Tanggal gossip tak disebutkan. Intinya: Roy kabarnya pernah mendengar kalau Sudi Silalahi, kala itu adalah Menteri Koordinator Politik dan Keamanan), berada di balik pecahnya kekerasan sektarian di Maluku. Roy, kata telegram, telah mengecek kabar ini ke Engelina Pattiasina, seorang anggota parlemen dari Maluku, dan mengeluhkan kekerasan di Maluku dan sosok Sudi di baliknya. Tak berapa lama lepas itu, kekerasan di Maluku berhenti dan Roy menangkap kejadian itu sebagai ‘bukti’ kemampuan Sudi mengontrol situasi dan, sebab itu, dia punya saham di balik kekerasan di Ambon. (Catatan Islam Times: dalam telegram, tak ada penjelasan apa kaitan antara Engelina dan Sudi).
Sumber gossip kedua dalam tema ini adalah “seorang diplomat Singapura” yang identitasnya tak disebutkan. Intinya, sang diplomat Singapura mendapati kesan kalau Sudi membina hubungan dengan “kelompok-kelompok radikal Islam”. Kata sang diplomat Singapura, beberapa editor senior media secara terpisah menaikkan berita seputar sebuah pertemuan di bulan Ramadhan 2005 yang dihadiri oleh seorang perwakilan Noordin Top (buron, tokoh sentral Jamaah Islamiyah kala itu) dan seorang wakil Sudi, kalau tidak Sudi sendiri. Kalangan editor berbisik ke sang diplomat Singapura kalau wajar Sudi hadir dalam rapat seperti itu mengingat dia punya koneksi dengan kalangan kelompok Islam. Ada catatan dalam telegram sekaitan hal ini. Disebutkan bahwa pada 15 November 2005, Harian Kompas menggambarkan terjadinya sebuah pertemuan pada 7 November, beberapa hari sebelum polisi membunuh Azahari dalam sebuah penggerebekan. Tujuan pertemuan disebutkan untuk memfasilitasi gencatan senjata agar JI berhenti dari menebar teror bom dan sebagai gantinya pemerintah tak akan mengejar mereka lagi.
(Catatan Islam Times: The Age sama sekali tak menyinggung tema ini)
6. Soal Tuduhan Presiden Menekan Hakim
Telegram bilang kalau Yenny Wahid (kala itu masih menjabat sebagai Deputi Sekretaris Jenderal Partai Kebangkitan Bangsa) telah berbicara ke diplomat Amerika di Jakarta dan bilang kalau PKB “tak punya pilihan” kecuali mengatur mendukung Presiden Susilo di tengah perlawanan keras Abdurrahman Wahid (ayahnya, sekaligus bekas presiden) pada rezim yang berkuasa. Yenny disebutkan bilang orang-orang sangat berpengaruh di lingkaran Presiden Susilo telah mencoba mempengaruhihasil persidangan, dengan mengintimidasi hakim, terkait sengketa dualisme PKB di pengadilan. Telegram bilang Yenny nampaknya merujuk ke sosok Sudi Silalahi. Kata telegram, Sudi mengirim orang-orangnya ke hakim yang menangani perkara dan bilang kalau Wahid adalah pembuat onar, dan jika putusan memenangkan Wahid, bisa jadi pemerintah tumbang. Yenny kemudian bilang kalau hakim yang kena tekanan melaporkan insiden ini ke tokoh PKB, yang kemudian mengajukan komplain ke Presiden Susilo. Yenny lalu bilang kalau presiden kala itu terlihat ‘terperajat’ dan ‘kecewa’ mendengarnya. Yenny juga bilang penunjukan Erman Suparno sebagai Menteri Tenaga Kerja kala itu nampaknya sebagai kompensasi atas intervensi rezim dalam kasus sengketa dualisme PKB.
(Catatan Islam Times: The Age sama sekali tak menyinggung tema ini. Di sejumlah media Jakarta, lepas The Age menurunkan berita eksklusif yang antara lain menggambarkan adanya tekanan Sudi pada hakim yang mengadili sengketa dualisme kepengurusan PKB, Yenny termasuk yang menyayangkan adanya intervensi dari pemerintah).
7. Soal Tudingan Aksa Mahmud ‘Bermain’ di PKB
Gosip dalam tema ini masih bersumber pada sosok Yenny Wahid. Yenny, kata telegram, membisikkan ke telinga diplomat Amerika di Jakarta kalau Aksa Mahmud, besan Jusuf Kalla (dalam telegram digambarkan salah sebagai “saudara” Jusuf Kalla), menggelontorkan banyak uang demi kemenangan kubu Alwi Shihab dalam Kongres PKB pada 2005.
Sumber lain gosip dalam tema ini adalah bekas politisi Partai Amanat Nasional, Alvin Lie. Dalam telegram, Alvin disebutkan membisikkan gosip kalau Ali Masykur Musa (kala itu menjabat sebagai Ketua Fraksi PKB di DPR) bentrok dengan bos besar partai kala itu, Abdurrahman Wahid. Ceritanya, dalam sebuah debat soal pemotongan subsidi bensin di DPR pada Maret 2005, Ali Masykur menerima “banyak uang” dari Aksa Mahmud sebagai gantinya PKB akan mendukung rencana pemerintah memangkas subsidi bensin. Kendati, kata telegram, Ali Masykur memakan sendiri uang itu dan sebab itulah partai tak mendapat dukungan rezim.
(Catatan Islam Times: bagian ini sama sekali tak tercantum dalam laporan The Age).
8. Soal Yenny Wahid yang Dianggap Belum Lihat Membagi Amplop
Yenny jadi subjek gosip dalam tema ini. Sumbernya: diplomat Singapura yang tak disebutkan identitasnya. Kata sang diplomat Singapura, berdasarkan informasi yang dia dengar dari Khofifah Indar Parawansa, Yenny mencoba mempengaruhi delegasi Kongres Fatayat NU agar mendukung kandidat lawan Khofifah dengan membagi-bagikan sendiri ‘amplop’ ke peserta kongres. Sang diplomat menggambarkan Yenny bukan juru bayar yang ‘baik’. Langkahnya mudah dibaca, sosoknya selalu terlihat, dan kerap membagikan uang justru ke asisten peserta kongres dan bahkan ke peserta kongres yang telah berniat memilih Khofifah. Yang terakhir menang telak dalam kongres kala itu.
(Catatan Islam Times: The Age sama sekali tak menyinggung subjek ini, begitupun dengan hampir semua media Jakarta hingga hari ini).
9. Soal Tuduhan Hubungan Gelap FPI-Polisi-Intelijen
Yahya Asagaf kembali jadi sumber gosip dalam tema ini. Kata telegram, Yahya punya hubungan yang cukup baik dengan FPI sehingga bisa membisikkan sejak awal ke kalangan diplomat Amerika di Jakarta kalau FPI bakal menggelar ‘vandalisme’ di depan Kedutaan pada 19 Februari. (Catatan Islam Times: informasi ini mungkin bisa menjawab keheranan banyak kelangan kenapa diplomat Amerika di Jakarta begitu sigap dan siap merekam kekerasan yang terjadi di luar pagar kedutaan tempo hari). Yahya, kata telegram, sebelumnya juga membisikkan kalau bos besar Polisi Indonesia kala itu, Sutanto (kini Kepala BIN), telah mengalokasikan sejumlah dana ke FPI namun pasca insiden itu dia memutuskan menghentikannya. Yahya, saat ditanya oleh diplomat Amerika di Jakarta kenapa Sutanto mau berbuat seperti itu, menjawab kalau Sutanto mendapati FPI baik jika bisa menjadi “anjing penyerang”. Saat dikejar dengan pertanyaan kegunaan FPI bagi Sutanto, mengingat polisi juga bisa mengintimidasi (jika mau), Yahya lalu menggambarkan FPI sebagai alat multiguna yang bisa menyelamatkan ‘aparat keamanan’ dari kena kritik sebagai pelanggar hak asasi. Dia juga bilang kalau kebijakan aparat keamanan mendanai FPI sudah jadi sebuah “tradisi”. Kata Yahya, Ali As’ad, bekas deputi BIN, adalah tokoh intelejen utama yang mendanai FPI. Yahya bilang kalau dana FPI bersumber dari kalangan aparat keamanan, namun sejak medio Februari, FPI mendadak kesulitan dana.
[(Catatan Islam Times: sejauh ini, setidaknya ada enam lembar telegram di WikiLeaks yang memuat nama Yahya Asagaf. Di masing-masingnya, tercantum keterangan yang bervariasi soal siapa dia. Dia sekali digambarkan sebagai “seorang penasihat yang dekat dengan Kepala BIN Syamsir Siregar”, sekali sebagai “penasihat Syamsir Siregar untuk urusan Timur Tengah, dua kali sebagai “a political appointee at the State Intelligence Agency (BIN)”, sekali sebagai “ State Intelligence Agency (BIN) Chairman)”, sekali sebagai “State Intelligence Agency (BIN) official”, sekali sebagai “an assistant to State Intelligence Agency (BIN) Chief, Syamsir Siregar”.
Sementara itu, di TempoInteraktif.com, 4 September 2011, Ketua Dewan Pengurus Pusat FPI, Munarman, menggambarkan Yahya sebagai “antek Amerika”, “pengkhianat”, penjual “informasi negara”, dan bilang kalau salah seorang anak Yahya, Hani Y Assegaf, sebagai pendiri Indonesia Israel Publik Affair Commitee (IIPAC), kelompok lobi pro Israel berbasis Jakarta, yang belakangan sempat memicu kontroversi dengan menggusung rencana Perayaan Hari Kemerdekaan Israel di Jakarta.
Kendati, sumber-sumber Islam Times di jalur keamanan non-formal menegaskan kalau Yahya Asagaf bukan personel BIN meski lembaga intelijen negara pernah menggunakan ‘jasanya’ (kemungkinan dalam kaitannya kontak dengan pemerintah Israel). Seorang sumber menggambarkan Yahya sebagai warga keturunan Arab kelahiran Jawa Tengah yang tak memiliki “darah Assegaf”, punya koneksi luas di dalam dan luar negeri (termasuk Eropa dan Israel), dan “tak tersentuh” bahkan oleh pejabat BIN yang masih aktif sekalipun. Sejauh ini belum ada respon dari intelijen negara sementara polisi telah menyatakan bantahan keras atas tuduhan mereka 'memelihara' FPI.)]
10. Soal Majalah Playboy dan FPI
Sumber gosip tema ini adalah Ponti Carolus Pandean, bos PT Velvel Silver Media, penerbit Majalah saru Playboy. Telegram bilang kalau Ponti berbicara ke diplomat Amerika di Jakarta kalau dia beberapa kali mencoba ‘membeli’ petinggi FPI demi kelancaran peluncuran perdana majalahnya. Ponti, digambarkan masih tercatat sebagai Deputi Sekretaris Jenderal Partai Demokrat hingga 2005), pernah menyerahkan sekitar US$ 1.500 ke Rizieq Shihab, bos besar FPI, sebagai kompensasi Rizieq bersedia diwawancarai. Saat Playboy terbit dan kontroversi membara, dia juga bilang ke diplomat Amerika kalau dia kembali menemui Rizieq dan menyerahkan uang sekitar Rp 40 juta, sebagai hadiah lebaran Idul Adha. Kata Ponti lagi, pengurus FPI kelas cere juga kerap datang ke kantornya meminta uang yang nilainya sekitar US$ 50. Telegram lalu mencantumkan informasi bahwa FPI cenderung diam saat peluncuran Playboy namun pada 12 April, saat majalah terbit pertama kali, massa FPI menyambangi dan merusak kantor majalah.
Kata Ponti lagi, Presiden Susilo awalnya setuju diinterview di edisi perdana Playboy. Presiden, katanya lagi, juga awalnya setuju hadir dalam peluncuran perdana majalah di Bali (sekalipun belakangan batal seiring pecahnya kontroversi akibat kehadiran majalah). Kata Ponti, Presiden Susilo sempat memberi sumbang saran agar wanita yang pose syurnya terpajang di majalah itu bukan warga Indonesia.)
11. Soal Keinginan Agung Laksono Merintis Poros Jakarta-Tehran
Sumber gosip soal ini adalah Arief Budiman, yang dalam telegram digambarkan sebagai bos Kelompok Intelektual Muda Partai Golkar. Kata Arief, Ketua DPR kala itu, Agung Laksono, sempat berkonsultasi dengan figur terkenal Shiah di Indonesia, Jalaluddin Rakhmat, menjelang kunjungannya ke Tehran. Agung kabarnya mengharapkan ada jalinan kerjasama antara DPR dan parlemen di Iran, dan mengharapkan Jalaluddin bisa membantu dengan menggalang dukungan via majelis ulama di Iran. Arief, kata telegram, mengklaim kalau Agung terlihat simpatik pada proyek pembangkit listrik nuklir Iran dan percaya kalau langkah pemerintah Iran di bidang itu sepenuhnya dalam tujuan damai.
12. Soal Hubungan PKS-Hamas-Ikhwanul Muslimin
Telegram bilang kalau Zulkiflimansyah, anggota DPR dari Partai Keadilan Sejahtera, mengklaim kalau PKS, dalam kontak-kontaknya dengan pihak Ikhwanul Muslimin di Mesir dan Hamas di Palestina, mendorong kelompok-kelompok itu untuk menggapai kekuasaan via pemilu. Zulkiflimansyah, kata telegram, menyebut Anis Matta sebagai kanal komunikasi utama partai dengan Hamas dan Ikhwan di Mesir.k
13. Soal Fuad Bawasyir dan Al-Irsyad
Telegram bilang kalau diplomat Amerika sempat bersua Fuad Bawazier dan menanyakan kabar burung kedekatannya dengan organisasi Al-Irsyad. Fuad, kata telegram, bilang dia tak punya koneksi apapun, meski pernah sempat mencoba mendamaikan faksi-faksi dalam organisasi tersebut. Di bagian ini, gosip lain bersumber dari Yahya Asegaf (digambarkan sebagai pejabat BIN). Telegram bilang kalau Yahya percaya kalau dalam Al-Irsyad ada veteran Perang Afghanistan dan sekitar 50 orang di antara anggota organisasi itu telah menerima militer di Yaman. Yahya bilang bakal sulit bagi pemerintah memberangus Al Irsyad sebab Jaksa Agung Abdurrahman Saleh adalah anggota organisasi.
14. Soal Kemampuan Berbahasa Inggris Hadi Utomo
Bagian ini bukan gosip. Telegram bilang Duta Besar Amerika bersua bos besar Partai Demokrat, Hadi Utomo, dan para pejabat senior partai lainnya, di markas besar partai. Kata telegram, bahasa Inggris Hadi pas-pasan. Tiap kali pembicaraan berpusar pada soal politik, dia memilih menggunakan Bahasa Indonesia. Bahkan dalam pertemuan yang digambarkan dalam telegram sebagai “informal”, Hadi berpatokan pada tulisan yang telah dikonsep sebelumnya dan memilih ‘menitip’ pertanyaan ke bawahannya untuk duta Amerika.
15. Soal Suripto: Pengaruh dan Latar Belakang
Gosip soal ini bersumber dari “seorang bekas pejabat Kementrian Pertanian”. Kata telegram, lepas Anton Apriyantono jadi Menteri Pertanian, Ketua Dewan Pakar PKS, Suripto, menempatkan orang-orang PKS di beberapa posisi eselon satu di kementrian, demi memastikan adanya loyalitas pada partai. Sumber lain gosip dalam tema ini adalah Hariman Siregar. Kata telegram, diplomat Amerika bersua dengan Hariman mendiskusikan ‘tuduhan’ kalau Suripto ikut terlibat dalam Kerusuhan Malari 1972. Hariman lalu bilang ke diplomat Amerika kalau Suripto tak ikut dalam kejadian itu, sekalipun rumor bilang sebaliknya. Kendati, kata Hariman, rumor bahwa Suripto tersangkut kejadian itu menjadi penyebab istri Suripto sakit dan akhirnya meninggal. Hariman mengklaim kalau Suripto adalah tangan kanan Fuad Hassan saat Fuad menjabat Menteri Pendidikan (1985-1993). Telegram bilang kalau anggota DPR dari Fraksi PDI-Perjuangan, Amris Hassan (anak Fuad Hassan), telah berbicara ke diplomat Amerika di Jakarta dan bilang kalau Fuad dan Suripto punya hubungan dekat. Amris juga menggambarkan ke diplomat Amerika kalau Suripto punya koneksi terbaik ke seluruh spektrum organisasi mahasiswa, dari ekstrim kiri hingga ekstrim kanan.
16. Soal Koneksi Penasihat Presiden ke Kubu Megawati
Telegram bilang kalau penasihat Presiden Susilo, T.B. Silalahi, membisikkan ke diplomat Amerika di Jakarta kalau dia telah berulang kali membujuk Megawati Soekarnoputri untuk bertemu Presiden Susilo, namun Megawati selalu menolak. Telegram lalu menyebut alternatif kanal hubungan Silalahi ke Megawati: Puan Mahari (putri Megawati), Guruh Soekarnoputra dan Tjahjo Kumolo, politisi senior PDI-P.
17. Soal Hendropriyono Mengincar Kursi Gubernur Jakarta?
Sumber gosip soal ini adalah Yahya Asagaf. Telegram bilang kalau Yahya pernah mendengar sendiri dari bekas Kepala BIN, Hendropriyono, pada akhir 2005 kalau dia mengincar jabatan Gubernur DKI Jakarta pada Pemilu 2007. Kata telegram, sejak saat itu Yahya tak pernah lagi mendengar kabar lain soal rencana ini. Informan-informan diplomat Amerika lainnya bilang kalau Hendropriyono memang pernah serius dengan ide itu, namun hanya sedikit yang menyokong.
18. Soal Kedekatan PKS dan Menteri Kesehatan
Kata telegram, anggota Majelis Syuro PKS, Syahfan Badri, pernah bilang ke diplomat Amerika di Jakarta kalau PKS punya hubungan dekat dengan Menteri Kesehatan, Siti Fadilah Supari. Badri, kata telegram, bilang kalau Siti kerap mengundang anggota parlemen dari PKS untuk berkunjung ke kawasan yang kena krisis kesehatan. Telegram memberi catatan: informasi ini mengisyaratkan reputasi PKS di bidang penangangan bencana dan penyaluran bantuan).
19. Soal Amien Rais Mengecam Amerika
Telegram bilang kalau menurut Alvin Lie, dulunya anggota DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional, hubungan Amien Rais dan Soetrisno Bachir memburuk pada akhir 2005. Dalam konteks itulah, kata Alvin, Amien kemudian secara sengaja fokus pada soal-soal internasional, guna membangun citra pemimpin yang berkelas sekaligus menghindari konflik dengan Soetrisno. Telegram lalu mendaftar nada-nada “anti Amerika” dalam pernyataan Amien Rais. Amien disebutkan mengkritik invasi Amerika atas Irak dan Afghanistan, skandal penyiksaan tahanan di Irak dan Guantanamo, dan menyebut respon pemerintah Amerika pada korban Badai Katrina menunjukkan “sikap rasis”. Amin, kata telegram, juga mengingatkan pemerintah untuk menghindar dari rencana penggerebekan pesantren (disebutkan sebagai bagian dari counter-terrorisme) dan bila pemerintah berkeras dalam melakukannya maka pemerintah beresiko kena stigma sebagai “alat imperialisme Amerika Serikat.”
20. Soal Daftar Calon Menteri Partai Golkar
Telegram bilang kalau berdasarkan informasi dari Arief Budiman, diplomat Amerika di Jakarta mengetahui 10 nama yang diusulkan Partai Golkar saat Presiden Susilo merencanakan kocok ulang susunan kabinet. Nama-nama tersebut adalah: Theo Sambuaga (Menteri Pertahanan), Andi Mattalatta (Menteri Hak Asasi Manusia), Burhanuddin Napitupulu (Menteri Perumahan), Aulia Rachman (Menteri Hak Asasi Manusia atau Jaksa Agung), Rully Azwar (Menteri Perindustrian), Paskah Suzetta (Menteri Keuangan), Yuddy Krisnandi (Menteri Pemuda dan Olah Raga), Firman Subagio (Menteri Kooperasi), Yuniwati (Menteri Peranan Wanita), Agus Manafendi (Menteri Energi). Telegram membubuhkan catatan yang berisi ‘keyakinan’ diplomat Amerika pada Arief yang mereka anggap punya cukup akses untuk mendapatkan daftar calon menteri usulan partai dari Ketua Umum Golkar, Agung Laksono.
21. Soal Hubungan Mitra Tomy Winata dengan Presiden Susilo
Soal ini, telegram diplomat Amerika di Jakarta ke Washington merujuk pada informasi dari Alvien Lie, anggota parlemen yang digambarkan berdarah China-Indonesia. Kata telegram, saat masa kampanye Pemilu 2004, dua warga berdarah China aktif mendorong dia untuk bergabung dalam kubu Presiden Susilo. Alvien menyebut nama: Ridwan Soeriyadi (yang digambarkan oleh diplomat Amerika sebagai punya koneksi dengan Partai Demokrat) dan Sugima Kusuma alias Sugianto Kusuma alias Aguan. Telegram bilang kalau dalam sesi terpisah, diplomat Amerika di Jakarta mendengar dari David Lin, bos Kamar Dagang dan Industri Taiwan, kalau dia kerap bertemua Aguan, dan bilang kalau Aguan adalah parner bisnis senior Tomy Winata (digambarkan dalam telegram sebagai “underworld figure”). Lin, kata telegram lagi, mengisyaratkan kalau Aguan punya kepentingan yang sama dengan Tomy meski dia pada dasarnya lebih nyaman dalam berhubungan dengan kalangan diplomat. Telegram lalu membubuhkan catatan akhir: Pada Maret 2003, Majalah Gatra mewawancarai Tomy yang isinya antara lain pernyataan Tomy kalau dia dan Sugiyanto punya hubungan. Dalam laporan Gatra, kata telegram, Tomy menggambarkan Sugiyanto sebagai seorang “bos”. Kata telegram, ada kabar burung kalau Sugiyanto dan Tomy adalah anggota “Gang of Nine” atau “Sembilan Naga”, sindikat perjudian papan atas.
[(Catatan Islam Times: dalam mewartawan bagian ini, The Age sama sekali tak menyebut nama Alvien Lie dan Aguan saat menggambarkan Tomy sebagai “underworld figure”. (Tomy belakangan membantah isi pemberitaan The Age). Media Australia itu terkesan hanya mengambil bagian ‘sensasional’ dan menggabungkannya dengan isi telegram lain.
The Age menulis: “In the course of investigating the President’s private, political and business interests, American diplomats noted alleged links between Yudhoyono and Chinese-Indonesian businessmen, most notably Tomy Winata, an alleged underworld figure and member of the “Gang of Nine” or “Nine Dragons,” a leading gambling syndicate.
In 2006, Agung Laksono, now Yudhoyono’s Co-ordinating Minister for People’s Welfare, told US embassy officers that TB Silalahi “functioned as a middleman, relaying funds from Winata to Yudhoyono, protecting the president from the potential liabilities that could arise if Yudhoyono were to deal with Tomy directly”.
Tomy Winata reportedly also used prominent entrepreneur Muhammad Lutfi as a channel of funding to Yudhoyono. Yudhoyono appointed Lutfi chairman of Indonesia’s Investment Co-ordinating Board.
Senior State Intelligence Agency official Yahya Asagaf also told the US embassy Tomy Winata was trying to cultivate influence by using a senior presidential aide as his channel to first lady Kristiani Herawati.”
Dari pemeriksaan telegram yang, semestinya, jadi rujukan The Age, Islam Times mendapati dua paragraf bersambung berikut yang intinya menunjukkan The Age melakukan ‘kesalahan fantastis’ dalam memahami dan memberitakan isi telegram:
“(C/NF) Dave Laksono told us presidential advisor T.B. Silalahi functioned as a middleman, relaying funds from Tomy to President Yudhoyono, protecting Yudhoyono from the potential liabilities that could arise if Yudhoyono were to deal with Tomy directly.”
“(C/NF) State Intelligency Agency (BIN) official Yahya Asagaf told us that Tomy Winata was trying to cultivate influence by using Presidential Secretary Kurdi Mustofa as his channel to First Lady Kristiani Herawati. A contact from the Golkar party told us that, during the 2004 campaign, Tomy also had sought to use Muhammad Lutfi (now Chairman of the Investment Coordination Board) as a channel of funding to Yudhoyono's campaign.” ... BERSAMBUNG.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H